Prada Pecas Ndahe
Juni 14, 2007 § 36 Komentar
Bayangkanlah Anne Hathaway dibungkus Prada. Kulit langsat. Hidung mbangir. Bibir merah merekah. Dada padat.
Malam itu saya akhirnya mengantarkan sosok yang dalam imaji saya adalah Anne Hathaway mencari taksi beberapa meter dari kedai kopi tempat kami bertemu. Jalanan sepi. Sedikit gelap. Kawan perempuan saya itu berkali-kali melirik arloji Bvlgari yang melingkar di tangannya. Sesekali dia menarik dan menengok handphone Nokia merah hati dari tas tangan Prada maroon, barangkali ada SMS yang masuk tapi tak terdengar bunyinya.
“Ada yang ditunggu, Jeng?” saya berbasa-basi memecahkan keheningan di antara kami.
“Ah, enggak Mas,” jawabnya singkat. Tapi saya tahu matanya sangat gelisah.
Setelah hampir setengah jam, yang kami tunggu tak lewat juga. Saya menawarkan diri mengantarnya pulang naik gerobak butut hitam itu.
“Ndak keberatan kan, Jeng. Lagi pula ini sudah malam. Sampean kelihatan capek.”
Sejenak dia terlihat agak ragu. Matanya melirik arloji lagi. “Boleh deh, Mas. Tapi, ndak apa-apa kan, Mas? Nanti simboke nyari-nyari?”
Saya cuma tersenyum lalu mengandeng tangannya ke tempat parkir. Anjrit, masih halus dan lembut seperti dulu. Ah, pasti dia pasti masih rajin memakai pelembut kulit yang sama dengan ketika saya pertama kali mengenalnya.
“Masih di tempat yang dulu, kan?” saya memastikan arah ketika kami sudah bergerak keluar tempat parkir.
Ia mengangguk.
“Kok betah sih, Jeng?”
Lagi-lagi ia tersenyum. “Mau pindah ke mana lagi, Mas? Saya nyaman di sana. Ndak ada tetangga yang usil, resek. Lagian deket dari mana-mana.”
Saya masih ingat betul apartemennya di lantai 9 itu. Tipe studio. Dindingnya hijau mint. Desain interior minimalis. Tak banyak perabot di dalamnya. Ada satu sofa kulit besar di tengah, TV Sony plasma layar lebar, satu set stereo Nakamichi, poster-poster film ukuran raksasa di tembok kiri dan kanan.
Saya terbayang ke masa-masa ketika kami dulu sering melewatkan waktu berdua di sofa itu, berdua saja, ditemani botol-botol Foster’s dingin dan kacang Bali kesukaannya. Tak banyak yang kami lakukan selain nonton TV, memutar DVD, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Ia perempuan betah bercerita apa saja, bahkan sampai menjelang subuh.
“Kapan terakhir ke apartemenku ya, Mas? Rasanya tiga, empat, atau lima tahun ya?” ia tiba-tiba bertanya dan membuyarkan lamunan saya.
“Yah, sekitar itulah.”
“Ndak ada yang berubah kok, Mas. Masih sama semua seperti ketika kamu terakhir pergi pagi-pagi dan ndak pernah menelepon lagi.”
Ups. Saya merasa seperti ada sebuah upper cut menghajar ulu hati.
“Koleksi Prada sudah bertambah belum?” tanya saya mencoba menutupi kerisauan.
“Lumayan, Mas. Kebetulan Minggu lalu ada yang ngajakin ke Milan. Jadi ya gitu deh, belanja, Mas. Saya beli baju, belt, sepatu, dan tas,”
“Pasti warna maroon semuanya?”
“Ah si Mas, masih inget aja favoritku,” katanya sambil mencubit lengan.
Saya meringis. “Koleksi cowok nambah juga, Jeng?”
“Ah, kamyu, Mas.”
Kali ini cubitannya makin keras. Adoh, perih, rek!
“Jeles yo, Mas? Don’t be. You are still the best, Mas.”
Halah. Ndobos banget.
Dia ngakak. Lampu merah menyala. Saya ngerem pelan-pelan. Tiba-tiba bibirnya yang hangat itu menyentuh pipi kiri saya. Begitu mendadak. Saya kaget. Lirak-lirik spion kiri-kanan dan belakang, menengok keluar.
“Kenapa Mas? Takut? Atau ada yang berubah, Mas?” tanyanya sambil tersenyum.
Kali ini saya merasa ada sebuah jab menghantam dagu. Telak!
“Ah, enggak. Cuma … itu tadi untuk apa, Jeng?”
Dia nyengir.
“For the old time sake, Mas. Untuk semua yang pernah Mas berikan. Juga pertemanan ini.”
“Halah. Old time? Dulu itu cuma abadi di masa lalu, Jeng. But thanks anyway.”
Ia melemparkan pandangannya keluar jendela. Jalan Jenderal Sudirman jam segini tentu saja sudah kian sepi. Hanya satu dua kendaraan melaju kencang. Satu dua pejalan kaki di trotoar. Dari radio butut itu terdengar suara Phil Collins menyanyikan sebuah tembang lawas, Why Can’t it Wait ’till Morning.
“So, how’s your life, Mas? Gimana Mbakyu dan anak-anak?” ia mendadak bertanya tanpa melihat wajah saya.
“Apik, Jeng. Apik. Saya kan seperti sopir bus Transjakarta itu. Setiap hari melakukan pekerjaan yang sama, melewati rute yang sudah ditentukan, jam yang telah teratur, penumpangnya saja yang beda-beda.”
