Moralitas Pecas Ndahe
Mei 26, 2008 § 20 Komentar
Di Indonesia, pemilu maupun pilkada bukan suatu perang saudara, tapi ketegangannya bisa mirip. Bahkan kita bisa merasakannya jauh-jauh hari ketika musim kampanye belum lagi datang.
Para politikus mulai menyimpan pipa perdamaian dan mengasah kapak perang. Para pelobi kasak-kusuk ke sana-kemari seperti pasukan telik sandi.
Apakah setelah pemilu nanti — untuk memakai kata-kata orang Indian — “kampak peperangan ditanamkan kembali” dan “pipa perdamaian tidak diisap”?
Tentu saja, meskipun dalam arti harfiah tak ada peperangan dan karena itu tak perlu perdamaian, kerukunan bisa kembali.
Orang mengatakan, kita bukan bangsa pendendam. Lihatlah bagaimana sikap kita kepada Belanda. Tatkala Ratu Juliana berkunjung, sambutan begitu meriah, seakan-akan di antara kedua bangsa itu tidak pernah terjadi bunuh-membunuh, sejak Sultan Agung mengirimkan pasukannya ke Batavia di abad ke-17 sampai pada pengakuan kedaulatan pada 1945.
Di muka Sri Ratu para pembesar tersenyum ramah, orang dari zaman “tempo doeloe” begitu rupa, hingga kadang-kadang kita bingung: adakah ini karena basa-basi diplomasi ataukah ini karena kita masih senang membayangkan diri sebagai para bangsawan yang menyambut pembesar Hindia-Belanda?
Mungkin karena pada dasarnya, seperti ditulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi yang terbit pada 1975, kita tidak pernah membenci orang Belanda. Orang Jawa menganggap bangsa asing yang gendut, berkeringat dan kasar itu dengan humor dan hormat.
Tapi dapatkah kita bersikap lebih baik kepada bangsa sendiri? Tentu, tentu, begitu kata orang. Namun kenyataannya, ada di antara kita yang melihat perbedaan pandangan politik seperti detektif melihat perbuatan kriminal.
Di antara sang detektif dan sang kriminal, per definisi, tak ada perdamaian. Dalam sikap itu pula kita lihat kecurigaan yang selalu hidup, terutama kepada residivis, bromocorah.
Tokoh macam petugas polisi Javert dalam Les Miserables Victor Hugo tumbuh subur: orang yang tak henti-hentinya menguntit Jean Valjean, bekas penjahat itu — meskipun ia sudah berubah sukma setelah padri baik yang menyelamatkannya itu berkata: “Jean Valjean, saudaraku: kau bukan lagi milik kejahatan, tapi milik kebaikan”.
Ketakutan dan kekerasan yang terjadi menunjukkan: ada yang salah dalam moralitas kita di hari kemarin. Kita tak bisa dan boleh mengulanginya lagi. Kita hanya punya satu negeri — terlalu sayang untuk dikorbankan.
Sebuah renungan di awal pekan. Selamat menikmati Senin yang indah, Ki Sanak.
hmm..seringkali dalam keluarga juga begitu.
jika ada sedulur yang sudah mempunyai keluarga sendiri tinggalnya berdekatan, seringkali bertengkar.
tapi jika sedulur itu tinggalnya jauh, yang ada hanya rasa kangen.
kadang sama saudara sendiri bertengkar, sama orang lain malah lebih akur.
Kalau ada kesalahan dalam moralitas kita di hari kemarin, dan hari ini belum juga diperbaiki, apakah ada cukup alasan untuk dendam kepada orang lain ndoro?
*lamat-lamat terdengar suara Bob Geldof menembangkan sebait lirik: tell me why i don’t like monday …
Siap-siap jualan teh botol ama aqua deh, pasti laris 😀
ckckckckcckc.. ndoro sama paman kok balapan bikin posting subuh2 sich… hehehe..
**digetok karna gak focus**
Kengerian saat pemilu atau pilkadal mirip dengan kengerian saat dua kesebelasan daerah bertanding. Tapi coba lihat saat timnas bertanding atau tim Thomas/Uber bertanding. Kengerian sirna berubah menjadi rasa persatuan dan nasionalisme tinggi.
selamat hari senin juga, ndoro
wah bener neh, masalahnya baik yang ikut pilkada sama massa yang mendukung (for money) sama-sama gak punya moral.
waktunya membaca max havelaar, ndoro.
baca bolak balik tiga kali, gak masuk juga,
*katrokz!*
(Ndoro, aku merenung dulu ya!)
tulisan yang keren ndoro…
mungkin semacam kita masih bermental inlander..???
yang penting kita gak mengulangi kesalahan kemarin yah ndoro ? saat nya intropeksi diri.
Yang lalu biarlah berlalu, biar jadi pelajaran kita agar tak terulang.
selamat menikmati senin juga ndoro
apakah ini akibat 32 tahun yang susah menerima perbedaan? (eh 10 th berikutnya masih samah aja ding)
Kita emang bukan bangsa pendedam Ndoro. Tepatnya… kita adalah bangsa nyang aneh.
Selamat menikmati hari senin nyang indah juwega Ndoro.
Saya juga ndak habis pikir sama massa pendukung calon…
Kok segitu fanatiknya…padahal yang didukung itu kalo udah duduk di kursi yang enak belum tentu ingat sama mereka…
Betul kan, Ndoro?
Btw, selamat hari senin juga…
beneran ndoro apa yang ndoro tulis itu
Selamat hari senin juga Ndoro! Mulai belajar berprasangka baik? Mungkin itu yang harus dilakukan.
istilah lain : deket bau tai jauh seharum bunga 😀
sayapun mau merenung dulu Ndoro.. postingan nya sulit dicerna ini.. *fiuh*
tp bicara ttg moralitas politikus, terasa sangad kehadirannya..
BBM naik *kancut doang yg turun* lalu mereka ramai2 pasang spanduk spanjang jalan dg tulisan segede bagong : MENOLAK BBM NAIK *sejenis itulah intinya, lupa tulisan persisnya..*
buset deh.. mo cuci tangan? ato maling treak maling?
mbo’ya kalo GUOBLOG AKUT jangan dipelihara tho..
kalopun terlanjur mengakar kuat ya jangan terlalu keliatan bahwa dirinya guoblog tho..
keputusan emangnya bisa muncul gitu aja tanpa persetujuan..?
halah-halaaah.. kalo bicara soal MORALITAS, jelas lah sudah syapa yg paling ga bermoral..
*lho.. ngapain saya koq berkomentar kaya gini..*
Merdeka…!!!!..!!???….????