Bintang Pecas Ndahe
September 10, 2007 § 42 Komentar
… And yet with neither love nor hate,
Those stars like some snow-white
Minerva’s snow-white marble eyes
Without the gift of sight … [Robert Frost]
Saya segera menuju ke telepon di sebelah kasir dengan sedikit tergopoh. Begitu sampai, saya langsung mengangkat gagang telepon.
“Kamu di mana, Jeng? Saya sudah nunggu kamu sejam lebih. Kalau … ”
“Mas,” Diajeng memotong pertanyaan saya. “Aku nggak punya waktu banyak. Tolong dengarkan aku dulu ya, Mas. Please.”
“Oke,” jawab saya pendek.
“Sebelumnya aku minta maaf, Mas. Aku nggak jadi ke Melrimba. Aku tahu kamu pasti marah. Tapi, tolong dengarkan aku dulu. Aku sekarang di bandara. Sebentar lagi pesawatku berangkat.”
“Di bandara? Ngapain? Kamu mau ke mana?” tanya saya penuh rasa heran.
“Aku mau ke Milan, diajak Om. Mendadak memang. I am so sorry for that. But do you remember that calling? Malam itu lo Mas, waktu kamu mengantarku pulang ke rumah mami? Itu telepon dari Om. Akhirnya aku nggak bisa menolak ajakannya. Aku harus, Mas. Ini impianku sejak dulu. Aku nggak tahu sampai kapan di sana, mungkin malah nggak balik lagi ke Jakarta. Kamu ngerti kan, Mas?”
“Sik, sik, sik … ” saya menyela. “Om? Impian? Kamu ngomong apa sih? Mami kan … ”
Mendadak telepon Diajeng putus. “Halo … halo … halo … ” saya mencoba memanggil.
Tak ada sahutan. Cuma ada suara tut … tut … tut … Saya pencet-pencet telepon itu, tapi ndak nyambung juga. Saya tunggu sebentar, siapa tahu Diajeng mengulang teleponnya.
Lima menit berlalu, telepon tak berdering juga. Kenapa? Akhirnya saya kembali ke meja.
“Teleponnya sudah, Pak?” tanya mbak penjaga kasir dengan ramah.
“Sudah, Mbak. Putus tadi,” jawab saya. “Biarin deh, mungkin nanti dia menelepon lagi.”
Dalam hati saya misuh-misuh. Diamput. Asyem. Semprul. Diajeng ki maunya apa sih? Sudah jauh-jauh ke sini, eh dia malah ke bandara. Mau ke Milan pula. Ngapain gitu lo? Terus yang dia maksud om itu siapa? Seingat saya, Diajeng ndak punya om. Papinya bungsu dari tiga bersaudara. Satu-satunya adik maminya ada di Solo. Apa dia yang mengajak Diajeng ke Milan? Ah, embuhlah.
Ciloko tenan ini. Saya ndak bisa menelepon Diajeng pula. Sepertinya dia tadi memakai telepon umum. Saya ingat handphone Diajeng juga memang di rumah maminya. Terus piye iki?
Ah, sudahlah. Terserah Diajeng. Saya memutuskan menunggu barang setengah atau sejam lagi. Siapa tahu Diajeng menelepon lagi. Toh dia hapal luar kepala nomor telepon Merlimba.
Daripada menunggu dalam bengong, saya pesan makan saja. Perut saya mulai keroncongan, belum diisi sejak siang tadi.
Sambil makan pelan-pelan, otak saya berpikir keras. Saya mulai merasa ada sesuatu yang ndak beres. Dulu, jarang-jarang Diajeng pergi mendadak seperti ini. Biasanya jauh-jauh hari dia sudah memberi tahu saya.
Ah, waktu mungkin memang telah mengubah segalanya. Banyak yang saya ndak tahu lagi tentang Diajeng sejak kami berpisah dulu. Pantas saja, maminya terdengar seperti agak khawatir juga ketika tadi pagi menelepon saya di rumah. Entah, saya ndak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Tak terasa, satu jam berlalu. Makanan di piring sudah tandas pindah ke perut. Diajeng ternyata tak kunjung menelepon. Mungkin dia sudah terbang. Jadi ngapain saya berlama-lama di sini?
Saya segera membayar dan beranjak meninggalkan Melrimba. Dewi malam mulai menunjukkan kedatangannya lewat angin yang dingin. Kabut dan gerimis sudah pergi. Jalanan agak sepi.
Saya jalankan mobil pelan-pelan menyusuri tikungan-tikungan jalanan yang menurun. Pohon-pohon teh berjejeran di kiri dan kanan jalan. Warung-warung, juga penjaga vila yang mengedip-ngedipkan sentolop di tangan tanda ada kamar yang kosong, berlalu di belakang. Pikiran saya melayang ke mana-mana, mengikuti tikungan kehidupan yang telah saya lalui selama ini, bersama Diajeng.
Rasanya baru kemarin saya bertemu dia. Rasanya baru tadi saya merasakan harum tubuhnya. Rasanya baru lima menit yang lalu saya mendengar tawanya. Ah, padahal sudah berapa lama saya tak berjumpa dengannya sampai akhirnya kemarin malam dia menelepon dan kami bertemu di sebuah kedai kopi di jantung kota. Lima, enam, atau tujuh tahun yang lalu?
Saya ingat, malam-malam begini di Puncak bertahun yang lalu, Diajeng sering mengajak saya berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di sekitar vila langganan kami itu. Vila bercat hijau itu kecil saja. Desainnya sangat moi indie, mirip rumah-rumah sinyo Belanda tempo doeloe. Halaman depannya dihampari rumput dan pinus.
Kalau sedang berjalan-jalan seperti itu, Diajeng pasti minta digandeng atau dipeluk, lalu lama-lama ngelendot di bahu saya. “Soalnya aku seneng kalau ada kamu di sebelahku, Mas. Hangat,” begitu alasannya waktu itu.
Saya cuma mesem. Di atas, langit benderang. Bintang-bintang berjejeran tak beraturan.
“Mas, bener nggak sih, kata orang bintang itu sebetulnya sudah lama mati, mungkin bertahun-tahun yang lalu? Hanya karena jaraknya begitu jauh, sinar terakhirnya baru sampai dan terlihat oleh mata kita sekarang,” tiba-tiba Diajeng bertanya sambil menengadahkan dagunya yang lancip.
“Begitulah, Jeng,” jawab saya sekenanya. “Bintang mungkin sebuah perlambang, bahwa yang telah mati pun bisa tetap terlihat indah dari kejauhan, bahkan setelah berabad-abad kemudian. Eh, tahu ndak, Jeng? Bintang sering jadi inspirasi para penyair dan pujangga lo.”
“Oh ya? Misalnya siapa, Mas?’
“Misalnya Robert Frost. Dia pernah menulis sebuah puisi, judulnya Stars. Di antara bait-bait puisinya, Frost menyebut tentang bintang.”
“Kamu ingat kata-katanya, Mas?”
“Tentu.”
Saya lalu membacakan puisi Frost, diambil dari kumpulan sajak A boy’s Will.
How countlessly they congregate
O’er our tumultuous snow,
Which flows in shapes as tall as trees
When wintry winds do blow!As if with keenness for our fate,
Our faltering few steps on
To white rest, and a place of rest
Invisible at dawn,And yet with neither love nor hate,
Those stars like some snow-white
Minerva’s snow-white marble eyes
Without the gift of sight…
Diajeng mendengarkan saya membaca sajak dengan mata tak berkedip dan mulut melongo.
“Wah … kamu romantis sekali deh, Mas,” katanya sambil memeluk pinggang saya erat-erat.
“Halah. Romantis opo seh?” jawab saya sambil mengacak-acak rambut Diajeng.
Dia tergelak. Tiba-tiba wajahnya berubah.
“Tapi, sampai kapan kita begini terus, Mas? Kenapa kita harus bersembunyi dalam gelap, seperti tikus yang menghindari kucing? Aku kan nggak mau seperti bintang yang harus mati dulu supaya sinarnya bisa kamu kenang? Aku nggak mau seperti bintang yang cuma menarik di kejauhan. Aku pengen di dekatmu, Mas. Bisakah kau tinggalkan mbakyu demi aku?” tanya Diajeng.
Saya lihat bibirnya bergetar. Ups. Sepertinya perang bubat bakal dimulai lagi nih. Di mana ada pemadam kebakaran?
“Kenapa kamu menanyakan itu, Jeng?” saya balik bertanya untuk meredakan ketegangan.
“Jawab saja, Mas. Kamu jangan mengelak.”
Aha, rupanya Diajeng menangkap sinyal keengganan saya untuk menjawab. Kuldesak. Ibarat petinju, saya terpojok di ujung ring.
“Ya bagaimana lagi, Jeng,” jawab saya masih ogah-ogahan. “Kamu tahu benar kan, situasinya? Mas kan ndak mungkin meninggalkan mbakyu dan anak-anak. Sudahlah, Jeng. Mas kan sudah sering bilang, nanti saja kita pikirkan bagaimana sebaiknya.”
“Ah, kamu,” kata Diajeng sambil mencubit pinggang saya.
Untung cuma cubitan. Saya ndak sanggup membayangkan seandainya Diajeng melanjutkan pertanyaan soal itu terus dan mengejar jawaban tanpa lelah, seperti biasanya. Perang bubat mungkin benar-benar akan meletus.
Saya menghela napas panjang, lalu memeluknya erat-erat. Kami meneruskan jalan pulang menuju vila kecil di bawah bukit itu dalam keheningan yang panjang. Entah apa yang dipikirkannya. Pikiran saya sendiri melayang tak keruan.
Sekarang saya sudah agak lupa jalan menuju vila itu. Sejak meninggalkan Melrimba tadi mata saya mencari-cari belokan menuju vila itu. Tapi, ndak menemukannya. Mungkinkah sudah terlewat?
Ah, biarlah. Untuk apa diingat-ingat lagi. Diajeng toh sudah tak ada di sini dan entah kapan dia pulang lagi. Mungkin juga Diajeng tak akan pernah kembali. Saya ndak mau terlalu larut memikirkannya lagi. Que sera, sera. Whatever will be, will be.
Di atas, tak ada bintang seperti yang pernah kami lihat dulu. Langit tertutup mendung. Jakarta masih sejam lagi, masih cukup panjang jalan menuju pulang. Di depan, masih ada banyak tikungan yang mesti saya lewati. We never know what tomorrow brings.
Selamat jalan, Jeng …
diajeng pergi juga? mungkin ndoro kakung telah tak seksi lagi menurutnya.
apakah ndoro tak akan mengikuti petunjuk dari sentolop yang berkedip-kedip di sepanjang kiri jalan itu?
bisa jadi “diajeng” yang lain lebih keren. ha ha
nanya ndoro, blum ada tulisan “Tamat” berarti masih bersambung ya
om yang mana lagi itu diajeng?
om yang lebih seksi dari ndoro ya …
waaahh selamat ya diajeng dapet om yang baru yang lebih seksi dan lebih tajir. mau dibawa sampe ke Milan segala ….
kerennnnnnnnnnnnnnnnnnn..hiks, btw kang, panggilan Diajeng emang keren yo??sayang mase bilang itu panggilan katrok..HUH(sebel aku..)
ndoro kalah seksi ama si om seh, jadinya diajeng pergi deh.
klo tiba2 diajeng muncul lagi, gimana ndoro??
segitu mudahnya diajeng membatalkan janji.. hiks, berarti emang bener, ndoro sudah ndak seksi lagi..
jadi….jadi…. 😦 cerita ini udah tamat, ndoro?
ntar ada serial edisi ramadan ga? hihihi….
selamat jalan jeng…. wah tamat ya?
kok?! tamat?!
Diajeng, titi dj dedi dores… back home safe & sound, ketemu si Mas lagi trus tamatnya gak mandeg di tengah tenggorokan 🙂
*berharap lanjutan*
acara selingkuhannya libur dulu,
ntar abis Ramadhan lanjut lagi huehuehuehue =))
intinya bersambung, yha kan Ndoro ???
ndoro…to be continued kan?????
Ono Opo to,..Ndoro?
Aku wis mbali kiy….
pesawate di cancel.
ending yang terlalu mekso. pengarang’e wis jemu ketoke
kekekekkekeke
aku yakin diajeng-diajeng lainnya dah ngantri ndoro, tinggal dicomot sijik ato loro, sekarep ndoro, okeh 😛
“Weleh.. weleh…” *gaya si komo waktu memperhatikan sesuatu*
“so sweet… Manis banget!” *gaya indra bekti n tendi*
Ndoro, kok ga dimuat di Koran Tempo? Kan udah layak Tempo… 😀 Emang ga punya hak prerogatif, ya?
libur dulu nih selama puasa ?
Pagi itu, masih jam tujuh lebih tiga puluh. Saya yang sedari tadi gemetar sendirian di Terminal 1B bandara Malpensa melihatnya berjalan malas. Kecupan ringan sekadarnya untuk pipinya. Matanya masih sembab, pasti dia tidak tidur sekejapun dalam perjalanan 13 jam-nya dari Singapura tadi. Saya tidak menggandengnya, juga tidak menawarkan diri untuk membantunya menyeret koper kecilnya itu. Saya melihat cincin di jari manisnya, cincin pertunangan kami. Saya tidak mencintainya, saya tidak pernah memakai cincin itu. Pertunangan itu toh bukan mau saya.
“Diajeng, kamu mau sarapan di airport atau di stasiun Cadorna?”
yuhuuu…kelanjutannya di ndobos.com, pasti lebih seru, hihihi…
hahahahaha. lanjut pakde mbilung….
Mungkin diantara semua teman di pabrik, sayalah yang paling banyak melihat kemesraan mereka berdua. Lalu hari ketika mereka janjian di Marlemba Garden, sayalah yang menyampaikan pesan Diajeng kepada lelaki itu. Tapi tak kusampaikan pesan berikutnya. Kubiarkan lelaki itu memacu mobilnya ke arah puncak. Dan malam ketika lelaki itu tiba lagi di kantor, telah kusisipkan sehelai memo di mejanya. “Diajeng tak pernah ke Milan. Ia ke Garut, katanya mau jualan Domba. Mencoba hidup baru sepeninggalmu”. Kutinggalkan kantor diam-diam setelah lamat-lamat kudengar suara lelaki itu menelepon seseorang yang dipanggilnya mami….
mohon maaf lahir batin, Ndoro….selamat menjalankan ibadah puasa… 🙂
mmmmmmm….
ceritanya masih berlanjut kan ndoro?
ach ini kan bisa2nya ndor aja biar gak ditagih sama pembacanya. Ayo ndoro disambung lagi nanti setelah ramadhan. Bisa dimulai dengan penugasan ndoro ke milan utk meliput trend perkembangan dunia mode atau partai derby inter milan vs ac milan(:-) halah maksa) … wokeh dech selamat menjalankan ibadah puasa utk ndoro dan semua pembaca blognya ndoro.
Some body is leaving when Ramadhan is Coming….
Saia lagi ngomongin setan lho ndoro, bukan diajeng….
Emg,dr dlu ndoro tu romantis..Tp maaf ya ndoro,kl ndak seksi lg,romantis ga laku.Kekeke..Masa kalah saing sm pakdhe mbilung,ndoro?Jgn mau!Ayo rebut kembali..!Wahaha..Asik,biar panas!Biar rame!
yeeeee….itu quote saya, inget gak??? “you never know what tomorrow brings”. artinya memang mirip sama “selalu ada kejutan di tiap tikungan kehidupan”, tapi itu kan quote saya, ndorooooo……:(
huh, ndoro emang ngeselin!
Que sera sera
What ever will be will be
itu memang yang diinginkan kalian berdua kalee….
udah pada bosen,
pingin cari gantinya
ah ndoro kok ditinggal kamuuu….huuuu, tapi lanjutanya Milan edition masih ada kan ? 🙂
setahuku kayaknya di puncak yang ada MELRIMBA, bukan MERLIMBA, soale tempat itu juga favoritku lho…
mudah2an memang 2 tempat yang beda, spy kita ga saling ketahuan ha..ha.. ah aku hanya seorang istri biasa
oh, mbilung and yati bikin sequelnya? mau balapan bikin yang endingnya paling nendang? berani, ndoro?
Wah, ide gila yg menarik. Dari tokoh awal yg sama (mas n diajeng) dan dasar cerita yg sama (selingkuh) berkembang menjadi banyak cerita dari sudut pandang tokoh2 pendukung lainnya. Boleh diteruskan tuh. Kalo jadi, maka blog akan jadi fenomena baru di dunia sastra tuh. Mau? Mbak Yati dan Kang Mbilung, ditunggu kelanjutannya loh. 😉
Selain dari ide mbak Yati yg membawa tokoh baru (sahabat diajeng?) dan kang Mbilung (pacar/tunangan diajeng?). Calon aktor lain yg seharusnya punya cerita yg sama menarik adalah: mami (ibu diajeng) dan istri si mas. Berani? 😀
Tapi cerita mbak Yati dan kang Mbilung gak nyambung tuh, gak klop. Kalo mau diseriusi, disamain dulu kisah sejak “perpisahan” Merlimba itu. Maunya Diajeng dikemanakan? 😛
ah.. ngantuk aku moco sak kakehan ngono…
gak sah dikasih ending.. biar gantung kayak jembatan gantung… kalo dikasih ending entar malah kayak teenlit.
ia, blm ending niiih ^_^
btw, lam kenal
wahhh patah hati nganti ra update-update..xixi, ayo tangi-tangi!!…selak posoan loo..hehe
met menjalankan ibadah puasa
Kalau tamatnya begini doang, ndak seru ndoro…ayo lanjut lagi…
hmmm ndoro patah hati bener ditinggal ke Milan..hayo susul aja cepetan, alesan liputan ato apa kek sama simbokke 🙂
eh, diajengnya mo ikut latihan sepak bola di milan mungkin ndoro..
ga diapdet2…ndoro patah hati beneran nih….Diajeng ada di rumah mas mbilung :))
Ndoro kok ngilang?sakit ya ndoro?
yung…yung…yung pie kie. ndoro pake seri 2-3-4-5 biar kayak kho ping ho. jurus terbang langit milan…heheheheh
wah ceriate apik tenan. ditungguin lho sambungannya ndoro