Pandan Pecas Ndahe
Oktober 16, 2008 § 39 Komentar
Setelah tujuh purnama dan malam-malam yang meranggas di musim panas, lelaki wangi pandan itu akhirnya bertemu dengan bidadari bersayap retak.
Seperti sebelumnya, pertemuan terjadi pada dinihari, batas antara malam dan pagi yang belum datang. Tapi, kali ini tanpa bintang dan rembulan. Awan hitam menyembunyikan mereka di pojokan langit. Kilat sesekali menyala di cakrawala.
“Kukira kau sudah terbang menuju tanah impian dan tak kembali lagi. Apa yang membawamu kemari, Bidadari?” tanya lelaki wangi pandan itu setengah tak percaya.
Bidadari bersayap retak memamerkan senyumnya yang seteduh telaga, lalu menjawab, “Kamu.”
Lelaki itu terhenyak. Jawaban itu seperti mantra yang membuatnya jadi bisu. “Aku?”
Bagaimana mungkin, lelaki itu membatin. Tujuh purnama silam, bidadari itu pergi dalam gegas lekas-lekas — seperti gerimis kepagian. Air kali langsung likat. Embun lindap. Dan matahari bersembunyi sepekan lamanya.
Lelaki wangi pandan itu ingat, hujan tumpah, geledek menggeletar perih ketika bidadari itu berkata, “Aku harus pergi.”
Lelaki itu seperti menelan biji duku. Di bawah langit mendung, ia menengadahkan kepala, merasakan hujan yang mengguyur kepalanya seolah tusukan jarum-jarum tajam. Sejenak kemudian, lelaki wangi pandan itu merasa seperti dirajam selaksa sembilu.
Mengapa kau harus pergi, bidadari? Adakah yang tak terkatakan?
Bidadari itu cuma tersenyum, seperti biasanya. Lalu mengepakkan sayap retaknya membubung ke angkasa.
Sejak itu, hidup lelaki wangi pandan bagaikan roller coaster. Jatuh bangun tak keruan. Sampai kemudian dia memutuskan menggelandang bersama bintang-bintang setiap malam. Ia ingin menelikung sepi dengan caranya sendiri.
Tapi jalan panjang pencarian yang disusurinya ternyata tak menyembuhkan melainkan justru kian memerihkan. Dari pintu ke pintu ia mengetuk tanya. Dari ladang ke ladang ia meminta harap. Hanya kepedihan yang dia dapatkan.
Ah, jika saja sang waktu bisa dihentikan, lelaki wangi pandan itu pasti akan memilih saat pertama mereka bertemu membeku. Ia ingin membingkainya, menjadikannya selembar kenangan yang selalu bisa ditengok ulang. Sayang, dulu cuma abadi di masa lalu. Masa lalu seperti batu padas, tak bisa diapa-apakan.
Adakah bidadari itu peduli?
Di tepi ladang impian, bidadari duduk di kursi kayu mahoni. Ia termenung dalam perasaan yang ganjil, tentang lelaki wangi pandan. Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Lelaki itu telah mematri perasaan dan hatinya ke dasar palung yang gelap. Dan ia merasa tersesat.
Segalanya jadi tak mudah. Tapi bagaimana mungkin semua mesti dikatakan? Bagaimana mungkin semua kartu yang dipertaruhkan terbuka begitu saja? Ia takut lelaki wangi pandan itu kecewa.
Bidadari itu hanya bisa mengeluh dalam hati. Kapankah aku bisa bicara dengan lelaki wangi pandan itu tentang perasaan yang kian menyiksa, tentang gelisah yang tak teredam? Apakah hanya dia yang merasakan hidupnya bagaikan menunggang gelombang pasang?
Lelaki wangi pandan itu pasti tak tahu bagaimana hati bidadari menggeletar setiap kali mengenang pertemuan pertama yang menggetarkan itu. Sesuatu yang membuatnya terkenang adalah perasaan aman dan nyaman. Tak pahamkah lelaki itu? Haruskah aku menemuinya lagi … lagi … dan lagi untuk memastikan semuanya?
Dan bidadari sayap retak itu pun terpelanting di simpang jalan … sampai kemudian ia memutuskan menemui lelaki wangi pandan di tepi malam. Ia merasa harus menghentikan perasaan yang kian menyiksa, juga rindu yang tak terkatakan, dan cinta yang tak terungkap. Melebur batas-batas.
Maka, ketika mereka akhirnya bertemu, kata-kata yang semula menari di pelupuk mata langsung sirna. Hanya ada tatapan mata. Bias-bias rona pelangi. Hening.
Dan segalanya pun terjelaskan ketika lelaki wangi pandan itu menggenggam tangan bidadari dengan lembut dan mengajaknya berjalan menyusuri pagi, siang, malam, dan seluruh sisa hidup mereka ….
>> Selamat hari Kamis, Ki Sanak. Apakah sampean pernah merasakan asyiknya menggelandang bersama bintang-bintang?
Beri peringkat:
Terkait
Tagged: bidadari, cerpen, cinta, liris, metafora, prosa, romansa
Hualah roller coaster… 😆
sedang gelandang bersama bintang-bintang dimana ndoro? sanur apa kuta?
berbaring di pasir sambil tengadah menatap bintang…??
uih kayak2nya enak tuh kalo bisa dilakoni,
sayang pantaiku & indonesiaku sudah penuh dengan polusi.. bintangpun gak mau mendekat, takut batuk 😀
postingan ndoro belakangan ini ‘gothic’ semuah yah 😀
ndoro ngomongne bidadari terus!! gak bosen tah???
Jadi bidadari itu sulit. Being an angel is angel, angel tenan (*@&!#(!@&
Berharap bidadari berseluncur bersama bintang di pelangi. lagi biru nih.
bahasa indonesia kah ini?
komen dulu baru baca ..
Pernah ndoro bahkan bintang2 pun banyak yang kenal akrab sama saya. Sampaikan salam saya Kung, pada gadis manis pembawa sesaji di pura sebrang itu.
wah, itu mah pernah, ndoro. pas waktu ngantri tiket buat mudik, hehe…
@mukelu
sama 😆
napa ya bacanya dr tadi inget pandan wangi hihi.. 😀
lelaki wangi pandan ? Ini cerita tentang bapaknya si ikal dari laskar pelangi ya ? 🙂
bidadari yang malang…aku tau apa yang kamu rasakan huuhuuu…
*halah opo tho diin :p
masa lalu adalah batu padas. tak bisa diapa2kan.
dan masa depan adalah tanah lempung liat. menunggu untuk dibentuk.
(inget bukunya Sidney Sheldon)
titip pesen kanggo pandan dan bidadari, saiki jamane gampang meteng 😛
Setuju pisang kang Hedi……
yang kebayang wangi pandan di bubur sumsum
halahhhhhhh kalau lapar mau dibilang apa juga kebayangnya makanan 😛
lelaki wangi pandan?
tukang beras yah ndoro?
ini bidadari yang mana lagi ndor?
ohh bidadariku..jangan kau pergi lagi ya..
yang wangi pandan itu, kalau lagi di hutan, berarti ada ular Sanca/Phyton lewat ….. 🙂
liat bintang yuk, ndoro mas …….
weleh..
selamat hari kamis juga deh.. 😀
komen aja… 😆
lelaki kemangi itu masa lalu. lelaki pandan itu masa kini 🙂
*selama ini kucari di mana kau berada, ternyata kau menggelandang bersama bintang-bintang, dan bintang-bintang itu berkelip di langit hatiku. jadi kala kujenguk ke kedalamannya, terkejutlah aku ketika kutemukan kau, bercahaya di antara bintang-bintang, jauh lebih terang. ah, ternyata kau telah memasuki hatiku diam-diam, dan menghiasinya bersama bintang-bintang*
Memang lelalki wangi pandan mempunyai karisma tersendiri..
Pasti wetone Setu pahing..
Hiffffufff melihat bintang dan terbang ke awan…..Salam kenal ndoro…..mampir dunk ke Kerajaan koe
lelaki bau pandan..??
sing mambu pandan kan mung luwak..?
sopo yo lelaki standar luwak..??
koyone aku ngerti
lelaki wangi pandan ?
Apakah Pakdhe Wicak sudi menemaniku menggelandang bintang-bintang di luasnya lazuardi itu??
yah, lagi2 gk mudeng apa yg dtulis ndoro :d
sekarang koq ngomongin bidadari terus,
jadi kangen nich ama paklik isnogud 🙂 …
gileee..bagus banget. salut ntuk ndoro..
Salam
sayang lelaki wangi pandan itu tak bisa saya milikki *halah* 😀
impressive 😀
Alinea pertama seperti lirik lagu dangdut 80-an. “tujuh purnama”, “bulan di pucuk cemara” … ehm.
Congrats on a strong race. Youre consistency in your splits is awesome! Sorry to hear youre leaving marathoning, but I think youre leaving it on a pretty high note!