Kesejahteraan Pecas Ndahe

Februari 1, 2008 § 26 Komentar

Pilih mana: “Lapar tapi punya hak” atau “lapar dan tak punya hak”?

Orang lapar yang punya hak dan orang lapar yang tak punya hak jelas bedanya. Tapi, sering kali terdengar kalimat ini: Bapak pemimpin di pucuk kekuasaan negara sedang sibuk mengurusi kemakmuran dan — karena itu — tak punya waktu untuk kemerdekaan.

Tapi tidakkah itu cuma alibi?

Kemerdekaan, tentu saja, bukanlah segala-galanya. Tetapi mengurusi kemakmuran, meningkatkan kekayaan, memeratakan hasil, mengamankan harmoni sosial juga bukan pekerjaan mudah.

Begitu banyak orang terlibat, dan tak satu orang pun — bahkan tak satu kelompok pun — bisa bekerja berhasil sendirian. Lalu orang pun bicara soal partisipasi.

Tapi partisipasi bisa menimbulkan hal-hal yang mencemaskan. Ia mengundang lebih banyak mulut, bukan saja untuk diberi makan, tapi untuk bersuara — kadang keras.

Ia mencoba memberi kesan bahwa banyak pihak diajak bekerja sama, tapi dengan demikian ia memberi peluang rebutan klaim tentang siapa yang paling banyak berbuat.

Barangkali karena itulah pada saat suatu kekuasaan berseru tentang “partisipasi”, pada saat itu pula ia berjaga-jaga. Kalian boleh ikut serta bekerja, tapi biarlah kami yang menentukan.

Kalian jangan ribut, segala akan beres. Dan mekanisme yang disusun untuk “jangan ribut-tapi-ikut, dong” itu kadang disebut sebagai demokrasi.

Yang biasanya kurang diperhatikan ialah faktor waktu. Bagaimana partisipasi yang terbatas, dan demokrasi yang begitu terjaga ketat, bisa bekerja seperti semula dalam proses waktu?

Sebelum sampean makin bingung, marilah bertamasya ke seberang lautan. Di Cina, dulu, misalnya tidak cuma sekali orang mencoba sosialisme. Betapa luhurnya cita-cita di balik percobaan itu bisa dilihat dari kata dan perbuatan yang telah ditunjukkan. Tapi sementara itu, betapa rapuhnya bangunan yang dibentuk.

Ambillah eksperimen Wang An-shih dari abad ke-11. Perdana Menteri ini memaklumkan, bahwa di bawah pemerintahannya, negara mengatur banyak hal. Perdagangan, industri, dan pertanian, dikendalikan.

Semua itu, kata Wang, “dengan tujuan membantu beban kaum pekerja dan mencegah mereka terinjak lumat si kaya.”

Maka petani pun diselamatkan dari para rentenir dengan diberi pinjaman berbunga rendah oleh negara. Orang membuka tanah baru dan dibantu dengan benih dan dana.

Pengangguran diatasi dengan mengerahkan pembangunan irigasi besar-besaran. Harga dan upah dikontrol di tiap distrik. Bantuan keuangan diberikan kepada si tua, si tunakarya dan yang sama sekali melarat.

[Aha, mirip Indonesia 20 tahun lalu, mungkin lebih.]

Tapi Warng An-shih tak bertahan lama. Sementara dia mencoba menyelamatkan si miskin dan si pekerja, ia sebenarnya tak mengajak mereka. Ia pun tak bisa mendapatkan akar di bawah itu. Bahkan juga ia tak mendapatkan bantuan dari aparat pemerintahannya sendiri.

Aparat pemerintahan, karena berada dalam posisi mengatur banyak hal di bidang perekonomian, jadi amat berkuasa dan begitu korup. Dan kita tahu birokrasi yang begini sulit dikontrol, serta sulit pula untuk setia.

[Aha, rasanya kita pernah dan masih melihatnya hingga sekarang: Pemandangan sehari-hari.]

Pada akhirnya, Wang yang berjasa banyak itu pun sendirian. Ketika bencana alam terjadi, banjir datang, begitu pula paceklik, ia dengan mudah disalahkan. Ia jatuh.

[Mmm … yang ini rasa-rasanya juga pernah kita dengar di sini dalam bentuk lain bukan?]

Eksperimen sosialismenya tak berbekas, dan Cina harus mengalami pergolakan yang pedih sebelum akhirnya mencoba sosialisme baru … di bawah Mao.

§ 26 Responses to Kesejahteraan Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kesejahteraan Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: