Kucing Pecas Ndahe

Mei 24, 2008 § 44 Komentar

Telah Hilang Seekor Kucing Anggora Jantan Berbulu Coklat Muda pada Hari Ahad (18/5) sekitar pukul 1.30 WIB di sekitar Jalan Petalabumi dan HR Thamrin. Kepada yang Menemukan Diharap Menghubungi Suryani dengan nomor HP 0811761110. Bagi yang Menemukan akan Mendapat Imbalan Selayaknya”

Bukan, bukan … bukan saya yang kehilangan kucing anggora. Saya hanya ikut menyebarkan pengumuman kucing yang hilang di Riau, Sumatera, itu. Boleh kan?

Siapa tahu sampean mau ikut membantu menemukannya. Barangkali saja kucing itu mendadak mengeong-ngeong di depan sampean, di mana pun adanya, setelah menempuh perjalanan panjang menumpang kapal.

Tomi, kucing yang hilang itu, milik Septina, Primawati Rusli, stri Gubernur Riau M Rusli Zainal. Iklan kucing hilang itu ada di halaman 10 harian Riau Pos edisi Kamis (22/5). Tapi, maaf saya ndak punya screen shot-nya. Saya cuma tautan tentang kabar ini dari situs Riau Terkini.

Tak ada yang salah dengan iklan pengumuman itu. Siapa pun, bahkan istri gubernur sekalipun, memang boleh dan berhak memasang advertensi di koran — asal membayar. Pun tak ada undang-undang atau aturan yang melarang orang memasang iklan seperti itu.

Bahkan seandainya tarif iklan kucing anggora yang hilang itu hampir Rp 7 juta sekalipun, seperti yang ditulis Riauterkini, tetap saja tak ada larangan atau pelanggaran aturan apa pun. Kalau sampean lalu geli dan geleng-geleng kepala, itu urusan sampean, bukan urusan Bu Gubernur, eh istri gubernur itu.

Lalu apa masalahnya? Ya ndak ada. Orang memasang iklan itu sesuatu yang biasa, lazim. Ndak ada yang aneh dan salah.

Tapi, kenapa kita harus kebakaran jenggot ketika ada lawan politik yang memasang iklan dan melontarkan kritik dengan isi pesan kira-kira begini, “Jangan tebar janji kalau tak bisa menepati”, seperti yang ramai ditulis media massa itu ya?

Wah, ya ndak tahu. Silakan tanya kepada yang bersangkutan. Saya kan bukan juru bicara atau juru mudi, juru ukur, apalagi juru rawat.

Saya cuma merasa heran saja. Ngapain sih, kita terlalu repot ngurusin iklan? Apa kurang kerjaan? Bukannya tugas dan kewajiban kita sehari-hari sudah segudang?

Mestinya biarkan saja orang mau pasang iklan apa saja asal tak melanggar kode etik periklanan. Dan tentu saja asal bayar. Bahkan sekalipun advertensi itu sangat narsistik.

Toh para blogger seperti saya ini juga narsistik. Nggak apa-apa kan? Narsisme tak membunuh seekor lalat pun.

Lagi pula, kalau kucing saja boleh beriklan, kenapa manusia tidak? Dan kenapa kita tak boleh menjaring popularitas lewat iklan? Punya duit kok, ndak boleh pasang iklan?

Oh boleh jadi karena advertensi itu bersinggungan dengan urusan pantas atau tak pantas. Kalau tarif iklannya terlalu mahal, sampai miliaran rupiah — sementara jutaan rakyat di luar sana masih miskin dan kelaparan — bisa-bisa si pemasang dianggap melanggar asas kepantasan dan menyinggung perasaan.

Selain itu, mengeduk rupiah hingga miliaran rupiah hanya demi popularitas itu mungkin tergolong pemborosan. Lebih baik uangnya dipakai memperbaiki sekolah yang bocor, membangun puskesmas, memberi makan fakir dan miskin.

“Demokrasi memang mahal, Bung!” kata seorang pelobi politik ulung.

Halah, prek!

§ 44 Responses to Kucing Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kucing Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: