Wartawan goodie bag
April 19, 2024 § Tinggalkan komentar
Wartawan dan pekerja Humas/PR sesungguhnya dua mitra yang saling membutuhkan. Tapi mengapa kerap terjadi gesekan?

Pertanyaan itu menggoda saya setelah membaca status seorang teman yang kebetulan muncul di beranda Facebook.
Ia menulis, “Rajin kirim press release. Namun, tak pernah mengundang ke acara launching. Apakah visi dan misinya?”
Sebagai pelaku di dunia pers dan kehumasan, saya paham sekali dan memaklumi kenapa curahan hati itu sampai keluar di media sosial.Semua orang mengerti bahwa wartawan dan humas adalah mitra. Wartawan berkepentingan dengan aktivitas humas, begitu juga sebaliknya.
Wartawan mengharapkan informasi dari klien humas itu. Informasi bisa datang datang dari siaran pers atau konferensi pers. Humas berharap pesan dari klien yang diwakilinya bisa tersiar luas melalui berita yang ditulis wartawan.
Dengan berbagai cara, dengan atau tanpa konferensi pers, humas pun harus mencari jalan agar pesan komunikasinya tersebar. Apalagi anggaran humas biasanya jauh lebih kecil dibanding anggaran divisi pemasaran.
Saya ingat, dulu wartawan yang biasa meliput industri tertentu, misalnya teknologi (terutama ponsel), suka sekali menghadiri undangan konferensi pers peluncuran produk baru. Sebuah acara peluncuran produk ponsel baru, misalnya, bisa dipastikan akan didatangi ratusan wartawan. Ini jauh lebih banyak daripada, misalnya, acara peluncuran program kesehatan atau aplikasi pendidikan pemerintah. Kenapa?
Sudah bukan rahasia lagi, dalam peluncuran ponsel baru bisa dipastikan humas akan membagikan aneka marketing gimmick. Tak jarang pula wartawan mendapatkan ponsel yang baru diluncurkan itu dengan status pinjam pakai tanpa batas waktu. Belum lagi ada door prize, voucher, dan goodie bag berisi barang-barang promosi.
Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun dan membuat sebagian wartawan kecanduan, datang demi goodie bag, bukan berita.
Situasi berubah total saat pandemi. Karena kebijakan pembatasan pertemuan tatap muka, konferensi pers dilakukan secara online. Tak ada lagi peluncuran produk yang dihadiri ratusan wartawan secara tatap muka.
Perusahaan pun mengurangi biaya promosi dan kehumasan saat pandemi. Kalaupun ada peluncuran produk, selalu dilakukan secara daring.
Kebiasaan baru ini membawa konsekuensi. Marketing gimmick dikurangi, tak ada lagi voucher fisik dan goodie bag. Goodie bag diganti voucher pulsa atau e-money yang dikirim via kurir/ojol.
Kalaupun masih ada peminjaman produk, itu dilakukan dengan sangat selektif. Jarang sekali ada perusahaan yang masih jor-joran atau menghamburkan anggaran pemasaran. Kebanyakan wartawan yang hanya mengharap benda promosi pun gigit jari.
Kebiasaan yang berlangsung selama pandemi membentuk normalisasi baru. Ditambah dengan kondisi ekonomi dan bisnis global yang tak menentu, beberapa perusahaan teknologi tetap mengencangkan ikat pinggang. Anggaran marketing dan humas belum pulih seperti di masa sebelum pandemi. Apa akibatnya?
Konferensi pers dan peluncuran produk tak semewah dulu lagi. Perusahaan benar-benar menghemat anggaran dengan mengatur strategi penyampaian pesan dengan cerdas. Program marketing terbatas dengan target spesifik dirancang dengan mengandalkan kanal baru: media sosial dan influencer.
Bagaimana respons wartawan media arustama menghadapi normal baru ini? Bagaimana pula humas merancang hubungan baru dengan media?
Ah, mosok saya juga harus kasih tahu sik, Kisanak?
Tinggalkan komentar