Perlip Pecas Ndahe
September 22, 2014 § 36 Komentar
Your words and my thoughts are heavy clouds over my head, but I know the sun is somewhere hidden behind. I want to rest for a moment now to gather my pieces. I want to take time to sort out the gem from the junk. I want things to flow again and I know only one thing to do: to be silent again, for just a moment….
Begitulah bait terakhir yang kuterima malam itu darimu. Selanjutnya hening.
Dan aku teringat pada kutipan yang masyhur itu, “Women use silence to express pain.”
Aku tak tahu kebenaran pernyataan itu. Sebab, tentang perempuan, ada sejuta tebakan sekaligus sejuta kemungkinan untuk salah.
Seseorang pernah mengatakan, “Bahkan 1001 malam pun tak cukup buat mendefinisikan perempuan.”
Ia mungkin hiperbolis … atau barangkali justru tahu diri. Perempuan memang susah ditebak. Meski para pria sering sok tahu, sesungguhnya mereka sangat kerap tertipu. « Read the rest of this entry »
Trotoar Pecas Ndahe
Maret 2, 2009 § 101 Komentar
Komunitas blogger Bundaran Hotel Indonesia (BHI) terancam pindah tempat nongkrong. Kalau terpaksa pindah markas, lantas apakah nama mereka harus berubah?
Sinyal buruk itu sebenarnya sudah saya dengar sejak pekan lalu lewat milis BHI. Tapi baru Ahad kemarin mendapatkan semacam konfirmasi melalui sebuah tulisan pendek di Kompas Minggu dengan judul menohok: JANGAN GUSUR KAMI.
Apakah gerangan penyebabnya? « Read the rest of this entry »
Ruang Pecas Ndahe
Juni 15, 2007 § 37 Komentar
Hati yang luka. Jiwa yang kosong.
Ke mana harus berlabuh.
Sedang daun-daun kering pun terbawa angin …
Saya pernah membaca bait-bait itu di buku harian kawan perempuan saya itu, bertahun yang lalu. Ia memamerkannya ketika kami sama-sama sedang keranjingan belajar menulis puisi.
Saya lupa kenapa waktu itu kami seperti itu. Mungkin gara-gara kami baru saja menyaksikan sebuah pertunjukkan baca puisi di Taman Ismail Marzuki. Atau barangkali setelah kami menonton DVD lawas, Dead Poets Society untuk yang kesepuluh kalinya. Entah. Saya tak ingat.
Malam itu, anehnya, saya tiba-tiba ingat puisi itu ketika dia meminta saya menemaninya tinggal sejenak di apartemennya. Saya tahu hatinya sedang terluka. Karena itu, ia pasti membutuhkan seseorang untuk berbincang — seperti biasanya dulu. Tapi, menuruti permintaanya cuma akan membuat persoalan kian rumit. Saya ndak mau memanfaatkan kesempatan.
Sesaat, saya tertegun dalam bimbang. Saat itulah, handphone-nya menjerit nyaring. Sebuah SMS masuk. Ia kaget. Aha, saved by the bell. « Read the rest of this entry »