Salatiga Pecas Ndahe

Mei 21, 2014 § 57 Komentar

Apa yang terlintas di benak sampean setiap kali mendengar kata Salatiga? Nama sebuah kota kecil di Jawa Tengah? Satya Wacana? Arief Budiman? Atau jangan-jangan sampean belum pernah mengetahui apa pun tentang Salatiga?

Dibanding Semarang atau Solo yang sama-sama di Jawa Tengah, Salatiga memang kalah pamor. Di peta, dia hanya semacam titik kecil di antara dua kota besar itu. Orang Solo pun umumnya hanya melewati Salatiga ketika menuju Semarang atau sebaliknya.

Kayu Arum

Rombongan sirkus – [duduk] Handry, Junita, Ainun, Kika; [berdiri] Me, Motulz, Ted Kho, Jati

Di peta turisme, dalam maupun luar negeri, Salatiga juga bukan kota tujuan utama. Mungkin hanya anak-anak yang mengambil kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana yang khusus datang ke sana secara rutin.

Orang-orang lebih mengenal Salatiga sebagai sebuah kota kecil yang tenang dan nyaman. Tak banyak mobil pribadi yang lalu lalang di jalanan. Angkutan umum pun bisa dihitung dengan jari. Itu pun didominasi oleh bus-bus antarkota.

Sebagai tempat bercokolnya universitas ternama, jarang kita dengar ada tawuran antarmahasiswa di sana, tak seperti di Jakarta atau Makassar. Kerusuhan sosial pun nyaris nihil.

Maka ketika ada yang mengajak jalan-jalan ke Salatiga, reaksi orang pun biasanya seragam. “Mau cari apa di sana? Ada tempat menginap yang asyik, nggak?”, dan sebagainya. Tentu saja pertanyaan ini terlontar karena banyak orang tak begitu mengenal Salatiga.

Padahal kata Ainun, pendiri Akademi Berbagi, “Salatiga itu mempunyai segalanya.”

Perempuan yang lahir di Salatiga itu lantas menyebutkan bahwa di kotanya kita bisa berwisata kuliner, menyaksikan keindahan alam, mengenal penduduknya yang ramah dan egaliter.

Saya membuktikannya ketika Ainun mengajak saya ke sana, menemani CEO GE Indonesia, Handry Satriago, Teddy, dan Motulz untuk bertemu dengan anak-anak muda hebat di sana, sekaligus melihat-lihat kota yang nyaman itu.

Menginap di Kayu Arum Spa & Resort, saya merasakan kenyamanan itu begitu menginjakkan kaki di pelatarannya. Mbak Jati Mulyadi yang mengelola penginapan milik ayahnya itu menyambut dengan ramah rombongan kami.

Saking terpesonanya pada Kayu Arum, saya langsung mengabadikan tempat tersebut dalam foto dan video di bawah ini.


Saya juga terpana ketika diajak ke Rawa Pening yang berada sekitar 5 kilometer dari Salatiga untuk berburu matahari pagi. Berangkat dari hotel pada pukul 04.00, hanya sekitar 15 menit perjalanan menuju rawa-rawa yang menjadi salah satu tujuan wisata di dekat Salatiga itu.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Kami menyewa dua perahu kecil yang membawa kami ke tengah rawa untuk mendapat tempat terbaik melihat matahari bangun. Lalu kami berharap-harap cemas semoga awan hitam tak menutup cakrawala.

Untunglah Dewi Fortuna sedang berpihak. Setelah menunggu sekitar 30 menit, perjuangan melawan kantuk pun terbayar tunai begitu matahari sedikit demi sedikit muncul di ufuk timur. Langit menjelma bagaikan kanvas pelukis alam yang syahdu.

Ketika matahari terus naik dan naik, kami pun berpindah lokasi. Perahu berputar mengelilingi kawasan rawa yang dipenuhi oleh enceng gondok. Membelah air secara perlahan, saya melihat ada kawanan burung bangau berkumpul di satu titik. Keramba-keramba berserakan di beberapa bagian rawa.

Menjelang siang, saya tinggalkan rawa yang menghasilkan kenangan tersendiri dalam kunjungan singkat saya di Salatiga. Suatu saat mungkin saja akan ke sana lagi.

>> Selamat hari Rabu, Ki Sanak. Apakah sampean pernah ke Salatiga?

Tagged: , , , , , , ,

§ 57 Responses to Salatiga Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Salatiga Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: