Laila Pecas Ndahe

September 16, 2008 § 47 Komentar

Haruskah kujual kenangan hanya untuk melihatmu tersenyum, Laila?

***

Tadi malam aku melihat purnama di atas Jakarta. Di atas, di timur, di tepi langit yang bersih. Di sampingnya, aku seperti melihatmu tersenyum, menjabal pandangku.

Purnama semalam memang bukan yang sempurna. Tapi, apa bedanya selama ada kamu di sana. Ya kamu: perempuan malam seribu rembulan paras cahaya bintang bidadari seribu janji khayali.

Aku mengenalnya pada pertengahan musim panas, tujuh purnama yang lalu. Angin tengah mendaras harap dan air memanjat doa ketika kita berjumpa.

Kau ulurkan tangan, lalu menyebut nama pelan. “Laila,” begitu kau memperkenalkan diri. Singkat. Padat. Jelas.

Matamu tajam menatap seperti hendak bicara, “Di sini, detik ini, hanya ada kau dan aku.” Tapi, tetap terasa kordial.

Aku terhenyak dalam pukaumu. Sinar terang manik-manik matamu mengingatkanku pada bait-bait liris Qays ibn al-Mulawwah yang syahdu itu:

I pass by these walls, the walls of Layla

And I kiss this wall and that wall
It’s not Love of the houses that has taken my heart
But of the One who dwells in those houses

Lalu kita bercakap tentang malam-malam seribu bintang. Tentang jalal: keagungan, kemuliaan, keluhuran. Iradah. Ilahiah. Ayat-ayat cinta.

Aku ingat, senyummu selalu mengembang setiap kali kamu mengakhiri kalam. Parasmu berbinar matahari hari pagi yang mengusir embun kesiangan.

Bersamamu, aku telentang di atas karpet kembang padang nirwana. Harum setanggi. Alunan renjana surgawi. Sungai-sungai yang mengalirkan anggur dan kurma. Sapi-sapi yang melelehkan susu tiada henti. Kupu-kupu warna-warni menari menggoda hati.

Kau perempuan malam seribu bintang. Tak pernah gundah. Menyergah. Menghabisi segala inhibisi. Aku Majnun yang terkapar dalam pelukmu.

Sayang cuma sebentar aku sempat melulum nikmatmu; menyesap berkah yang kau siramkan setiap malam. Kau pergi dalam diam seperti halimun pegunungan — dengan satu janji, “Aku kan kembali 12 purnama lagi bersama para bidadari.”

Tadi malam, setelah menatap purnama itu, aku teringat padamu lagi. Bayang-bayang khayali yang kuingin kantongi. Di mana, di manakah kau perempuan? Haruskah kujual kenangan hanya untuk melihatmu tersenyum kembali, Laila?

>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Apakah sampean sudah siap menyesap berkah malam Lailatul Qadr?

Tagged: , , , , , , ,

§ 47 Responses to Laila Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Laila Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: