Kubu Pecas Ndahe

Oktober 30, 2007 § 44 Komentar

Setelah pesta usai, lampu panggung dimatikan, piring kotor dicuci, dan disimpan lagi, sekarang saatnya saya leyeh-leyeh. Dua hari kemarin, Minggu dan Senin, saya sempatkan blogwalking membaca aneka ulasan kawan-kawan bloger, juga melihat [dan mentertawakan foto-foto] yang bertebaran di Flickr tentang Pesta Blogger 2007.

Secara sepintas saya menemukan sesuatu yang menarik: ada dua kubu ulasan tentang Pesta Blogger 2007. Kubu bloger senior [untuk tak menyebut umur mereka yang sudah 35+] dan idealis umumnya menilai Pesta Blogger masih kurang ini dan itu, mestinya harus begina dan begini. Seraya memberikan sedikit pujian, kelompok yang ini merasa para bloger mestinya ndak cuma bisa ngumpul dan hura-hura.

Kubu kedua, para bloger yang umurnya lebih muda [-35], generasi tanpa beban, kebanyakan menulis hal-hal yang lebih kasual, santai, ndak terlalu peduli dengan misi ini dan itu. Tapi, kelompok yang ini lebih antusias. Bergelora semangatnya.

Mereka ini merasa Pesta Blogger adalah kesempatan langka. Bisa hadir di Pesta Blogger saja merupakan sebuah kegembiraan, apalagi bertemu langsung dengan teman-teman sepergaulan di ranah digital yang semula hanya bisa ditemui di kotak komentar atau shout box.

Saya termasuk yang mana?

Ah, ndak penting apa kata saya buat sampean, Ki Sanak. Saya ini penganut aliran mono suko, monggo kerso. Kalau sampean suka, saya juga suka. Sampean ndak suka, ya mari kita sama-sama cari yang lain. Rileks saja.

Jika sampean merasa senang dan beroleh berkah dari Pesta Blogger, mari kita nikmati sama-sama. Lalu bagilah berkahnya pada teman-teman lain di luar sana, yang mungkin belum punya kesempatan datang.

Bila sampean menganggap reriungan kemarin itu masih kurang ini dan itu, ya ndak apa-apa. Tahun depan, kalau ada lagi, kita bikin yang lebih jos dan edan-edanan.

Yang kemarin sudah lewat, biarkan saja abadi di masa lalu. Masih ada waktu untuk memperbaiki dan menambal kekurangan di masa depan. Anggap saja ini pemilihan gubernur atau presiden. Kalau sampean salah pilih hari ini, lima tahun lagi pilih yang lain.

“Memang begitu sebaiknya kita memandang segala perbedaan, Mas. Apalagi kalau ini menyangkut pandangan yang tua dan muda,” kata Paklik Isnogud yang saya ajak diskusi tentang masalah ini. “Kalau yang muda dirasa masih kurang, yang tua memberi masukan. Tapi, tak perlu yang satu menganggap yang ini salah dan itu yang benar. ”

“Kenapa begitu, Paklik?” saya bertanya.

“Percuma, Mas. Hidup toh jalan terus. Dan, barangkali karena hidup bukanlah cerita wayang: sesuatu yang bisa kita selesaikan sebelum siang hari.

Manusia itu tempatnya salah dan kurang. Tapi, bahkan surat kabar pun menyediakan kolom ralat untuk mengoreksi kesalahan. Kenapa harus risau kalau kita ndak membuat sesuatu yang sempurna hari ini?”

Saya tertegun mendengar nasihat Paklik. Ia berhenti sebentar untuk menyesap kupi hitam tanpa gulanya, lalu melanjutkan ujarannya dengan suara yang melodius itu — seperti biasa.

“Memang, bagaimanapun, orang tua punya kelebihan, Mas. Mereka punya kesalahan yang tak dipunyai anak muda.

Penyair Sarah Teasdale pernah menulis, Time is a kind friend, he will makes us old.

Orang bilang bahwa hanya yang pernah bercita-cita, tapi kemudian khilaf. Hanya yang pernah bergelora, tapi kemudian redup — hanya mereka ini yang tahu betapa benarnya penyair itu. Dalam kesedihan dan kearifannya, waktu adalah teman yang baik. Ia membikin kita tua.

Ia membikin sederet nama jadi sejarah. Ia membikin serangkai gelombang menjadi mandek. Ia membikin arus deras menjadi reda. Dan, seperti kata Konfusius (alias Kong Hu Cu), Orang tak dapat melihat bayangan dirinya di dalam air yang mengalir, tapi ia dapat melihatnya pada air yang diam.

Orang tua memang punya kelebihan. Mereka adalah air yang diam.

Jika kau cermat memandang ke dalamnya, kata orang, kau akan melihat dirimu lengkap. Kau akan melihat dirimu dalam perbandingan. Di air itu pengalaman telah membuang sauh, dan jauh di dasar terkandung simpanan kenangan. Terutama kenangan tentang kesalahan.

Time is a kind friend … lalu kita perlu melihat ke air yang diam.”

Saya tercenung mendengar Paklik mengutip puisi Let it be Forgotten karya Sarah Teasdale itu. Ini piwulang yang begitu dalam dan layak saya simpan baik-baik sebagai pegangan.

Tapi, saya juga jadi teringat iklan rokok itu, belum tua belum boleh bicara. Belum tua, belum boleh pesta?

Bagaimana menurut sampean, Ki Sanak?

§ 44 Responses to Kubu Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kubu Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: