Tentara Pecas Ndahe

Oktober 5, 2007 § 21 Komentar

Paklik Isnogud punya anekdot bagus tentang tentara Indonesia. Begini katanya, “Tentara itu profesi yang cuma boleh ngumpul ramai-ramai dua kali: waktu ulang tahun atau ada dangdutan di markasnya.”

Saya ngakak. Dan, sedikit khawatir. Soalnya, guyonan Paklik itu sedikit berbahaya. Kalau saja Paklik melontarkan joke itu di zaman “normal” dulu, besok pasti dia sudah hilang mendadak tak tentu rimbanya.

Untunglah, zaman sudah berubah. Kalaupun ada tentara yang mendengar ledekan itu, paling-paling Paklik cuma kena sikut. Semoga sih, tidak ya. Hehehe …

Hari ini TNI memang ngumpul lagi [baca: upacara] untuk merayakan hari jadinya. Tentu saja, seperti biasanya setiap tahun, ada gelar pasukan, defile, terjun payung, dan lain-lain. Nyaris sama setiap tahun. Namanya juga tentara. Kalau beda namanya Menwa atau Pramuka. Ups!

“Tapi, begini, Mas,” kata Paklik Isnogud sambil nonton TV yang menayangkan acara HUT TNI. “Menurut sampean, tentara itu alat negara, alat pemerintah, atau alat mati, sih?”

“Halah, gitu aja nanya. Ya, kalau menurut undang-undang sih, tentara itu alat negara, Paklik. Mosok alat sampean?”

“Oh, begitu ya? Tapi, coba sampean tanyakan kepada para perwira dari angkatan mana pun, terutama mereka yang dari Angkatan ’45. Mereka pasti akan menjawab bahwa jadi TNI pertama-tama adalah ‘jadi pejuang’, dan sama sekali bukan ‘alat mati’.

“Maksudnya bagaimana tuh, Paklik?”

“Begini, Mas. Memang ndak mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sejarah, setelah pergolakan perjuangan mereda dan semua pihak dihadapkan kepada tugas rutin serta soal-soal yang harus stabil dan melembaga.

Tentara yang melihat dirinya bukan ‘alat mati’ dari pemerintah, bahkan yang ‘tidak dapat berdiri netral terhadap baik-buruknya pemerintah’, bisa terdengar seakan-akan menghalalkan insubordinasi. Tidakkah itu agak mencemaskan, Mas?

Tidak dengan sendirinya mencemaskan, memang. Namun, tentu saja setiap kali seorang prajurit yang bukan ‘alat mati’ harus selalu siap dengan dilema.

Di satu pihak ia tidak netral terhadap baik-buruknya pemerintah. Di lain pihak ia harus patuh, sesuai dengan keharusan tentara untuk utuh dan ampuh, kepada apa yang diperintah atasan — dan atasan itu dalam wujudnya yang biasa adalah orang pemerintah.

Tak ayal lagi, ia seakan-akan contoh tentang kontradiksi yang terkandung dalam istilah ‘prajurit revolusioner’. Prajurit merupakan unsur dari tertib, si revolusioner merupakan unsur pembangkangan.

Mungkin itulah sebabnya, seperti ditulis oleh Amos Perlmutter dalam The Military and Politics in Modern Times (1977): prajurit revolusioner bukanlah satu tipe yang permanen. Yang revolusioner kemarin, memang tak mesti selalu revolusioner di hari nanti.

Begitu, Mas. Ngerti?”

“Hehehe … maaf, saya ndak paham, Paklik. Omongan sampean ketinggian buat saya, hehehe … ”

“Huh, dasar lemot!”

Asyem. Memangnya sampean paham, Ki Sanak?

§ 21 Responses to Tentara Pecas Ndahe

  • rezayazdi berkata:

    Hanya satu: bagaimana caranya agar tentara tidak merasa warga negara kelas satu. Naik angkutan umum gak mau bayar, yang fenomenal: jendral (purn) dikasih rumah (waktu masih aktif) sama orang dianggap hal yang biasa, parahnya media (konvensional) kok seperti bungkam??

    karena yang revolusioner itu ndak permanen, mas … πŸ˜€

  • Paman Tyo berkata:

    Selamat berpoco-pocoria, Kopral Bedhes!

    Sodara jangan suka melecehkan tentara to. Mereka itu kita butuhkan, makanya kita biayai lewat setoran pajak. Kalo bukan mereka, apa sampeyan mau jadi tentara? Gaji (resmi) cekak, sering buat bahan ledekan orang-orang sok berbudaya.

    Nasihat seorang abang sulung dari keluarga yatim piatu kepada si upik bungsu, “Dik, kamu boleh pacaran sama siapa saja, asal dia bukan anggota Menwa ato Tentara.”

    Kurang ajar kan? Tangkap dia!

  • brokencode berkata:

    binun saya. gak nyambung. puiifff … 😳

  • balibul berkata:

    nek sing anumerta piye? ketemuan terus nang taman makam pahlawan ki.

    lah kan onok siaran dunia laen, bal? πŸ˜€

  • yati berkata:

    hiks….benera posting soal tentara!

    pesen yang saya dapat, sama ma yg diomongin Paman…jangan sampe pacaran ma tentara :p
    ga nyambung sama pertanyaan di postingan ya? :d

  • Abi_ha_ha berkata:

    Tergantung -basah nggak-nya kursi hari ini ya ndoro?

  • funkshit berkata:

    trus yang TNI tembak2an lawan polisi kemarin menang mana akhirnya ?

  • Aris berkata:

    katanya dlm politik, entah dilakukan oleh militer ataupun oleh paklik isnogud, yg permanen itu ya cuma kepentingan ndoro.

    omong-omong kalau paklik isnogud kumpul-kumpulnya kapan? beliau ikutan pesta blogger gak ya?

  • AmruL berkata:

    Apa seh beda nya pejuang ama tentara..???

    Kok tentara kita ini berani nya cuma ama rakyat sendiri..???

    Kok tentara itu kebanyakan membela kejahatan dari ancaman kebaikan…???

    Mungkin karena mereka ndak permanent yah…

    Hiohiohiohiohio….

  • Harrie berkata:

    Iya nih…secara dangdutan masih dianggap kampungan, maka imej tentara jadi kurang wibawa.

    Tapi gw paling demen lho liat seragam tentara + perkakasnya, keliatan macho. Mangkenye, gw bela-belain sowan ke Museum Satria Mandala supaya ketularan gagah perkakas.

  • hanny berkata:

    posting-an yang tematik, ya. tentara dan pejuang beda, kali, ya. pejuang tidak perlu dilabeli tentara, tidak perlu pakai seragam, tetapi efek perjuangannya terasa di tengah-tengah kita dan membuat kita merasa tenteram dengan keberadaannya. hmm, cobaaa… kalau ada sekompi tentara berhenti di depan rumahmu, merasa aman atau merasa takut? πŸ™‚

  • andrias ekoyuono berkata:

    Selamat HUT TNI !
    Tapi tentara sekarang mulai bagus dalam menjaga jarak dengan politik, thanks to pak endriartono. Namun memang perubahan itu butuh waktu, dan itu gak mudah

  • pitik berkata:

    bapakku yo tentara lho..woo..paklik isno tak laporke bapakku tenan ki..wakakaka

  • erwin berkata:

    kalo gitu tentara bubarkan aja, gimana setuju gak?
    kan kalo bubar mungkin kita semua bisa ambil alih negara ini!
    dasar bodo!!!!!

  • starboard berkata:

    benernya tentara itu pekerjaan atau pengabdian sih? gak mudeng aku.

  • Hiu berkata:

    Ndoro,
    saya ingat desa saya dulu, punya jembatan nyeberang sungai dari beton yg bikin kentara-kentara hebat. Karena jembatan itu saya bisa naik sepeda 3km kesekolah di SD dekat kecamatan yang gurunya punya seragam, sebelmnya..saya sekolah di ‘gedung’ MI sebelah mushola desa saya juga. kalo haus ndak usah jajan ndoro, cukup minta air kendi Mbah Parjo (kata orang dewasa waktu itu beliau mantan pejuang kemerdekaan) dia yang punya ‘Gedung” MI itu juga musholanya.

  • maruria berkata:

    Mudeng..mudeng…Halah ndoro gitu aja ko ga mudeng? Apa perlu ta’jelasin lagi?
    *Guyon, ndoro*

  • gembhuk berkata:

    Kalo jadi tentara siap tugas dimana saja ninggal keluarga (termasuk dunia) kapan saja …. he3 πŸ˜€

  • wongmumet berkata:

    huaduh ndoro, saya nggak mau komen, lhah wong mbah e saya juga tentara jeh… tapi mbahnya saya tuh paling jempolan buat saya lho ndoro, suwer !

  • Tommy berkata:

    Tentara itu abdi bangsa dan negara, sepupu marinir pernah ikut ke aceh dulu taun 2004, kalo marinir disalamin dgn hangat….. jadinya saya juga, smpe2 ad org bingung, Kog tentara gondrong kayak seniman y….
    Hihihi….
    Tentara itu gajinya ga sbrapa jg hrs dipotong pajak daripada aktivis sok liberal, udh hina negara, agama juga diserang pula… asal tau mereka juga kehidupannya sama aja kayak preman smw….

  • anna berkata:

    dari pada terus melecehkan tentara mending kita lhat ngara kta yg pnuh koruptor……tentara sdah baik meski gajix kecil tpi krjax ikhlas…dibanding politikus2x bangsa kerja gak ada uangx baxk…jdi bgini sja dri pada koreksi orla mending koreksi dri sendri kali yah…heheheh swry z jga pcr tentara tpi z bersykur bnget kok

Tinggalkan Balasan ke Hiu Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Tentara Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: