Kemiskinan Pecas Ndahe

Oktober 15, 2008 § 52 Komentar

Tuan, tahukah kau tentang si miskin yang rudin? Siapakah mereka gerangan? Dari manakah mereka datang?

Seseorang baru saja memberi tahu — dengan wajah keruh. Ia berbisik ketika bercerita bahwa si miskin adalah tokoh sejarah dengan riwayat yang sangat panjang. Mungkin terlalu panjang. Ia ada sebelum para raja dinobatkan, dan ia tetap ada di zaman ini, sesudah para raja (kecuali di kartu remi) berhenti berfungsi.

Si miskin lahir, anehnya, bersamaan dengan lahirnya si kaya. Di masyarakat yang masih terbatas gerak naik-turunnya, di kalangan puak yang belum mengenal uang yang dimiliki sendiri dan barang yang diperjual-belikan, si miskin adalah tokoh cerita yang ganjil. Mereka tak punya makanan, tak punya teman.

Pernahkah Tuan bersalaman dengannya?

Mungkin belum. Tuan dan puan tentulah enggan berdekatan, apalagi bersalaman dengan mereka, kaum paria. Mereka, si rudin, jelata yang tak bernama datang dari mana-mana, dan bergerombol di mana-mana. Celakanya, sejarah mengajarkan, si miskin akan selalu bersama kita.

Pernahkah Tuan menjenguk rumah kardus mereka? Mengintip nasi kerak di piring mereka?

Jika Tuan belum pernah menyaksikan kemiskinan, jika Tuan tak pernah menengok buruh-buruh bangunan yang jongkok di tepi jalan Jakarta hingga jauh malam, lihatlah gambar-gambar Kathe Kollwitz.

Pelukis wanita itu membuat sketsa hitam-putih yang paling muram dalam sejarah seni rupa, tentang kemelaratan di Eropa di akhir abad ke-18.

“Sepanjang hidupku,” demikian tulisnya, “aku meneruskan suatu percakapan dengan maut.”

Maut memang satu-satunya alternatif bagi mereka yang hidup dengan nafkah yang terhimpit. “Hidup Bebas, atau Mati!”

Vivre Libre, ou Mourir! Itulah slogan yang tertulis pada poster Komune Paris 1871. Ketika itu? orang-orang miskin yang marah menguasai ibu kota Prancis selama 62 hari, dan Sungai Seine jadi merah. Ada 25.000 orang yang tewas di jalan-jalan dalam bentrokan antara revolusi dan kontrarevolusi.

Pilihan memang seakan dibikin terbatas. Orang-orang miskin Kota Paris telah mengalami bagaimana rasanya ketika kota itu dikepung tentara Jerman selama empat bulan sampai akhir Januari 1871.

Ada 150.000 biri-biri, 24.000 sapi, dan 6.000 babi yang disiapkan untuk penduduk selama pengepungan itu, tapl ternyata tak cukup. Kuda pun mulai dimakan, gajah di kebun binatang telah ditembak, dan tiap penduduk dijatah 120 gram daging buat tiga hari yang dingin.

Tapi itu cuma teori. Orang kaya tetap bisa mengunjungi restoran dan memesan daging kambing bakar yang enak. Si miskin makan tikus.

Para borjuis Paris rupanya, memang lupa bahwa Eropa sedang penuh oleh tanda-tanda zaman. Beberapa tahun sebelumnya, 1848, Karl Marx toh telah mengumumkan Manifesto Komunis-nya.

Di London, Mikhail Bakunin tiba, setelah melarikan diri dari Siberia, pada 1861. Anarkis besar ini ingin menghancurkan segala-galanya seraya mengutip Proudhon: “Milik adalah hasil curian.”

Tapi bukankah hari kemakmuran sedang mendekati? Bukankah, menurut statistik yang disusun kemudian hari, antara 1870 dan 1900 upah nyata para buruh naik sampai 50 persen? Kenapa justru pekerja Paris demikian marah – dan meletupkan pemberontakan yang bahkan bikin kaget Karl Marx?

“Manusia harus hidup untuk sesuatu yang lebih baik,” kata Maxim Gorky. Bahwa ternyata kemudian “sesuatu yang lebih baik” itu terlepas lagi, agaknya, bukan alasan untuk mencemooh impian orang yang tiap hari diludahi kemiskinan.

Banyak hal misalnya yang menggelikan selama Paris dikuasai Komune 62 hari. Tapi para pemberontak itu toh bersedia mati dan sanggup bertahan tujuh hari dari serangan balik pasukan pemerintah: suatu heroisme yang, betapa pun konyolnya, tetap suatu heroisme. Untuk suatu impian.

Mungkin itulah satu-satunya makna yang tinggal jika kini orang berbicara untuk sosialisme. Makna yang lain kian lindap, ketika di masa ini sosialisme ternyata hanya melahirkan birokrasi besar yang menindih manusia.

Tapi, kapitalisme pun ternyata bukan obat yang mujarab. Ketika bangunan kapitalistik kian mencakar langit, pondasinya terlihat sangat rapuh. Begitu lindu mengguncang, dia ambruk. Dan orang-orang kaya pun menjerit saat harga saham mereka bergelimpangan cuma seharga sebungkus rokok kretek …

>> Selamat hari Rabu, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean sudah membuat posting tentang kemiskinan?

Blog Action Day.

Tagged: , , , , ,

§ 52 Responses to Kemiskinan Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kemiskinan Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: