Cinta Pecas Ndahe

Oktober 18, 2008 § 62 Komentar

Pagi baru saja pergi dan siang datang membawa panas. Kabut lesap ditelan cahaya. Matahari Oktober memamerkan sinar yang berdenyar-denyar membakar kulit jangat.

Lelaki pecinta bumi dan bidadari senja menggelandang ke timur, menantang matahari. Tangan mereka saling menggenggam, bergandengan bagaikan bintang dan rembulan dan yang berdekatan di jantung rimba malam.

Sejak pertemuan dinihari yang menggetarkan itu, mereka tak pernah berpisah lagi. Seperti daun dan ranting. Seperti pelangi dan hujan. Seperti kemarau dan lengas. Bila hati saling bertaut, rindu yang ditabalkan berpendar-pendar. Udara wangi melati.

“Ceritakanlah kepadaku tentang cinta,” tiba-tiba bidadari senja berkata.

“Cinta? Aku tak tahu,” jawab lelaki pecinta bumi.

“Ayolah, kamu pasti bisa,” bidadari senja meminta.

Lelaki pecinta bumi terdiam. Sejenak kemudian dia teringat sebuah sajak kecil tentang cinta karya Sapardi.

mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu(mu) harus menjadi aku …

Cinta mungkin memang tak mudah. Barangkali ia juga bukan sesuatu yang final. « Read the rest of this entry »

Pandan Pecas Ndahe

Oktober 16, 2008 § 39 Komentar

Setelah tujuh purnama dan malam-malam yang meranggas di musim panas, lelaki wangi pandan itu akhirnya bertemu dengan bidadari bersayap retak.

Seperti sebelumnya, pertemuan terjadi pada dinihari, batas antara malam dan pagi yang belum datang. Tapi, kali ini tanpa bintang dan rembulan. Awan hitam menyembunyikan mereka di pojokan langit. Kilat sesekali menyala di cakrawala.

“Kukira kau sudah terbang menuju tanah impian dan tak kembali lagi. Apa yang membawamu kemari, Bidadari?” tanya lelaki wangi pandan itu setengah tak percaya.

Bidadari bersayap retak memamerkan senyumnya yang seteduh telaga, lalu menjawab, “Kamu.”

Lelaki itu terhenyak. Jawaban itu seperti mantra yang membuatnya jadi bisu. “Aku?” « Read the rest of this entry »

Soledad Pecas Ndahe

Oktober 14, 2008 § 27 Komentar

Kepada lelaki di bawah gerimis itu, seorang bidadari mengajukan permintaan. Terdengarnya seperti pertanyaan. Sederhana, tapi membuat kata-kata yang semula menari-nari di pelupuk mata terbang entah ke mana.

“Ceritakan kepadaku tentang revenge, Tuan,” kata bidadari itu tiba-tiba.

Lelaki itu terhenyak. Ia tak pernah menyangka ada bidadari yang penasaran tentang hakekat sebuah usaha membuat impas, pembalasan. Adakah dia mendendam? Apakah ia pernah terluka?

Purnama nyaris sempurna ketika lelaki itu mendengar bidadari itu berkata ringan. Langit terhampar bak savana di jantung Afrika. Bersih. Nyaris tanpa cacat. Bintang-bintang berkeredep di ujung-ujung gelap.

Lelaki di bawah gerimis itu tersenyum. “Mengapa kau ingin tahu, duhai bidadari?” ia balik bertanya.

“Ceritakan saja, usah kau bertanya. Aku ingin mengetahui isi kepalamu,” bidadari itu menyergah. « Read the rest of this entry »

Menanti Pecas Ndahe

Desember 10, 2007 § 17 Komentar

Kepada bayangan senja yang bersembunyi di balik cahaya. Yang bersahaja seperti nyanyi. Terima kasihku kepadamu yang telah menanti …

dalam pekatnya selimut malam
dalam dekapan angin yang berhembus hangat
bersama para bidadari yang menari di balik rerimbunan bintang
dalam belitan beban yang menindih pundakmu yang kian kuyu
bersama matahari yang meletek setiap pagi
di tengah pikuknya kehidupan yang membiru
di pinggir jalanan yang terus berlari tanpa henti …

Aku tahu, sungguh bukan pilihan yang mudah menanti seseorang yang bahkan tak pernah kau kenangkan dalam mimpi. Aku mengerti. « Read the rest of this entry »

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with bidadari at Ndoro Kakung.