Mulut Pecas Ndahe
Agustus 1, 2007 § 18 Komentar
Mulutmu harimau kamu. Mengerkah kepalamu. Begitulah ajaran lama yang seharusnya kita pegang. Supaya kita ndak waton ngomong, asal njeplak.
“Makanya Mas, jaga mulut sampean, jangan asal ngomong,” kata teman saya. “Soalnya mulut sampean itu tajam seperti silet. Bisa melukai hati.”
Lah tapi kan saya ngomong apa adanya. Berdasarkan bukti. Ndak asal njeplak.
“Halah, bukti apa, Mas … Mbok ya sampean ini jangan kayak politikus itu, yang katanya punya bukti ini, bukti itu. Padahal sampean cuma ndobos doang. Nggedabrus, ora nggenah.”
Loh, bukti ya bukti. Kok situ pakai nanya bukti itu apa. Memangnya sampean ndak tahu apa yang dimaksud dengan bukti?
Bukan begitu, Mas. Kadang-kadang orang suka asal ngomong punya bukti. Tapi, sebetulnya ndak ada buktinya.
Pokoknya saya punya bukti.
Lah iya, mana? Mana buktinya. Manaa …
Ah capek deh ngomong sama sampean. Sudah begini ya, Mas. Kalau sampean memang ndak punya bukti, ya bilang terus terang saja kalau ndak punya bukti. Ndak usah ngarang.
Sampean mesti tahu bahwa setiap kali orang salah mengucap — setiap kali mulutnya mengutarakan hal yang tak seharusnya dikemukakan — tiap kali pula bencana mencaplok.
Ingat Mas, harimau itu seakan menunggu untuk mengerkah kepala kita.
Sampean tahu ndak gimana rasanya dicaplok macan? Sakit, Mas. Pedih. Perih.
Makanya, Mas. Hati-hati kalau ngomong. Ujaran tua itu mengajarkan kearifan, agar kita berpandai-pandai mengucapkan sesuatu, agar tak mencelakakan diri kita.
Pepatah itu kan sebetulnya juga mencerminkan rasa takut, rasa tidak pasti, ancaman yang terus-menerus, kepada kata-kata.
Sampean tentunya masih ingat, dalam tradisi Jawa, anak-anak pun dinasihati agar menghindar bila ada pembicaraan yang didengar: ana catur mungkur. Menjauhlah dari gosip.
Ada hal-hal yang memang sebaiknya kita biarkan saja menjadi rahasia. Bukankah semakin banyak seseorang menyimpan rahasia, semakin kuat dia?
Itu sebabnya, para penguasa pun dengan sengaja memilih bahasa yang tak bebas. Yang diucapkan adalah kalimat klise yang beku dan impersonal. Alegoris.
Sebab, tiap rahasia adalah eksplosif. Ia berkembang dengan panas batinnya sendiri, seperti bom. Dan, seperti bom, ia akan mencelakakan banyak orang.
Tapi, meletus atau tidak, kerahasiaan memerlukan kebisuan, dan kediam-dirian pada akhirnya mengisolasi.
Percakapan akan mustahil. Pipa akan dipasang di bibir. Topeng akan dikenakan. Kita tak akan bisa lagi membedakan mana pujian dan mana penjilatan, mana kehangatan dan mana tipu daya.
Mulut kita harimau kita, mengerkah kepala kita.
Ah, tiba-tiba saya pingin jadi harimau supaya bisa nyaplok kepala. Apa kepala sampean mau saya caplok, Ki Sanak?

Dicaplok macan bukan sakit, pedih dan perih, Ndoro. Tapi tewas 😀
ndak mau ndoro, jigong ndoro mana tahannnnn
banyak omong dicaplok, diam katanya introvert, nggak gaul, nggak komunikatif, Repot!
“Mbok ya sampean ini jangan kayak polikus itu..”
kayaknya kurang “ti” deh…
iya ndoro, makanya para germo dan mami itu sangat kuat ya 🙂
banyak juga kan ndoro punya bukti omongannya asal jeplak! 🙂 diam itu ada yang hukumnya dosa loh!
betul, ndoro. tiap rahasia memang eksplosif. seperti rahasia sampean dengan diajeng…
ngomong2 diajeng… mana ya? apa dia wis dikerkah harimau ndoro?
ck..ck…ck… mainnya kasar nih ndoro
jadi harimau?!!! ya ndak apa-apa, asal jangan nyaplok lambe saya saja seperti dulu itu 😀
kan ada tuh dokumen dan vcd-nya? entah apa isinya, hahaha…
mau donk digigit macan…
palagi trio MACAN…
wdew.. ga tahan… ndoro..!!!!!!!!!
lha gimana?
sayah mau aja kalo dicaplok Pakdhe..
brani ndak sini..
Coba itu mulut diolesi remason…!! 😛
nek harimaunya ompong, ndak masalah.. 😀
Susah ya, kalau tidak dijaga… mencelakakan orang lain, kalau disimpen mencelakakan diri sendiri…
Makanya pake sms..
Wakakaka….
mau cerita apa sih ndoro….? rahasia ya? sini…sama saya saja… xixixi…
jangan kepala dong, ndoro. yang lain ajah. huaaahahakahahakahak….