Risau Pecas Ndahe
Desember 21, 2007 § 16 Komentar
Ketika matahari menghilang dan rembulan ganti menyembul, saya kerap bertanya-tanya, bakal lebih cerahkah hari esok? Akankah hidup kita jadi lebih baik dari kemarin?
Sampai gelap menelikung badan dan hujan mengguyur peradaban, jawaban tak juga saya dapatkan.
Saya lalu berbincang dengan Paklik Isnogud tentang masa-masa yang kian sulit dan membuat pinggang kita kian lisut seperti sekarang.
Pabrik masih sunyi. Paklik tepekur di mejanya. Ia mengenakan surjan lurik biru kesukaannya. Tangannya melinting tembakau dan kertas Marsbrand. Cangkir kopi dinginnya masih separuh, seperti tak disentuh.
“Kerisauan sampean itu kegundahan kita semua, Mas,” kata Paklik membuka perbincangan. “Hidup makin susah, dan rakyat kian sengsara.”
“Apa yang membuat mereka begitu, Paklik?”
“Karena mereka tak pernah yakin, benarkah barang dan fasilitas itu selamanya akan tersedia cukup layak? Orang kian takut menghitung sumber-sumber yang menipis dan lingkungan yang jadi berantakan. Dan oligarki dalam susunan dunia itu gelisah.”
“Bagaimana menyiasatinya, Paklik?”
“Pernah ada masanya orang mencoba menjawab persoalan ini dengan sebuah dongeng. Ada anak raja berburu kehutan. Ia tersesat, kelaparan. Ia tiba di sebuah pondok petani miskin. Di sini si ibu tani menolongnya, dan menyajikan makanan yang ada padanya sehari-hari — karena ia tak tahu bahwa tamunya adalah anak raja.
Tapi betapa nikmatnya santapan itu bagi sang pangeran. Kemudian, setelah ia berhasil kembali ke istana, dan beristirahat beberapa hari, ia pun memesan hidangan gaya petani yang pernah dicicipinya dulu. Makanan itu dihadapkan, tapi sang pangeran tak mendapatkan rasa lezat yang dicari.
Kenikmatan, dengan kata lain, tak datang pada orang yang kenyang. Ada sesuatu yang hilang daripadanya, sebagaimana ada sesuatu yang indah dalam hidup seadanya. Bacalah Ki Ageng Suryomentaram atau Ivan Illich.
Petani di pondok dekat hutan itu berbahagia, lebih dari sang pengeran, karena ia tak mencari-cari.
Maka suatu pemikiran pun dilontarkan, dengan melihat akhir 2007 ini: kita harus bisa berbahagia dengan pendapatan per kapita seadanya — karena mengejar-ngejar taraf yang lebih tinggi dari itu mustahil dan akhirnya toh tak menyebabkan kita puas.
Dengan sikap itu, kita pun Insya Allah akan menggunakan sumber lokal yang murah, bukannya barang impor yang mahal. Kita akan memilih teknologi yang selaras. Kita akan memelihara lingkungan yang awet dan kita akan bisa menampung tenaga kerja yang banyak.
Dan, kita akan hidup tulus ikhlas seperti cita-cita Mahatma Gandhi.”
“Tapi, berapa lamai lagi kita harus hidup seperti ini hingga mencapai taraf yang ikhlas itu, Paklik?”
“Saya ndak tahu, Mas … saya ndak tahu … “
bahagia jika.
waduh… taraf ikhlas, dua menit cukup ndoro. misal ketika blogwalking, memberi sepucuk komentar tanpa berharap merindukan kunjungan balik. hi hi hi
Kepuasan selalu hadir dalam setiap hati yang bersih …..memberi tanpa mengharap balasan……
Thiinx : Kita ikhlas kalau lg e e di blakang ndoro…
iklhas=apa adanya ajalah, biar ga risau itu tadi
Mensyukuri hal2 yg sederhana bisa membuat hati kita damai, termasuk membaca pengalaman orang lain seperti blognya Ndoro, banyak yg bisa kita syukuri dan membuat kita happy juga kok…
Karena itu, mungkin yang dibutuhkan negeri ini adalah sosok seperti Vladimir Putin – Person of The Year 2007 versi TIME magazine (http://www.time.com/time/magazine).
Bravo Rusia Raya! Bravo Putin!
“Dan, kita akan hidup tulus ikhlas seperti cita-cita Mahatma Gandhi.β
wah nama ku disebut2, tapi gpp ndoro ikhlas kok aku :p
Tapi pasrah bukan berarti menyerah kan Ndoro? π
Pasrah hanya terjadi apabila kita sudah berusaha. π
mensyukuri setiap kenikmatan yang kita terima dengan kepasrahan yang tulus…tapi ojo meneng wae yo! π
Just do the best! Life is unpredictable, artinya.. rocker juga manusia… kikikik
saya masih takut paklik… apakah saya bisa lebih baik dari sekarang π¦
βTapi, berapa lamai lagi kita harus hidup seperti ini hingga mencapai taraf yang ikhlas itu, Paklik?β
βSaya ndak tahu, Mas β¦ saya ndak tahu β¦ β
lalu,..
siapa yang tahu?
kembali Ke Tuhan lagi?
“Dan Tuhan pun bersabda : Itu tergantung kamu wahai Manusia..”
mhhhhhmmmmm…. menarik asap 234 dalem2
dewi’Dee’ bilang..”…membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan..”
bagi saya, ikhlas sepertinya ada di awang-awang ndoro, ngga tau njenengan π