Pertanyaan Pecas Ndahe
September 23, 2014 § 73 Komentar
Aku suka pertanyaan. Terutama pertanyaan yang datang dari mulutmu yang tak henti merenyeh. Kamu sering menanyakan hal-hal yang tampaknya tak penting dan aneh, tapi selalu mengusik hatiku.
Suatu kali, misalnya, kamu pernah bertanya, “Berapa liter air mata yang tumpah di Jakarta setiap hari?”
Pasti sulit sekali untuk mengukur berapa liter air mata yang tumpah di kota ini. Karena kita tahu ada orang-orang yang hanya menangis dalam hati sambil memandangi keluar jendela kantornya. Jendela apartemennya. Jendela rumahnya. Jendela bus Transjakarta. Atau jendela taksi.
Tapi begitulah caramu bertanya. Sesuatu yang aku sukai sejak dulu. Sampai sekarang. « Read the rest of this entry »
Perlip Pecas Ndahe
September 22, 2014 § 36 Komentar
Your words and my thoughts are heavy clouds over my head, but I know the sun is somewhere hidden behind. I want to rest for a moment now to gather my pieces. I want to take time to sort out the gem from the junk. I want things to flow again and I know only one thing to do: to be silent again, for just a moment….
Begitulah bait terakhir yang kuterima malam itu darimu. Selanjutnya hening.
Dan aku teringat pada kutipan yang masyhur itu, “Women use silence to express pain.”
Aku tak tahu kebenaran pernyataan itu. Sebab, tentang perempuan, ada sejuta tebakan sekaligus sejuta kemungkinan untuk salah.
Seseorang pernah mengatakan, “Bahkan 1001 malam pun tak cukup buat mendefinisikan perempuan.”
Ia mungkin hiperbolis … atau barangkali justru tahu diri. Perempuan memang susah ditebak. Meski para pria sering sok tahu, sesungguhnya mereka sangat kerap tertipu. « Read the rest of this entry »
Lovers Pecas Ndahe
September 12, 2014 § 51 Komentar
Antara Jakarta – Los Angeles. Betapa jauh jarak membentang. Tapi teknologi meringkusnya sedemikian dekat. Aku baru menyadarinya ketika larik-larik teks singkat mendadak nongol di depanku sore ini; mengusik konsentrasiku.
Seseorang dari masa lalu mendadak terlempar di depanku, dalam wujud teks yang berpendar di layar komputerku. Berikutnya adalah sebuah obrolan — sesuatu yang entah sekian tahun silam berhenti.
Teks-teks obrolan mengalir kencang, bersicepat dengan kegugupan. Dari sapaan ringan yang kasual sampai kenangan yang tak pernah hilang…sampai akhirnya … « Read the rest of this entry »
Gelisah Pecas Ndahe
Maret 12, 2014 § 70 Komentar
Hujan selalu membuat kita gelisah, Kei. Setiap kali hujan jatuh, kamu pasti buru-buru meneleponku, menanyakan, “Kamu bawa payung? Jas hujan? Mau dijemput nggak, Mas?”
Padahal dari apartemenku aku tinggal lari ke depan untuk sampai ke halte bus Transjakarta yang akan membawaku ke kantor. Aku tak perlu payung atau jas hujan. Biarlah basah sedikit tak mengapa. « Read the rest of this entry »
Lunch Pecas Ndahe
Maret 11, 2014 § 25 Komentar
Makan siang bersamamu tak pernah sama, Kei. Kemarin kita di Cangkir, mengigit-gigit daging kambing lembut itu seraya melihat hujan yang jatuh berderai-derai membasahi kawasan Panglima Polim.
Minggu lalu kita di Warung Made karena kamu ingin mencoba nasi ayam betutunya yang bisa menari di lidah. Sebelumnya lagi kamu mengajakku ke Black House.
Entah untuk yang keberapa kalinya siang ini kamu merajuk ingin melewatkan jemu di tempat kita pertama bertemu dulu. “Aku lagi pengen yang anget, mas,” begitu alasanmu. Mendung memang menggantung di atas Jakarta. « Read the rest of this entry »
Refill Pecas Ndahe
Oktober 7, 2010 § 55 Komentar
Jakarta basah kuyup malam itu. Hujan jatuh luar biasa deras sejak sore. Air menciptakan genangan di mana-mana. Tak ayal, kendaraan melambat, lalu lintas pun tersendat.
Di dalam mobil, saya menengok keluar, melihat gelap yang semakin pekat. Mata saya nanar. ATM, tempat yang hendak saya tuju tak jua bertemu. Seperti ayam rabun senja, saya mencari-cari gerai ATM sebuah bank di kawasan Kebayoran.
ATM itu berada di pinggir jalan besar, persis di bawah pohon mahoni rimbun yang malam itu seperti raksasa yang tunduk oleh tumpahan air hujan. Saya harus berlari setelah menepikan mobil dan parkir agar tak basah oleh air hujan yang jatuh berderai-derai menuju bilik kaca tempat ATM berada.
Di ruang kaca itu, ada tiga ATM. Yang paling kiri untuk pecahan Rp 100 ribu dan dua mesin di sebelah kanannya untuk pecahan Rp 50 ribu. Di mesin paling kiri itulah saya melihat seorang perempuan berblazer dan pantalon hitam sedang berdiri seperti menanti sesuatu. Karena tak ingin mengganggu, saya pun memilih mesin dengan pecahan yang lebih kecil. Saya hanya ingin mengisi ulang pulsa kartu telepon yang sudah habis.
Setelah beberapa menit, saya menyelesaikan transaksi dan beranjak ke pintu keluar. Ketika itulah perempuan necis itu menoleh dan menahan langkah saya. « Read the rest of this entry »