Dia ngakak. “I like the way you describe it. Ah, kamyu ndak berubah, Mas. Kalau kamu sopir, jadi siapa kernet dan penumpangnya?”
“Hei, kamu ndak pernah naik busway ya, Jeng? Ndak ada kernet di sana. Yang ada penumpang, orang yang kita temui setiap hari. Berganti-ganti. Dengan kelakuan macem-macem. Ada yang baik, ada yang aneh.”
“Wah, analogi kamu menarik, Mas. Itu yang membuat kamu selalu berbeda. That’s why I like you so much since we first met.”
“Haiyah, ngrayu.”
Saya acak-acak rambutnya yang hitam sebahu itu. Ia ngelendot manja di bahu kiri saya. Ah ….
Untung, atau sialnya, apartemennya tak jauh. Rasanya baru semenit kami berjalan, tiba-tiba sudah sampai di gerbang. Satpamnya membuka portal dan memberi hormat. Wajahnya menunjukkan keheranan, seperti mau mengatakan, “Wah, pa kabar, Mas. Lama tak ke sini.” Saya melambaikan tangan kepadanya.
“Here we are, Jeng.”
Ia tak bereaksi. Kepalanya masih menyandar di bahu kiri saya. Matanya setengah terpejam.
“Mas, stay with me, please,” pintanya pelan.
Modyar, aku!
ealah…akhire diterno dewe rek ๐
Stay with her, Ndoro heuheuheu
Iki tenanan ndoro? weh kok open house banget ya… lha simboke ora tau moco blog nopo pripun? lha nek moco dados pripun mangke?
ck ck ck…
cerpen opo SST (gaya khas KR) ndoro?
wadul..ah wadullllll ๐
lha njenengan ijin Ndoro putri nopo mboten ngoten niku ?
ckckckck………..kehidupan jakartaaaaaaa………
Ah kayak dulu lagi.
Senin
Mata rembulan. Wangi Bvlgari. Lambaian tangan dan sederet angka di atas sobekan tisu.
Selasa
SMS. Email. Telepon singkat sepanjang siang dan malam hari. โUdah maem?โ โฆ Buzz and emoticons.
Rabu
Kinokuniya. Plaza EX. Starbucks. Dragonfly. Kerling berbinar. โSee you tomorrow and sleep tight, dear.โ
Kamis
Lantai 9, Apartemen Rasuna. Room service. Donโt disturb mode on.
Jumat
Ranjang yang lusuh. Blinking light โฆ โHome calling.โ
Sabtu
Incoming message: โI am leaving.โ
Minggu
โJangan lupa anak-anak dimandiin โฆ โ
Hahaha! apik tenan Ndoro..
Cuma sampean yang bisa crita kayak gini.
Ditunggu kelanjutannya ๐
:))
mbok dilanjutken dalam bentuk buku saku, ndoro.
penasaran dengan ceritanya dari awal hingga akhir ๐
skrinsot! skrinsot!
๐
Wah, bacaan khususon orang2 di atas 30 tahun nih.. ๐
ditunggu hasil pidionya ndoro…nanti saya edarkan untuk warga BHI…
Ndoro,tulisan kaya ngene iki yang menjadikan sampeyan melupakan hiatus……yang membuat sampeyan bersemangat lagi buat nulis….Rak ngoten ndoro….
lanjutannya gimana ?
stay or no stay ?
wah… kayana kena [cencored] neh…
;p
tenane modyar?? wong seneng gitu koq. suit suittt..
tadinya kepingin bertanya, “kok bisa wanita prada itu tergila2 pada ndoro?!”
tapi rasanya ndak perlu lagi…
saya sudah tau jawabannya kok ๐
ah, ini imajinasi. katrok!
ati2 lho Mas, sopo ngerti sundel bolong.
awas….jangan2 SUKETI, ndoro?
ditunggu episode berikutnya ๐
Halah..ndoro senengane bikin cerita kontroversial.
Padahal itu (lagi-lagi) cuman cerpen kan ndoro??
Tapi bagus ko.. ๐
pasti njenengan akhirnya nginep. ya kan? ๐
kramas kramasssss ๐
kalo ternyata diakhir cerita nama dia “Jeng Bambang”…
crito ini berubah arah jadi “nggilani”..!! ๐
eling…eling…. Ndoro !! ๐
selingkuh? ๐
takbilangin nyonya pakdhe..
… โMas, stay with me, please,โ pintanya pelan….
matanya sambil kedap-kedip ndak mas?
endingnya mudah ditebak ni ndoro….
katanya bukan imajinasi..tapi beneran. Hmmm..siapa ya peran utama pembantu ini ? hehehe..sabaaaar tunggu besok sodara – sodara ๐
fiksi atau non fiksi?
aku nunggu crita life-nya saja ndoro kekna lebih seru ๐
So sweet…
Ditunggu cerita selanjutnya ndoro…..
jangan2 di apartmentnya ada hantu ๐ jadi minta ditemeni.. gitu lo.. ini cerita horor kan?
halah, iki terusane sing mbiyen to ?
jadi inget sabtu minggu lalu *hiks*
owww… ada lanjutannya too…suwer tak kiro ndoro ndobos, dadakno ada yang ngambek di blog aku… walaah… serius too… maaf deh… jadi kek gitu itu biasa to… hmmm… pecah ndasku rek…
wahahaha..gak nyangka lajang ada kelanjutannya…piye pakde??ada sometin di balik belokan(halah)
walahhhh kok baru sekarang saya nyasar ke sini