Soledad Pecas Ndahe
Oktober 14, 2008 § 27 Komentar
Kepada lelaki di bawah gerimis itu, seorang bidadari mengajukan permintaan. Terdengarnya seperti pertanyaan. Sederhana, tapi membuat kata-kata yang semula menari-nari di pelupuk mata terbang entah ke mana.
“Ceritakan kepadaku tentang revenge, Tuan,” kata bidadari itu tiba-tiba.
Lelaki itu terhenyak. Ia tak pernah menyangka ada bidadari yang penasaran tentang hakekat sebuah usaha membuat impas, pembalasan. Adakah dia mendendam? Apakah ia pernah terluka?
Purnama nyaris sempurna ketika lelaki itu mendengar bidadari itu berkata ringan. Langit terhampar bak savana di jantung Afrika. Bersih. Nyaris tanpa cacat. Bintang-bintang berkeredep di ujung-ujung gelap.
Lelaki di bawah gerimis itu tersenyum. “Mengapa kau ingin tahu, duhai bidadari?” ia balik bertanya.
“Ceritakan saja, usah kau bertanya. Aku ingin mengetahui isi kepalamu,” bidadari itu menyergah.
Maka, di tengah soledad yang nglangut, suara lelaki itu pun berdenting-denting seperti petikan sitar.
“Tentang revenge, aku teringat ujaran Gandhi. Bila mata dibalas mata, dunia akan gelap gulita. Buta,” begitu lelaki di bawah gerimis itu memulai kata-katanya.
Bidadari itu seperti mendengar keluhan yang getir. Lelaki itu sejenak terdiam. Ia mengenang masa silam mereka. Entah sudah purnama ke berapa dia tak pernah bersua lagi dengan bidadari itu sejak pertemuan dinihari mereka yang terakhir.
Sesekali, lelaki di bawah gerimis itu memang sempat menangkap kelebat bayang-bayangnya yang lindap selepas senja di utara. Kadang dia ada di timur. Tapi ia tak pernah nyata. Bahkan wanginya pun tak tersesap hidungnya. Sekarang tiba-tiba ia duduk di sampingnya, dengan permintaan yang setengah absurd.
Sayup-sayup ia seperti mendengar suara Kikan yang berteriak dengan suara parau … Karma.
“Bila umurku panjang, kelak ku kan datang tuk buktikan
satu balasan kan kau jelang
jangan menangis sayang
kuingin kau rasakan pahitnya terbuang sia-sia
memang kau pantas dapatkanakhirnya usai sudah
kudapat tertawa, bahagia …”
Tapi benarkah setiap pembalasan melahirkan tawa bahagia? Dalam hening, lelaki di bawah gerimis itu lalu melanjutkan senandikanya … tentang dendam dan pembalasan.
Lelaki di bawah gerimis itu teringat sebuah cuplikan epik yang mashyur itu — sebuah episode paling mengenaskan dari Perang Baratayuda di Kurusetra — seperti dikisahkan seorang pujangga tua.
Syahdan, Duryudhana, yang pahanya hancur oleh pukulan gada Bima, yang kepalanya luka parah, yang menderita panjang sebelum ajal datang beringsut-ingsut, akhirnya habis di tepi telaga yang memerah darah.
Beberapa prajurit yang menyaksikan pertempuran itu kemudian bercerita bagaimana pemimpin sulung para Kurawa itu, dalam kesakitan yang hebat, masih berkata dengan jelas, dengan pahit, dan final seakan-akan kepada bayang-bayang lawannya di pasir tempat ia roboh.
“Aku pergi ke surga dengan saudara dan kawan-kawanku. Tapi kau, yang menang, akan tetap di dunia. Untuk merasakan belasungkawa. Untuk merasakan kehilangan, untuk menanggung kesedihan atas kematian para sahabat dan sanak famili. Kemenangan macam apa yang kau capai? Toh akhirnya tak lain hanyalah tumpukan abu yang menutupi mulutmu. Selamat tinggal!” kata Duryudhana dengan suaranya yang terakhir.
Seorang pangeran tua, Balarama, yang sedang lewat dan ikut menyaksikan dari jauh bagaimana Bima menghancurkan musuhnya dalam dengus dendam bertahun-tahun, merasa jijik.
Kekerasan memang tak selamanya bisa dielakkan. Dan para kesatria dilahirkan untuk menanggungkan beban dari senjata, perisai, pertempuran, rasa sakit, dan takut.
Tapi sejauh mana kekerasan harus diumbar, dan Bima punya hak untuk menghantam Duryudhana dengan cara yang licik?
Balarama tak punya jawaban. Tapi, ia tahu, pada akhirnya, dendam dan pelampiasan tak melahirkan seorang pemenang pun. Pelampiasan dendam yang mengendap tebal hanya akan menyisakan getir. Semua terluka.
“Jadi masihkah kau hendak mengajukan pertanyaan tentang revenge, duhai bidadari?” lelaki di bawah gerimis itu mengulang pertanyaan.
Bidadari itu termangu. Lalu terbang dengan sayapnya yang rapuh dan retak di sana-sini. Ia tak kembali lagi, meninggalkan lelaki di bawah gerimis itu dalam soledad …
Beri peringkat:
Terkait
Tagged: bidadari, cerpen, liris, metafora, prosa
Thinxx [?]
Akung memang ndak ada matinye, gas teruss kung…
Sayap sayap patah yang menjadikan langkah tegap
*3x naik podium*
Wah, ini bukan sekadar metafora… ada metafisika juga kayaknya.
hmm,,sastra,,,*sambil terus berpikir*
soledad.. its a keeping from the lonely.. since de day that u were gone.. why did u leave me soledaad.. (music)
bidadari itu jadi teringat tragedi Bom Bali…
kenapa bidadari itu sayapnya selalu retak di sana-sini ya?
soledadnya west life kah?????
mana cerita buat saya? doh…!
revenge = dilema (menurut saya ndor..)
soledad, solitude, sepi…
tapi kok nggak ada pertanyaan di ujung cerita, ya?
*dahi berkerut*
Bagaikan bumi yang tengadah siap menerima segala yang tercurah tanpa sedikitkun berkesah, namun apa yang diberikannya adalah segala hal yang indah dan penuh manfaat bagi penghuninya atau laut yang tetap teguh menelan segala yang terlabuh. Oh manusia bijak bestari lenguhmu adalah untaian dzikir pujian semesta, tarik nafasmu adalah endapan kebijakan yang menghidupkan nurani …
“Selamat Soledad..selamat solemam…solly pulang telat, ada les tambahan…”
good, wait for next
aaahhh barathayuda lagi, jadi inget postingan2 ndoro di rumah yang lama
damai lebih indah…
Salam
memaafkan itu lebih mendamaikan *nyambung ga sie*
eh ndoro, saya juga penggemar wayang.
di versi yang saya baca, digambar oleh RA Kosasih, yang terjadi justru Bima tidak mau membunuh Duryudhana. Tapi Sri Kresna membujuknya, dia katakan bahwa sebagai seorang ksatria, lumpuh dan menanggung malu adalah nista bagi Duryudhana.
Duryudhana juga yang meminta belas kasih Bima untuk berkenan membunuhnya. Kesadisan Bima justru terjadi ketika dia digambarkan merobek mulut Dursasana.
Maaf kurang lebihnya ndoro.
dendam memang tidak pernah ada habisnya layaknya kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian
tetapi hukum karma juga tidak akan mampu kita hindari, percaya atau tidak, siap atau tidak bahkan mengerti atau tidak tentang hukum karma tetap saja hukum ini berlaku pada siapa pun…
seandainya ada pihak yang berniat atau berlaku buruk pada kita, paling bijaksana adalah untuk tidak menaruh dendam padanya karena mereka akhirnya juga tidak akan bisa lari dari karma yang telah mereka tanam..
semoga kita semua bisa bertindak lebih bijaksana dan…
semoga semua makhluk berbahagia
dunianyawira.wordpress.com
Cerpennya bagus.
Eh ini cerpen kan? Atau cerbung? 🙂
hwehe. lagi ngomongin purnama juga, tho? ama bidadari juga? kok nyambung gitu, ya? hwehe…
(^_^)v
Ndoro, untuk mengurangi kemiskinan yang diperlukan adalah pengembangan sektor riil, nah buat rekan rekan blogger yang punya modal atau punya temen bermodal bisa ambil ide saya ini tentang pengembangan bisnis es tebu di tempat saya. lumayan buat bantuin petani tebu kita.
saya ingat Soledad nama kura kura kesayangan Pelukis Salim, yang baru saja meninggaldi Perancis…
Dan Salim tak berpretensi memiliki dendam terhadap negerinya.
“Soledad”
kayak nama dari telenovela dulu
🙂
yg selalu di siksa sodara2nya
😉
feeling nih
ada benang merah dgn yg dulu … 😀