Jangan pakai Influencer lagi untuk politik

Maret 14, 2024 § 1 Komentar

Mengapa pemengaruh atau influencer tak perlu dipakai lagi di dunia politik?

Bukankah, katanya, influencer itu berguna untuk mendongkrak popularitas kandidat? Katanya pemengaruh itu mampu memengaruhi opini publik. Katanya influencer itu dipercaya dan diikuti langkahnya oleh publik.

Mengapa sekarang politisi dilarang memanfaatkan mereka?

Penggunaan influencer atau pesohor media sosial untuk mendapatkan dukungan politik memang memiliki kekuatan signifikan dalam memengaruhi opini publik, namun strategi ini juga menyimpan beberapa risiko.

Apa saja risikonya?
 

Polarisasi Masyarakat: Influencer biasanya menggugah konten atau menyampaikan pandangan yang sangat partisan atau berat sebelah, yang bisa memperdalam polarisasi dalam masyarakat. Kebiasaan ini dapat mengakibatkan terjadinya perpecahan yang lebih luas di antara masyarakat, terutama jika narasi yang dibangun tidak mengakomodasi keberagaman pandangan.

Polarisasi ini tidak terbatas hanya pada masa kampanye, tetapi juga berlanjut pasca-pemilu, mempengaruhi diskursus publik dan interaksi sosial di antara warga. Gelembung informasi dan echo chamber di media sosial memperkuat pandangan yang sudah ada, mempersulit dialog dan rekonsiliasi pasca-pemilu.

Peristiwa tersebut menjadi contoh penting dari bagaimana media sosial dan influencer dapat berkontribusi pada polarisasi masyarakat, menunjukkan pentingnya literasi media dan dialog antar kelompok untuk membangun pemahaman dan persatuan nasional.

Disinformasi: Dalam beberapa kasus, influencer mungkin tidak melakukan pengecekan fakta dengan teliti atau mungkin secara sengaja menyebarkan informasi yang salah atau menyesatkan untuk mendukung agenda politik tertentu. Perilaku seperti ini dapat merusak kualitas diskusi publik dan merusak kepercayaan publik terhadap proses politik.

Contoh atau kasus nyata dari risiko disinformasi di Indonesia bisa kita lihat pada penyebaran hoaks mengenai pandemi COVID-19. Dalam periode awal pandemi, banyak sekali informasi salah yang beredar di media sosial dan platform pesan instan seperti WhatsApp, termasuk informasi mengenai asal-usul virus, cara penularan, dan cara pencegahan.

Salah satu hoaks yang cukup tersebar luas adalah klaim bahwa menyiram tubuh dengan air panas atau mengonsumsi minuman keras dapat mencegah atau menyembuhkan COVID-19.Penyebaran informasi yang salah ini tidak hanya menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat tetapi juga berpotensi berbahaya karena dapat mendorong perilaku yang merugikan kesehatan atau mengabaikan pedoman kesehatan publik yang berbasis ilmiah. Kasus ini menunjukkan risiko signifikan dari disinformasi dalam situasi krisis, menyoroti pentingnya upaya pengecekan fakta (fact-checking) dan pendidikan literasi digital untuk masyarakat.

Manipulasi Emosi: Influencer sering menggunakan teknik komunikasi yang dirancang untuk membangkitkan reaksi emosional. Meskipun ini bisa efektif dalam memengaruhi opini, namun juga berpotensi mengeksploitasi emosi pemilih untuk tujuan politik, yang dapat merusak diskusi rasional tentang masalah-masalah penting.Contoh nyata dari risiko manipulasi emosi di Indonesia terlihat dalam penyebaran konten-konten yang sengaja dirancang untuk membangkitkan kemarahan, ketakutan, atau simpati dalam konteks isu-isu sosial dan politik, khususnya selama periode pemilihan.

Contoh nyata dari risiko kurangnya transparansi di Indonesia terlihat dalam kasus pemanfaatan influencer untuk kampanye politik tanpa keterbukaan status kerja samanya, apakah suka rela atau transaksional. Misalnya, selama periode pemilihan umum atau pilkada, beberapa influencer di media sosial mungkin memposting konten yang mendukung kandidat tertentu tanpa menyatakan bahwa mereka telah menerima kompensasi atau manfaat lain untuk melakukan hal tersebut. Ini menciptakan kebingungan mengenai apakah pendapat yang mereka sampaikan adalah pandangan pribadi atau pandangan yang dibayar.

Salah satu kasus yang cukup menyita perhatian adalah fenomena “buzzer” politik yang berkembang selama pemilu dan pilkada, di mana kelompok tertentu menyewa jasa influencer atau akun-akun di media sosial untuk menyebarkan narasi atau pandangan tertentu. Keterlibatan buzzer ini sering kali tidak transparan, baik dari sisi siapa yang membiayainya maupun apakah konten yang disebarkan merupakan opini pribadi dari influencer tersebut atau merupakan bagian dari kampanye berbayar.

Hari-hari ini, isu kurangnya transparansi influencer semakin mendapatkan sorotan, khususnya terkait dengan cara pemerintah dan partai politik menggunakan jasa buzzer untuk memengaruhi opini publik. Meskipun praktik ini bukanlah hal yang baru, kurangnya transparansi dalam penggunaan dana dan pengaruh nyata terhadap opini publik telah menjadi perhatian serius. Sebagian kalangan bahkan menuntut adanya regulasi yang lebih jelas terkait penggunaan media sosial dalam kampanye politik dan pengungkapan keterlibatan finansial dalam penciptaan konten politik.

Ketergantungan pada Popularitas daripada Kebijakan: Fokus pada influencer berarti kampanye politik mungkin lebih terkonsentrasi pada popularitas dan citra daripada substansi kebijakan. Ini bisa mengurangi kualitas debat politik dan membuat pemilih kurang informasi tentang pilihan yang mereka hadapi.Risiko terkait ketergantungan pada popularitas daripada substansi kebijakan dapat dilihat dalam fenomena penggunaan selebriti dan tokoh masyarakat terkenal dalam kampanye politik di Indonesia.

Sebuah contoh nyata dari hal ini adalah keterlibatan artis atau selebriti dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah (pilkada), di mana mereka mendukung kandidat tertentu tidak berdasarkan platform kebijakan yang diajukan, melainkan lebih karena faktor popularitas dan pengaruh mereka di media sosial.

Misalnya, dalam beberapa pemilihan kepala daerah, terdapat kasus di mana kandidat menggandeng selebriti untuk meningkatkan popularitas mereka atau menggunakan endorsement dari figur publik yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Meskipun strategi ini bisa meningkatkan visibilitas dan daya tarik kandidat, namun juga menimbulkan risiko di mana perhatian publik lebih terfokus pada aspek hiburan dan popularitas daripada diskusi mendalam mengenai visi, misi, dan program kebijakan yang ditawarkan oleh kandidat tersebut.

Contoh lain bisa dilihat dari penggunaan influencer dan selebriti dalam kampanye politik nasional, di mana narasi dan pesan kampanye kerap kali lebih banyak menonjolkan persona kandidat daripada substansi kebijakan yang konkret. Hal ini dapat menyebabkan pemilih membuat keputusan berdasarkan popularitas atau citra publik, bukan atas dasar pemahaman yang mendalam tentang kebijakan yang akan memengaruhi kehidupan mereka.

Ketidakstabilan dan Ketidakpastian: Karena influencer dapat dengan cepat berubah pendapat atau menjadi subjek kontroversi, mengandalkan mereka untuk dukungan politik bisa berisiko dan menyebabkan ketidakstabilan dalam dukungan publik.

Contoh nyata risiko ketidakstabilan dan ketidakpastian yang disebabkan oleh penggunaan influencer dalam politik di Indonesia dapat dilihat dalam dinamika pemilihan umum atau pilkada, di mana dukungan dari influencer ternama atau selebriti dapat berubah-ubah berdasarkan dinamika sosial dan opini publik yang cepat berubah.

Salah satu kasus yang menggambarkan ketidakstabilan ini terjadi ketika seorang influencer atau publik figur yang awalnya menunjukkan dukungan untuk kandidat atau partai politik tertentu, kemudian mengubah sikap atau menarik dukungannya karena berbagai alasan, seperti perubahan opini pribadi, tekanan publik, atau kontroversi yang muncul seputar kandidat atau partai tersebut. Dalam politik, dikenal fenomena lompat pagar untuk menyebut politisi yang pindah partai atau pendukung yang memindahkan dukungannya.

Perubahan dukungan ini tidak hanya dapat mempengaruhi citra kandidat atau partai politik di mata pengikut influencer tersebut tetapi juga menciptakan ketidakpastian mengenai keandalan dan stabilitas dukungan publik.

Misalnya, selama periode pemilihan, seorang influencer media sosial mungkin mengungkapkan dukungan untuk seorang kandidat tetapi kemudian menarik dukungan setelah terjadi kontroversi atau munculnya informasi baru yang mempengaruhi pandangan mereka. Situasi seperti ini dapat menimbulkan keraguan di antara pemilih dan mengurangi efektivitas strategi politik yang bergantung pada dukungan influencer.

Kasus ini menunjukkan bahwa sementara dukungan dari influencer dapat memberikan manfaat dalam hal visibilitas dan jangkauan, ketergantungan yang berlebihan pada figur-figur publik ini dapat juga menimbulkan risiko ketidakpastian politik, mengingat pandangan dan dukungan mereka dapat berubah dengan cepat berdasarkan dinamika sosial atau pribadi mereka sendiri.

Dengan demikian, silakan saja kalau masih ada yang berniat memanfaatkan pemengaruh atau influencer untuk kepentingan politik. Yang penting risikonya sudah jelas.

Betul tidak, Kisanak?

Tagged: , , , ,

§ 1 Responses to Jangan pakai Influencer lagi untuk politik

Tinggalkan komentar

What’s this?

You are currently reading Jangan pakai Influencer lagi untuk politik at Ndoro Kakung.

meta