Kenangan Pecas Ndahe
September 24, 2008 § 45 Komentar
Bagaimana cara merawat selembar kenangan? Bisakah kita simpan dalam sebuah album?
Perempuan hutan cemara itu memilih cara lain. Ia menyobek secarik kertas, mengambil pena Boxy 0.5 mm warna hitam, lalu menulis, tentang sebuah kenangan.
Malam gelap panjang dikelimun lengas. Rembulan nyaris tergelincir ke ujung cakrawala. Perempuan hutan cemara itu menatap jendela sebelum mulai mencoretkan huruf pertama. Lalu ditatanya setiap kata, satu demi satu …
Where were u in 1992?
Aku temuin candle ini tadi malem. Aku beli di pasar seni itb 7 tahun y.l. gak terlalu keren sih — tapi aku suka sekali karena aku bayangin betapa sulitnya seekor kura-kura kalo udah telengkup kayak gitu — gak akan bisa ‘mbalik lagi. Aku juga demen ama ekspresinya (walopun gak terlalu keliatan sih) yang pasrah bener …
anyway, ini cuma candle yang gak kepake kalo gak mati lampu. But, aku sayang ama candle ini dan kebetulan cuma barang ini yg kubeli ketika pasar seni itu berlangsung — sedih!
Tapi kalo aku pikir-pikir, 7 tahun yang lalu itu I had met you, Mas — dan itu hanya krn simple reason kita gak sukses bertemu — yaitu gak jodoh aja …
Betapa malem ini pengen rasanya di rewind lagi kalo ini cuman sbh kaset peristiwa 7 thn yang dulu itu. heeiii … aku berlebihan ya? Sorry for that.
Tapi jangan dibuang ya. Karena biarpun jelek & kotor, candle ini adalah saksi bahwa aku gak ke mana-mana sebetulnya di 7 thn yang lalu …
Laila Pecas Ndahe
September 16, 2008 § 47 Komentar
Haruskah kujual kenangan hanya untuk melihatmu tersenyum, Laila?
***
Tadi malam aku melihat purnama di atas Jakarta. Di atas, di timur, di tepi langit yang bersih. Di sampingnya, aku seperti melihatmu tersenyum, menjabal pandangku.
Purnama semalam memang bukan yang sempurna. Tapi, apa bedanya selama ada kamu di sana. Ya kamu: perempuan malam seribu rembulan paras cahaya bintang bidadari seribu janji khayali.
Aku mengenalnya pada pertengahan musim panas, tujuh purnama yang lalu. Angin tengah mendaras harap dan air memanjat doa ketika kita berjumpa.
Kau ulurkan tangan, lalu menyebut nama pelan. “Laila,” begitu kau memperkenalkan diri. Singkat. Padat. Jelas.
Matamu tajam menatap seperti hendak bicara, “Di sini, detik ini, hanya ada kau dan aku.” Tapi, tetap terasa kordial.
Aku terhenyak dalam pukaumu. Sinar terang manik-manik matamu mengingatkanku pada bait-bait liris Qays ibn al-Mulawwah yang syahdu itu: « Read the rest of this entry »
Kangen Pecas Ndahe
September 4, 2008 § 43 Komentar
Di siang yang panas dan lengas seperti sekarang ini, aku ingin merebahkan kenangan ke peraduan. Sepotong musim gugur yang pedih. Sekeping romansa biru yang perih.
Waktuku tak banyak. Mungkin hujan sebentar lagi mengguyur Jakarta. Dan senja berubah pucat kelabu. Sedang aku tak sempat mendengar desahmu.
Aku ingat, ketika air mata bidadari jatuh, engkau sering berbisik lirih, “A thing of beauty is a joy forever ….”
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena ada keindahan di balik hujan,” jawabmu — perempuan khayalku.
Aku tahu hidup dengan keindahan mungkin sesuatu yang bisa menyebabkan kita bersyukur, merasa cukup, tanpa menjadi serakah.
Hidup bergerak di dalam, jauh, seperti tatkala kita mendengarkan perubahan suara gerimis. Gemuruh sungai. Gejolak badai. « Read the rest of this entry »
Matahari Pecas Ndahe
September 3, 2008 § 53 Komentar
Siang itu, ketika matahari menyeringai garang dan panasnya menikam setiap inci kulit jangat, aku kembali bersicepat melawan waktu melintas dermaga itu.
Aku hendak menemu perempuan musim panas yang rambutnya bermahkota janji-janji musim semi. Kepada siapa aku berharap pandu. Kepada siapa aku meminta bantu.
Tapi, perempuan musim panas itu absen di tempat dia biasa berada; berlindung di bawah payung rerimbun pohon harapan. Mungkin dia jemu menunggu sesiapa lewat menggendong harap serupa pungguk rindukan bulan. Aku tak tahu.
Siang begitu lengas. Halimun sirna terusir sepi sejak pagi. Kembang rontok bersama dedaunan, luruh di bawah dermaga. Air menderas, hanyutkan setiap potongan kenangan musim semi. « Read the rest of this entry »
Kenangan Pecas Ndahe
Agustus 28, 2008 § 27 Komentar
Setelah almanak disobek dan hari berganti, apa lagi yang masih tersisa untukku perempuan musim semi? Secuil reminisensi?
Ah, mungkin kau bahkan tak peduli betapa resah telah bersekutu dengan gelisah. Dan aku ditikam sepisau sepi, diiris-iris segaris sunyi. Luruh dalam kabut lusuh menjelang subuh.
Kau pergi secepat gerimis kepagian. Lesap begitu saja entah ke mana. Jejakmu lindap dalam kelimun halimun. Kelompang.
Mungkin kau tak tahu. Gerimis jatuh seperti manik-manik berketai-ketai. Langit rubuh. Di atas samudera malam, bintang-bintang berketap-ketap muram. Terang siang jadi boyak.
Adakah secuil memori?
Aku ingat, engkau pernah mendaras doa, dalam bait-bait liris pahatan Paul Eluard.
pada lazuardi rombengan
pada kolam legam matahari
pada danau gairah rembulan
kutuliskan namamu …
Setelah itu wajahmu jadi pelangi. Warna-warni baiduri. Rencengan melati. Senyummu senja: batas antara terang dan dunia bayang-bayang. « Read the rest of this entry »