Twitwar Pecas Ndahe

Januari 30, 2012 § 53 Komentar

TWITWAR. Saya mengenal kata itu dari linimasa di Twitter. Sampean boleh mengartikannya sebagai debat antara pengguna Twitter, boleh juga memaknainya sebagai “perang kata”.

Saya tak tahu sejak kapan dan siapa yang pertama kali melakukan twitwar. Yang saya tahu, laga ini meletup tanpa jadwal tetap. Sering kali terjadi begitu saja. Biasanya perang kata ini terjadi tanpa perjanjian, seperti kita hendak berobat ke dokter, atau memasang pengumuman seperti ujian akhir nasional.

Tapi anehnya, kabar tentang aksi seperti itu bisa dengan cepat beredar dari satu linimasa ke linimasa lain dan segera menarik perhatian para penyimaknya. Apalagi jika para pihak yang terlibat dari kalangan pesohor atau punya banyak pengikut.

Berbeda dari perang bersenjata, saya belum pernah mendengar ada korban cedera atau meninggal gara-gara twitwar. Paling banter, salah satu pihak yang terlibat segera mengunci akun atau menghilang dari linimasa.

Meski beberapa kali pernah dipancing, saya malas melayani twitwar alias debat di linimasa. Bahkan ketika beberapa akun terang-terangan menyerang di Twitter, saya biarkan saja.

Beberapa kali saya melihat peserta debat, seperti umumnya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: dua pihak yang terlibat bagaikan dua radio yang disetel berhadap-hadapan. Yang satu tak mencoba mengerti lawannya dan lawannya juga tak mencoba mengerti dia.

Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala pelontarnya.

Ruang di Twitter pun terbatas 140 karakter. Akibatnya kalimat sering kali terpaksa disunat dan kehilangan konteks. Komunikasi jadi tak efektif.

Saya jadi bertanya-tanya, apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa kita lebih pintar ketimbang lawan? Untuk mempertahankan pendirian atau pendapat tentang sesuatu?

Memutuskan siapa yang ”paling pintar” tidak selamanya mudah diputuskan. Itu pun seandainya ada juri yang menilai. Para pengguna Twitter yang menyimak debat tak pernah menyimpulkan pemenangnya.

Atau jangan-jangan untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian seseorang benar, dan bisa lawannya terima? Saya tak yakin. Di Twitter hanya ada penonton. Tak ada juri. Kadang terselip provokator atau orang iseng di antaranya.

Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pendapat dan pendirian.

Orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbeda. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.

Lantas di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Percakapan punya momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan — momen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan redanya rasa gentar.

Saya malas berdebat atau menyerang seseorang di linimasa. Sebab ternyata semua yang terjadi di linimasa bisa dijadikan komodifikasi. Saya khawatir twitwar lama-lama bisa jadi hanyalah rekaan, semata-mata hanya demi kemasyhuran. Ada ongkos yang dikeluarkan untuk sebuah debat yang direkayasa seperti itu untuk mendongkrak popularitas seseorang.

Bukankah demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan?

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Apakah sampean pernah terlibat twitwar?

§ 53 Responses to Twitwar Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Twitwar Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: