Lembaga Pecas Ndahe
Februari 14, 2008 § 29 Komentar
Kadang-kadang saya berpikir, perlukah kita punya lembaga seperti Lembaga Sensor Film? Perlukah sebenarnya sebuah karya — apapun itu bentuknya — dilihat dulu, lalu ditentukan boleh beredar atau tidak? Bagian mana yang boleh ditengok, dan yang mana tak boleh diintip orang?
Entah. Saya ndak tahu jawabannya. Saya bukan orang film. Bukan pemain atau pekerja film. Karena itu, ketika ada ribut-ribut soal sensor dan lembaga penyensor, saya lebih suka mendengarkan. Menyimak. Belajar.
Saya cuma blogger kelas kambing yang tak punya kambing seekor pun. Karena itu, saya lalu bertanya pada telaga yang teduh dan menyejukkan, siapa lagi kalau bukan, Paklik Isnogud.
Orangnya sedang melamun di mejanya ketika saya datang. Di depannya ada secangkir kopi yang hampir habis dan sebatang rokok lintingan yang masih menyala.
Setelah mengucapkan salam, saya pun langsung memberondong Paklik dengan aneka pertanyaan tentang film, sensor, dan lembaga sensor.
“Begini ya, Mas. Menurut hemat saya, yang belum tentu hemat buat sampean, Lembaga Sensor Film itu institusi yang sebenarnya tak punya hak untuk mengatakan bahwa dialah yang paling berkompeten memutuskan apa yang baik dilihat dan tak baik dilihat orang.”
“Loh kenapa, Paklik?”
“Karena lembaga sensor terdiri dari orang-orang lumrah. Mereka selalu bisa salah. Lembaga ini, dulu namanya Badan Sensor Film, pernah menahan film seperti Max Havelaar, tapi malah membiarkan film seperti Pembalasan Ratu Laut Selatan lepas begitu saja. Sampean pasti pernah nonton film itu kan, Mas? Siapa itu bintangnya? Suzanna? Atau Eva Arnaz? Ah, saya sudah lupa ….”
“Hahahaha … saya juga lupa, Paklik. Pokoke filmnya ndak mutulah.”
“Nah, buat saya Mas, anggota lembaga itu sama bingungnya dengan orang lain. Hanya dia punya kekuasaan.
Lembaga sensor memang bisa disalahkan bila film macam Pembalasan Ratu Laut Selatan beredar begitu aja. Atau film setan-setan, hantu, pocong, dan sebagainya itu, yang sekarang juga digemari. Tapi, mendesak agar sensor lebih galak bisa menyebabkan makin banyak kesalahan terjadi dalam menilai. Demam prohibisionisme yang di Indonesia ini sering meradang, telah membuat pelbagai macam larangan begitu gampang didekritkan.
Kita pernah dengar lagu The Beatles dilarang seakan-akan dengan itu Indonesia besok akan dijajah kembali. Kita juga perah dengar sebuah film dilarang menggunakan judul Arjuna Mencari Cinta — seakan-akan dengan itu seni wayang akan cemar atau hina atau ambruk.
Inti soalnya bukanlah menentang atau menyetujui perlunya sensor, melainkan: bisa terjadikah dialog yang serius antara mereka yang kepingin menyensor dan mereka yang tak kepingin disensor?
Orang bilang dalam hidup bermasyarakat ini tak ada kebebasan yang mutlak — dan itu benar. Tapi bisakah kita tentukan di mana batas kebebasan itu secara persis?
Jawabnya: barangkali bisa. Namun, kita tahu hidup bergerak dan hal ihwal berubah dan batas yang dulu benar di hari ini mungkin tidak lagi.
Tak ada kebebasan yang mutlak, memang, tapi juga tidak mutlak bebas dari batas kebebasan yang pada suatu waktu ditentukan oleh penguasa dan masyarakat sendiri.
Apalagi kita juga tahu: sebagaimana kita tak bisa berasumsi bahwa para penulis adalah titisan nabi, kita juga tak bisa berasumsi para juru sensor adalah wali penjaga kepentingan masyrakat yang bebas dosa — dan tak pernah berlebih-lebihan cemas?
Masalahnya, berhubungan antara yang yang disensor dan yang menyensor sering kali berupa hubungan yang tak setara: hubungan antara yang sahaya dan baginda. Yang satu dikuasai oleh yang lain — sampai ke sumber nafkahnya, sampai ke sumber pikirannya.
Dalam ketakutan dan kebingungannya, si sahaya pun lebih baik akhirnya menyensur diri sendiri. Kadangkala ia juga meyakin-yakinkan diri bahwa apa yang dilakukannya benar: ia menyusun sebuah filsafat untuk ketakutannya itu.
Pada saat itulah, sang sensor dinobatkan jadi si-serba-benar. Dialog pun bungkam. Makin lama makin tak jelas, adakah sebuah tulisan, film, atau buku, memang mengganggu keamanan karena akan berpengaruh luas, ataukah sebuah film/tulisan/buku dianggap ‘mengganggu keamanan hanya karena ia mengganggu perasaan seorang pejabat?
Begitu, Mas. Paham?”
“Jadi sebetulnya kita perlu lembaga sensor ndak, Paklik?”
“Embuh. Sampean pikirkan saja sendiri jawabannya. Saya bukan lembaga yang berwenang memberi stempel, memutuskan ini dan itu boleh atau tidak, Mas.”
“Halah … “
sugeng rawuh di Ngayogyokarto…
ini toh sambungannya posting sebelumnya..^manggut manggut^
mau nyensor film apa di yogya ndoro?
happy valentine everyone!
lha, penting apa gak, sebenernya? berfungsi dengan semestinya atau cuma jadi pajangan? kalo ga guna, ya bubarin aja. begitu, ndoro π
puyeng ndoro
lembaga sensor blog? π
bukannya yang maen film pembalasan laut pantai selatan itu yurike prastica ndoro? CMIIW.
gak ngerti sih, mending ngurusin blog sendiri aja udah repot. Apalg disuruh ngguntingin pita seluloid segala…enakan ngguntingin bulu idung sendiri, hehehe…
lembaga sensor film = nggak perlu.
lembaga moderasi komen di blog = penting!
hihihi π
Iya bagaimana dengan lembaga sensor blog? rasanya blog2 kita sudah mulai meresahkan masyarakat π
*lirik mikow di atas*
*masih monyet ga ya yg keluar?*
Tapi kalo ga ada LSF juga serba salah, Ndoro. Lha film2 ga penting tanpa pesan sebangsa ‘Kawin Kontrak’ aja lolos LSF apalagi kalo ga ada. Intinya sih dialog ya,Ndoro.
Btw, waktu Dian Sastro ngomong di MK kan abis itu si Anwar Fuady diwawancarai, katanya gini “Dian Sastro itu tau apa soal film? Lamaan Saya! Kok mau ngajarin saya soal film!”
Bagus ada lembaga sensor nga yach?? *binun*
π
ndoro, pernah denger The Year of Living Dangerously (1982) ? yg ini kenapa di ban?
Kalo wiki CA apa perlu ada lembaga sensornya yah…? π
Akan tetapi, apakah dialog itu memungkinkan ndoro yang top markotob?
sayah rasa mah sensor yang paling di perlukan itu di diri masing – masing individu yang menonton, mereka sendiri lah yang menentukan layak atau gaknya sebuah film di tonton.
ada tambahan keterangan mengenai topik ini
Hmmm.. mungkin lebih cocok jadi Lembaga Rating, yang ngasih rating buat film gitu..
iya saya setuju sama najieb, jadi nentuin ini film layaknya gimana ? sama kaya ESRB klo gak salah
jadi label/stiker yang populer di Lembaga sensor film adalah “Your film is waiting for moderation…”
“Inti soalnya bukanlah menentang atau menyetujui perlunya sensor, melainkan: bisa terjadikah dialog yang serius antara mereka yang kepingin menyensor dan mereka yang tak kepingin disensor?”
Satu – satunya dialog yang berlaku disini cuma duit..duit..duit…
perlu ah…
Kalopun butuh sensor, dijaring dulu aja mana yang “masuk boleh dan tidak” dari umum. Pasti ribet kan, jadi lebih baik ga usah ada lembaga sensor, biar pake sensor alami aja.
Kalo baca keterangan Mira Lesmana, bukan disensor, tapi diklasifikasikan ya?
Setuju siy.
Nonton harry potter lha kok banyak barengan pasutri muda ngajak anak kira2 umur balita/TK. Ngga bener juga.
Kalau untuk disetel di TV siy, rasanya tetep perlu. Tapi gmn caranya sensor dilakukan dengan “cerdas” :p
Tadi di Own Cafe Sagan bareng iwan yah..? nganti ditinggal creambath jare (nek iki dudu Iwan sing creambath tentunya) π
Sudah nontonnya mbayar, ndak bole berisik, ndak bole bawa kamera, kalo belum jam nya ga bole masuk lha kok masih digunting sak senenge udele dw …
Ndoro…saya cuma numpang duduk sambil baca-baca komen… (Berharap disediakan kopi sama gorengan)
Wah sori ya Ndoro, komenku yang pertama ndak nyambung π Panjenengan pasti tahu betul saya tidak berpikir lurus tempo kemarin.
Apa kita harus seterusnya mengemis pada nilai-nilai masyarakat yang tidak universal itu? Masyarakat yang tidak gampang panik kalau tetangganya koruptor, tapi sangat terganggu ketika ada tetangga yang selingkuh. Dua-duanya jelas dosa,s atu emrugikan banyak orang, satu merugian diri sendiri.
Karya seni adalah opini, dan opini setahu saya dilindungi. Jika mayoritas tidak setuju dengan opini saya, itu tidak menjadikan opini saya salah dan harus bungkam to ndoro?
Tapi berpikir seperti ini seperti melawan arus, lebih banyak ruginya daripada enaknya. Mungkin LKF adalah solusi yang saling menguntungkan kedua bilah pihak.
ngurusin film? penting untuk mereka yg bergelimang harta menekuni industri ini. tidak untuk saya…hehe puyeng tuan…liat jalan raya banyak yg bolong aja udah puyeng palagi ngomongin beginian.
hmm…kenapa pula ngomongin masalah beginian Dian sastro sampe “nangis-nangis” di infotainment itu? ah…pantes dapet piala Citra. klo liat anak2 busung lapar,orang meninggal dunia krn nggak bisa masuk rumah sakit akibat nggak punya uang, anak2 putus sekolah, bisa NANGIS nggak ya?
*duh gusti…