Jalan Pecas Ndahe
Mei 22, 2008 § 28 Komentar
Kepada siapakah kita bertanya ketika jalan di depan tiba-tiba bercabang? Kepada siapakah kita bertanya saat jalan ke kiri dan ke kanan ternyata sama-sama tak kita tahu kebagusan atau keberengsekannya?
“Carilah jawabnya pada telaga yang teduh dalam diri sampean, Mas. Hati nurani. Sebab, manusia toh selalu dihadapkan pada dilema pilihan,” kata Paklik Isnogud dengan suaranya yang melodius itu. “Dan kita tak pernah tahu jalan pilihan yang paling cocok sebelum melewatinya.”
Saya terpana mendengar pitutur Paklik itu. Malam semakin tua. Di atas langit, awan mengiris sedikit wajah rembulan. Hening yang panjang mewarnai pertemuan kami malam itu.
Saya tahu, bahkan Paklik pun tak punya jawaban pasti ketika saya bertanya. Tapi, pernahkah dia punya kepastian, sesuatu yang selalu final?
Seperti biasa, setiap kali saya menghadapi dilema dan bertanya kepadanya, Paklik selalu meminta saya memikirkannya sendiri. Ia hanya menyodorkan perlambang-perlambang yang mesti ditafsir ulang.
“Sebab, bahkan Robert Frost pun mungkin masih ragu ketika menulis The Road Not Taken yang syahdu itu, Mas. Tentunya sampean masih ingat puisinya yang legendaris itu …
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth.Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same.And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I —
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
“Frost tak memilih jalan yang kiri atau kanan. Ia memilih jalan yang sunyi. Mungkin bukan yang paling tepat, barangkali juga bukan yang paling benar. Ia cuma mau membuat perbedaan,” kata Paklik.
“Maksudnya apa itu, Paklik?” saya bertanya dengan masygul.
Paklik tak segera menjawab. Tangannya memilin-milin kertas berisi tembakau Marsbrand. Parasnya senyap. Matanya menatap angkasa. Saya tak berani mendesak dan bertanya lagi.
Ah, saya jadi terngiang bait itu … “I took the one less traveled by … “
euuuuuh.. Ndoro lagi seide sama saya postinganya
Yang jelas, gak mungkin terus balik kanan to ndoro?
Sama, Ndoro… saya juga lebih suka yang sepi. Makasih, Ndoro, sudah memberikan saya inspirasi mesti milih kos yang sebelah mana… Yang sepi that is… hehehehe
Ssaya mengikuti jalan yang diberikan dan ditunjukkan Rasulullah aja wes .. *asline gak ngerti mbek postingane* .. 😀
dan yg lebih penting untuk setia menjalani jalur itu
walaupun mungkin jalan yg salah?
hmmm…
If I have to choose… I choose… Kenalan dengan paklik Isnogud yg wise itu…
Is he real?
tanyakan pada rumput yg bergoyang
hmm. akhirnya di-posting juga percakapannya dengan paklik. jalan yang ndoro pilih sudah benar, kok. semoga direstui yang Maha Kuasa. amin. hihihi.
Jadi ngomong2 Ndoro… Siapa sih orang2 yang ada di foto versi “selangkangan pecas ndahe-nya” Ndoro?
Ampe gak bisa tidur… :-((
ah, apakah ini ada hubungannya dengan percakapan kita siang tadi tentang pilihan-pilihan itu ? ge-er mode on 🙂
Ndoro koe ora ngertos neh.. kumaha atuh..
jalan yang sepi itu menakutkan 😉
ndoro,
Hla wong di jalan bercabang ndak ada sesiapa makanya ndoro bingung bertanya, padahal ndoro sudah punya jawaban kan ? hla saking banyaknya jawaban yang ndoro punya, ya smakin pengen bertanya akhirnya ndoro geleng-geleng kepala
Lha, apalagi saya? wong di jalan yang lurus aja nanya mulu. Ini aja hampir gak bisa komen, soale bingung mau jawab spam protectionnya gimana..ternyata harus pencet tombol Tab.
Kalo Saya Ndoro… milih jalan nyang lurus…bukan jalannya orang2 yg tersesat.
Mandap saking mobil tanglet tukang ojeg nopo tukang becak, biasanya mereka lebih tau jalan mana yg menuju kemana yg enak. Apalagi tukang becak… nek jalannya berlubang2 opo njuk ora koprol niku becak e…
Nek tanya pak polisi takut ditanyain sim stnk..
Nek tanya ibu2 opo mbak2… malah biasane mung mesam-mesem sambil bilang gak ngerti.. ( jan…)
jadi paling bener tanya tukang becak mawon ndor… apalagi kalo pak becak nya pak marhaen ( CMIIW, pak marhaen niku lak tukang becak nggih ? )
… ato saya lagi salah jalan (dalam menangkap pembicaraan) nih ? 😛 .. nguik
ah, ini yang pernah ndoro bilang waktu itu, ya? jangan pilih jalan yang banyak dilewati orang…*lupa persisnya*.
baru sekarang saya ngerti maksudnya, ndoro. matur nuwun.
Ngomong opo tah iki..?
Ndoro,saya punya teori.. Mungkin Pak Frost waktu itu lagi budreg, dikejar-kejar tukang tagih utang, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk mengambil jalan yang sunyi.. mungkin saja loh Ndoro…
kalau nurani membisikkan sesuatu yang salah piye? atau kita yang kurang bisa mendengar?
Jalan yang tak sunyi lebih sering terlihat gemerlap … 🙂
Frost, maka dari namanya lah si Emak menamakan anaknya, yang pinter-pinter bodo itu, Forrest Gump. Kemudian hari si Emak mengatakan padanya:
“Life’s a box of chocolates, Forrest. You never know what you’re gonna get.”
memilih jalan sunyi?
hmmm…ke kuburan? 😦 atut…
choose the extraordinary way…
Gak Mbudeng Ndoro
Saya juga sedang menderita dilema, Ndoro..
yo wes BAND ora ORKES..
ra ngerti blass ki.. dibutuhkan waktu lama untuk melakukan perenungan panjang biar ngerti postingan ini..
yg jelas, kalo nyasar di jalan ato bingung pas jalan bercabang, saya suka nya sih nanya ama tukang owjyek..
kalo ga ada tukang owjyek n jalan pas ga beycyek yaudah saya cap-cip-cup ajah.. heee
Bang ndoro, bikin review2 tempat makan dong, kan lagi ngetren tuh, biar ada referensi kalo mau wisata kuliner ato jalan jalan. Kalo bisa yang tangerang juga ya biar gak jauh dari rumah hehehe