Kisah sebuah panggung
Februari 14, 2023 § 1 Komentar
Panggung belum resmi dibuka. Tapi sudah ada yang mencuri.

Lampu kilat menyala. Kamera televisi menyorot.
Dan sebuah pertunjukan pun dimulai. Saya jadi teringat pada novel Milan Kundera pada 1990. Novel itu dalam bahasa Ceko disebut Nesmrtelnost dan dalam bahasa Inggris disebut Immortality. Di novel itu, Kundera memperkenalkan sebuah istilah baru: “imagologi”.
apaan tuh?Revolusi Pecas Ndahe
November 30, 2011 § 192 Komentar
Seorang perempuan. Sebuah tas Hermes di tangan. Sore itu aku menemuinya di sebuah kafe kecil di jantung Jakarta. Hujan turun berderai-derai di luar. Jalanan macet. Seperti biasa.
Duduk di depanku dengan takzim, ia memamerkan senyumnya yang ringkas. Parasnya lesi. Aku maklum. Dia hidup dari satu tekanan ke tekanan lain. Dari sebuah kekuasaan ke kekuasaan berikutnya. Ia terhimpit.
Seperti biasa, sore itu ada dua cangkir kopi di atas meja. Satu kopi tubruk untukku. Satu cappucino kesukaannya.
Dua cangkir kopi. Dua manusia. Bumi dan langit. Tiba-tiba aku merasa yang namanya iba itu bisa datang dari mana saja. Ia kerap muncul begitu saja tanpa sebab yang jelas. Paling tidak demikian yang kurasakan sore itu.
Ia bahkan bisa datang dari secangkir kopi. Seorang teman. Dan beberapa butir air mata yang bergulir perlahan di pipi.
“Maaf, kadang aku masih cengeng, Mas,” katanya perlahan. “Kamu nggak usah ketawa.”
Mukaku datar. Pura-pura tak mendengar. « Read the rest of this entry »
Coelho Pecas Ndahe
November 8, 2011 § 122 Komentar
Dari sungai konon kita bisa mendengarkan suara-suara. Lenguhan sapi, kokok ayam jantan, teriakan pedagang sate, klakson kendaraan, juga keriangan dan kepedihan. Dari sungai pula, seorang perempuan merasa yakin hidupnya akan baik-baik saja seandainya ia punya teman.
Saya mengetahuinya malam itu saat Jakarta disiram gerimis setengah hati dan sebuah surat elektronik masuk ke kotak surat. Saya terpana. Pengirimnya seorang sahabat yang sudah lama tak bersua.
Apakah gerangan yang membuatnya meluangkan waktu mengingat saya dengan menulis surat pada dinihari? Adakah yang genting?
Pertanyaan itu bukan datang dari ruang hampa. Berbelas purnama tinggal di episentrum kekuasaan membuat dia berada dalam ruang dan waktu yang begitu jauh dari jangkauan saya.
Selama ini kami hanya sesekali bersua di beberapa tikungan kesempatan. Itu pun cuma sebentar. Selebihnya kami hidup di jalan masing-masing. Yang sunyi … « Read the rest of this entry »
Ahmadiyah Pecas Ndahe
Februari 7, 2011 § 79 Komentar
Lapangan Wenceslas, Praha, tahun 1969. Di tengah hari musim dingin Januari, seorang lelaki bernama Jan Palach datang. Ditanggalkannya jas panjang yang ia pakai, disiramkannya bensin ke seluruh tubuhnya, lalu dinyalakannya korek api. Dalam beberapa detik, api membakar badannya.
Tiga hari kemudian ia mati.
Di saku jasnya ditemukan secarik kertas dengan tulisan: ”…ini dilakukan untuk menyelamatkan Cekoslovakia dari pinggir jurang ketiadaan harapan.”
Tragedi yang menggetarkan itu saya baca dari tulisan Goenawan Mohamad.
Palach adalah mahasiswa filsafat. Umurnya baru 21 tahun. Ia membakar diri sebagai bentuk protes pendudukan Soviet yang dengan mengirim tank dan tentara hendak meneguhkan sistem komunisme kembali di Cekoslovakia dan membungkam rakyat yang menginginkan liberalisasi. « Read the rest of this entry »