Ariel Pecas Ndahe
Mei 16, 2008 § 30 Komentar
Rubrik Asal Usul yang terbit setiap Ahad menghilang dari harian Kompas mulai awal Mei 2008. Saya beroleh kabar itu dari tulisan teman saya Retty di wikimu.
Mungkin tak banyak yang menyadarinya, terutama mereka yang bukan pembaca rutin Kompas edisi Minggu. Barangkali juga sudah ada pembaca setia yang bertanya-tanya, tapi belum mendapat jawaban memuaskan.
Dari blog Ariel Heryanto saya memperoleh sedikit gambaran mengapa Asal Usul tak diteruskan lagi. Ariel yang saya maksud bukan penyanyi band Peterpan itu, melainkan Ariel yang akademisi, pengajar di University of Melbourne.
Dari penjelasan Ariel, saya mendapat kesan penghentian itu agak mendadak dan — anehnya — redaksi Kompas tak memberi penjelasan resmi sedikit pun kepada khalayak. Sampean juga bisa membacanya di tulisan berjudul Akhir Sebuah Cerita di blog Ariel itu.
Dari posting itu saya tahu bahwa Ariel sebetulnya sempat mengirimkan naskah untuk dimuat di rubrik Asal Usul. Tapi, naskah berjudul Pesona itu ternyata ditolak redaksi.
Naskah itu ditolak untuk diterbitkan dengan alasan “resiko keamanan”. Yang menarik, penolakan itu dilakukan pada saat-saat terakhir edisi Kompas Minggu hampir naik cetak. Saya menduga naskah itu sempat lolos seleksi redaksi pada rapat sebelumnya. Mungkin perbedaan pandangan dan selera yang cukup penting terjadi di antara staf redaksi sendiri. Dan walau naskah saya itu pada akhirnya tidak tampil dalam edisi cetak, naskah itu dimuat dalam Kompas online.
Terus terang saya ndak tahu apa yang dimaksud dengan “risiko keamanan” itu. Saya hanya bisa menduga-duga, ada yang khawatir tulisan Ariel itu akan mebuat seseorang tersinggung dan membahayakan posisi Kompas sebagai institusi besar yang sudah mapan.
Bagian mana yang dianggap membahayakan? Saya ndak tahu persis. Barangkali kalimat ini:
Presiden Habibie juga melakukan yang serupa dengan cara lebih kasar ketika berusaha menyelamatkan kursi kepresidenan yang didapatkannya secara tak sengaja dan untuk sementara waktu. Dibantu sejumlah jendral yang suka berpolitik, pemerintahannya mengerahkan pasukan swakarsa untuk menghadapi sisa-sisa gerakan Reformasi dengan kekerasan jalanan. Menentang Habibie dianggap sama dengan menentang Islam, menurut slogan mereka.
Mungkin juga kalimat yang ini:
Presiden nonton filem lalu menangis itu biasa. Yang tidak biasa bila mereka lakukan itu dengan membawa rombongan resmi lebih dari 100 pejabat tinggi negara dan tamu negara asing dan wartawan. Mereka bukan cuma nonton filem, tapi sedang membuat tontonan publik untuk diliput media massa.
Bisa jadi ada kalimat lain yang dinilai berbahaya. Terus terang saya ndak tahu persis.
Saya hanya tahu bahwa setiap media punya kebijakan redaksional masing-masing. Redaksi memiliki keabsahan dan hak sepenuhnya untuk membuat dan menutup sebuah rubrik. Redaksi juga mempunyai kewenangan penuh untuk menerbitkan atau membatalkan setiap tulisan.
Saya hanya menyayangkan hilangnya rubrik Asal Usul itu. Kesempatan kita untuk ikut menikmati tulisan-tulisan Ariel yang cerdas dan bernas, sekaligus mencerahkan, jadi tertutup — paling tidak untuk sementara.
Karena itu, saya mengusulkan kepadanya untuk memindahkan saja ide-ide tulisan yang biasanya dimuat di Asal Usul ke blog pribadinya. Atau, barangkali Ariel bersedia sesekali mengirimkan tulisannya di sini?
Bagaimana, Bung?
aaaaaaaarrrggghhhh….ternyata itu! pantes…
demi keamanan siapa?
Asal usulnya sudah mulai usil ya ndoro?
semoga nasibnya tidak merembet ke tulisannya Samuel Mulia
hmmmmm…, jadi ini ulasan wartawan untuk wartawan kahh??
Haduh… jangan merembet ke samuel mulia dong… He is my monday inspirator.
ikut prihatin dech.
Masih sama seperti sebelum era reformasi. Padahal sudah 10 tahun lalu.
Kita sudah reformasi belum sih?
Setelah saya baca tulisannya Pak Ariel, saya tidak menemukan poin sensitif yang mungkin dinilai Kompas. Kolomnya Budiarto Shambazy terkadang jauh lebih sadis daripada tulisan itu….Memperbaiki hubungan dengan SBY? Standar ganda? Atau hanya opini personal redakturnya?
mau diganti sama Klithikan CahAndong apa?
Akankah masa kegelapan itu kembali datang, ndoro?
kalo asal ga boleh usul, kalo usul ga boleh asal*dari tipi sebelah*
Gimana kalau asal usul ariel dalam bentuk lain dipindah aja ke koran Tempo? Asyik lho. detikcom juga mau lho!
berasa dejavu…
jurnalisme kepiting ala kompas lagi?
ndak heran…hehehe
kenapa ga ada rubrik asal usul dalam pabrik situ saja?
bukannya tema pabrik situ udah terlatih ngadepin proses bredel beginian, Ndoro?
*pengen melihat “Majalah itu” dengan gaya nya yg berani seperti dulu…
Yah, sudah jadi FULLTIME BLOGGER aja, gak ada yang breidel, dengan alasan ketidakamanan. Kumaha Ndoro? Akur nteu? 🙄
Jurnalisme kepiting ala Kompas? ehm ada hubungannya dgn deface kompas online gak ya?
ah negeri ini ternyata masih seperti itu…
kompas chicken!
Yayaya, saya kehilangan sebab itu sajian pertama yang saya cari. Sama dengan ‘sehari bersama’- milik koran tempo.
Ariel punya blog? Argh, saya ke mana saja ya?
Memang ahlinya deh pak ndorokakung ini. Terima kasih ya.
jadiin gambar karikatural di portal halaman 1 kortem aja 😛
ih kalo dimuat di blog pribadi ntar kena UU transaksi elektronik dan apa itu lupa nama lengkapnya. ntar jadi bagian catatan si roy eh boy lagi.
payah..pemerintah kita kok tetep ‘dimanja’
pindahin aja ke kolom ente ndoro 😀
Wah… padahal saya juga penggemar rubrik asal usul. Piye ki ndoro solusinya?
Mungkin karena menilai masyarakat (dan termasuk pmerintah kita) kurang dewasa untuk menerima tulisan seperti itu…
Atau mending Ariel Peterpan aja menggantikannya ?
yup mending nge blog aja … bebas 😀
wah sedih………
:d
Memprihatinkan sekali. Begitulah kalau ‘power’ sudah bicara. Salam kenal ya Ndoro Kakung, terima kasih saya jadi tau klo ‘Asal Usul’ udah bubar.
Koran tempo sedang nyerang kebijakan Kompas?
Indonesia Merdeka ? yang merdeka tuh siapa yah…? yang dimana…? kok aku belom merasa merdeka….