Ruang Pecas Ndahe

Juni 15, 2007 § 37 Komentar

Hati yang luka. Jiwa yang kosong.
Ke mana harus berlabuh.
Sedang daun-daun kering pun terbawa angin …

Saya pernah membaca bait-bait itu di buku harian kawan perempuan saya itu, bertahun yang lalu. Ia memamerkannya ketika kami sama-sama sedang keranjingan belajar menulis puisi.

Saya lupa kenapa waktu itu kami seperti itu. Mungkin gara-gara kami baru saja menyaksikan sebuah pertunjukkan baca puisi di Taman Ismail Marzuki. Atau barangkali setelah kami menonton DVD lawas, Dead Poets Society untuk yang kesepuluh kalinya. Entah. Saya tak ingat.

Malam itu, anehnya, saya tiba-tiba ingat puisi itu ketika dia meminta saya menemaninya tinggal sejenak di apartemennya. Saya tahu hatinya sedang terluka. Karena itu, ia pasti membutuhkan seseorang untuk berbincang — seperti biasanya dulu. Tapi, menuruti permintaanya cuma akan membuat persoalan kian rumit. Saya ndak mau memanfaatkan kesempatan.

Sesaat, saya tertegun dalam bimbang. Saat itulah, handphone-nya menjerit nyaring. Sebuah SMS masuk. Ia kaget. Aha, saved by the bell.

Dengan malas-malasan, dia merogoh tas, meraba-raba barang yang dicarinya. Ketemu. Ia membacanya sekilas.

“Shit! Ayo, Mas. Kita jalan lagi aja,” ajaknya sambil mengangkat kepalanya yang dari tadi nyender di bahu kiri saya.

Jalan? Oke. Tanpa bertanya, saya masukkan gigi transmisi dan menginjak pedal gas perlahan. Fiuh. Saya menghela napas lega terlepas dari dilema itu.

Di pintu depan, satpam yang tadi membuka portal terlihat bingung ketika kami ternyata keluar lagi tanpa sempat turun dari mobil. Saya tahu dari wajahnya yang nyengir wagu. Ah, biarlah. Itu urusan dia, bukan urusan saya.

“Ke mana, Jeng?”

“Ke mana sajalah. Terserah, Mas. Pokoknya pergi dari sini. Cepetan, Mas.”

Pergi? Wah, gawat nih, saya membatin. Terus terang mata saya mulai tak bisa diajak kompromi. Menyetir dalam keadaan mengantuk itu berbahaya. Dua kali saya pernah kecelakaan gara-gara tertidur sewaktu menyopir.

Last time, saya menghajar pantat truk yang sedang berhenti di dekat Slipi Jaya, lima tahun yang lalu. Hidung mobil ringsek. Untunglah safety belt bekerja dengan semestinya sehingga saya terhindar dari cedera yang lebih serius.

Malam ini saya ndak mau mengulang insiden itu. Apalagi dengan seorang perempuan di kursi sebelah ini. Bisa panjang urusannya.

Tapi, bagaimana saya bisa menolak? Pesonanya begitu kuat. Saya bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melupakannya. Itu pun dengan susah payah. Berjuang melawan godaan untuk meneleponnya, terutama di saat-saat saya tengah meranggas seperti pepohonan di musim kemarau, sungguh melelahkan.

“Eh, gimana kalau saya antar ke rumah mami aja, Jeng?” saya mencoba menawar. Ibunya memang tinggal di pinggir Jakarta. Tapi, daripada berjalan tak tentu arah, mengantar ke rumah ibunya jelas pilihan terbaik saat ini.

Dia terlihat berpikir sebentar. “Bolehlah, Mas. Masih ingat jalan ke sana, kan?”

Saya mengangguk dan segera menghela kencang si hitam membelah jalanan Jakarta yang menyepi menuju ke selatan.

Di dalam mobil, ditikam sepisau sepi, kami tenggelam dalam lamunan masing-masing. Tapi, tak lama. Sebentar kemudian, saya lihat dia mengambil handphone dan menghubungi seseorang. Terdengar nada sambung …

“Halo Mas, aku belum sampai di apartemen nih. Masih ketemu klien. Belum tahu sampai jam berapa. Malam ini Mas nggak usah dateng deh. Besok aja. Iya … iya … Nggak, nggak, nggak apa-apa kok … Oke, Mas. CU. Miss you too.”

Klik. Ia menutup telepon dan menghembuskan napas panjang seolah melepas beban.

“Laki-laki kok suka gitu ya, Mas,” tiba-tiba ia bicara begitu saja.

“Maksudnya?”

“Ya gitu deh. Suka ngotot kalau punya lagi ada mau. Padahal kan kita kadang lagi nggak mood. Nggak sreg ketemu. Tapi, dianya keukeuh. Mas suka ngerasa gitu nggak?”

“Ya kadang-kadang,” jawab saya sekenanya sambil menyalakan radio.

Ah, ada Noe Letto. Suaranya yang jernih mengalun lirih …

Di daun yang ikut mengalir lembut,
terbawa sungai ke ujung mata
Dan aku mulai takut terbawa cinta,
menghirup rindu yang sesakkan dada
Jalanku hampa dan kusentuh dia,
terasa hangat oh di dalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu,
tak urung jua kulihatnya pergi …

Dia membungkuk, mencari-cari sesuatu di panel radio butut itu. “Kalau buat ngencengin suara yang mana sih, Mas?”

“It tuh yang bulet gede, sebelah kanan.”

“Aku gedein ya. Soalnya aku seneng lagu ini. Kamu suka nggak, Mas?’

“Yah gitu deh. Kenapa kamu suka?”

“Karena aku jadi inget kamu kalau denger lagu ini, Mas.”

Gubraks.

“Eh, kalau kamu apa, Mas? Lagu apa yang mengingatkanmu padaku?”

Lately, Stevie Wonder,” jawab saya sekenanya.

Ia ngakak.

“Ih, boong banget. Hehehe … Itu mestinya lagu ‘kebangsaan’ pacar-pacarku dulu yang selalu kuduakan dan akhirnya kutinggal pergi. Kamu kan bukan pacarku Mas, kamu lebih dari itu, dan yang ninggalin aku tuh kamu. Bukan sebaliknya.”

Ups. Wrong answer. Padahal saya tadi jawab asal-asalan. Lah kok tafsirnya lain. Tapi, sudah telanjur. Pantang mundur. Jadi saya cuma mringis.

“Kenapa kamu jadi inget saya kalau denger lagu ini, Jeng?’

“Ya iyalah. Dengerin aja liriknya, terutama bagian ini Mas …

… kau datang dan pergi oh begitu saja
smua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu …

Ah, suaranya masih semerdu dulu. Suara yang pernah menyihir saya selama bertahun-tahun. Suaranya itu pula yang sering menggoda saya hingga berani meninggalkan Paklik Isnogud sendirian di pabrik. Rasanya sudah berabad-abad saya tak mendengarnya bernyayi.

“Aku juga suka meremin mata kalau pas kangen dan pengen ketemu kamu, Mas. Sayang, aku cuma bisa menemuimu di ruang rindu …”

Saya pura-pura tak mendengar. Mata saya tengah mencari-cari rumah bertingkat berpagar besi hitam di perumahan elit itu. Ah itu dia.

“Kita sudah sampai, Jeng. Rumah mami masih yang ini, kan?”

“Oh iya. Ah, senengnya dah sampai,” katanya dengan manja. “Mau turun nggak, Mas?”

“Nggak usahlah, Jeng. Paling mami juga dah tidur. Ndak enak membangunkan dia hanya untuk pamit.”

“Ya udah, tapi lain kali kamu harus ketemu mami lo, Mas. Dia masih sering nanyain kamu tuh. Kamu kan masih punya utang. Inget nggak? Kamu dulu pernah janji mau bawain CD Billie Holiday buat mami. Tapi, Mas nggak pernah dateng lagi. Kalau besok dia tahu malam ini kamu anterin aku, mami pasti marah karena nggak dibangunin.”

“Wadoh, iya saya lupa. Eh, nganu … bilang saja saya buru-buru. Udah malem. Jadi ndak sempet pamit. Lain kali deh, saya janji.”

“Bener ya. Soalnya kasihan mami. Dia sering kesepian sejak papi nggak ada. Apalagi kamu juga nggak pernah ke sini lagi buat ngajak ngobrol mami. Padahal cuma kamu Mas yang bisa membuat mami tertawa dan nggak sedih lagi karena ingat papi.”

Glek. Saya menelan ludah.

“Iya, iya … kapan-kapan saya pasti ke sini lagi. Saya juga kangen lasagna buatan mami kok. Enak banget soalnya, kejunya lebih nendang dibanding bikinan The Spaghetti House.”

“Halah, gombal. Kamu tuh ya Mas, ndak berubah dari dulu. Tapi, gombalmu itu juga Mas, yang bikin mami suka kamu. Mungkin karena mami nggak punya anak laki-laki.”

“I know,” jawab saya sambil nyengir. “Ya sudah, sana masuk. I call you tomorrow.”

“Iya deh, Mas. Thanks ya,” katanya sambil tersenyum, senyum paling mendebarkan hati saya sejak bertemu tadi sore.

Ia memeluk dan mencium pipi saya sekilas, lalu keluar. Sekilas saya melihat satpam penjaga rumah maminya itu siap membukakan pintu pagar.

“Bye, Mas. Ati-ati ya …”

“Oke. Daag … ”

Malam itu, setelah saya meninggalkannya di pagar depan rumah ibunya, saya merasa seperti baru saja memindahkan Gunung Merapi ke Laut Jawa. Saya hirup napas dalam-dalam, lalu membuangnya pelan-pelan. Di radio, Freddie Mercury bersenandung …

When you’re feelin’ down and your resistance is low
Light another cigarette and let yourself go
This is your life
Don’t play hard to get
It’s a free world
All you have to do is fall in love
Play the game everybody play the game of love …

Saya ikuti nasihatnya. Saya matikan AC, lalu membuka jendela. Saya nyalakan sebatang Marlboro Light yang masih tersisa di kantong tadi. Malam terasa kian gelap dan sunyi …

Tagged: , , , , , , ,

§ 37 Responses to Ruang Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Ruang Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: