Kisah sebuah panggung

Februari 14, 2023 § 1 Komentar

Panggung belum resmi dibuka. Tapi sudah ada yang mencuri.

Lampu kilat menyala. Kamera televisi menyorot.

Dan sebuah pertunjukan pun dimulai. Saya jadi teringat pada novel Milan Kundera pada 1990. Novel itu dalam bahasa Ceko disebut Nesmrtelnost dan dalam bahasa Inggris disebut Immortality. Di novel itu, Kundera memperkenalkan sebuah istilah baru: “imagologi”.

Kata ini merangkum banyak hal yang sebenarnya sama: kegiatan biro iklan, manajer kampanye politik, ahli desain, penata rambut, dan tentu saja para bintang pertunjukkan. Sebuah pencitraan. Imaji yang dipoles-poles.

Adalah layar televisi yang menasbihkan pencitraan itu menjadi sebuah drama tanpa air mata. Yang penting mereka telah mencuri perhatian orang. Meski lama-lama banyak yang muak juga.

Televisi bisa menipu, dan menyesatkan. Layar kaca itu memiliki realitasnya sendiri, yang sering kali jauh berbeda dengan realitas kita sehari-hari.

Karena itu, para penampil sebaiknya membaca pepatah Ethiopia ini: “Bila yang dipertuan agung lewat, petani yang bijak pun membungkuk dalam-dalam — dan dengan diam-diam mereka kentut.”

Kentut — suara tak kentara yang meletup dari perut dengan bau yang duilah dan sangat tak sopan itu — ternyata adalah cara para petani — sebagai orang-orang yang ditundukkan — untuk menyelamatkan harga diri.

Dan itu adalah contoh yang paling gamblang bagaimana orang-orang yang tak berdaya menyanggah secara bersembunyi mereka yang kuat-dan-kuasa.

Itu adalah contoh a hidden transcript, untuk meminjam istilah James C. Scott: suatu ungkapan yang tak segera diketahui, ketika yang menindas bertemu dengan yang ditindas.

Di panggung itulah suatu teater berlangsung, berdasarkan atas suatu naskah sandiwara yang dusun untuk konsumsi publik. Suatu public transcript, kata Scott.

Dalam transkrip ini, sang dipertuan agung harus lewat dengan uborampe dan aksesori keagungan. Dalam transkrip ini pula sang petani harus menyambutnya dengan terbungkuk-bungkuk. Dan tanpa kentut.

Jelas bahwa naskah yang disusun oleh penguasa ini ingin memproyeksikan sosok kaum elite yang bertahta menurut citra yang mereka kehendaki. Dan untuk itu, penting sekali berpenampilan yang impresif. Bisa berarti rambut yang disisir rapi. Gesture yang tertata. Dan orasi yang meyakinkan.

Akankah pencitraan itu akan berhasil?

Kesalahan para penampil — dan juga sebagian ahli ilmu politik — ialah bahwa mereka cuma memfokuskan pandangan pada public transcript: apa yang nampak di panggung.

Mereka melihat bahwa bila di negeri tak nampak ada oposisi, tak nampak ada pers yang berani, tak nampak protes atau keluhan keras, maka itu berarti golongan yang berkuasa telah berhasil: mereka berhasil menciptakan stabilitas masyarakat, atau mereka berhasil melahirkan orang-orang (terutama pers?) yang pengecut dan cepat puas.

Dalam suasana itu terjadilah apa yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai “hegemoni” kemampuan golongan yang menguasai untuk meyakinkan golongan yang dikuasai, bahwa membangkang adalah suatu dosa besar.

Padahal kita tahu, Vaclav Havel — yang menyaksikan bagaimana sebuah kekuasaan yang nampaknya kukuh mendadak tumbang di Cekoslovakia — pernah berujar, “Masyarakat adalah seekor hewan yang sangat misterius…. Tak seorang pun di antara kita yang tahu akan semua kemungkinan yang tidur lelap dalam roh penduduknya.”

Selamat Hari Selasa, Kisanak.

Iklan

Tagged: , ,

§ One Response to Kisah sebuah panggung

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kisah sebuah panggung at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: