Sepeda Pecas Ndahe

Juni 23, 2008 § 31 Komentar

Pada sebuah malam yang jenaka, Pak Tua Demokrasi naik sepeda. Jalannya pelan, sedikit terseok. Lalu lintas ramai, kendaraan hilir-mudik.

Di perempatan, Pak Tua Demokrasi belok kiri. Kiri? Kenapa kiri [dengan “k” kecil]? Mengapa ia tak memilih kanan atau lurus saja?

Barangkali Pak Tua Demokrasi lebih suka belok kiri karena ia merasa lebih susah ke depan atau ke kanan. Dengan kayuhan sepeda yang perlahan seperti itu, wajar saja jika dia takut terlanggar kendaraan yang bersicepat dari depan atau kanan.

Belok kiri lebih gampang lantaran dia tinggal mengikuti jalan dan tak perlu berpapasan atau bersilangan dengan prahoto dari arah berlawanan.

Pada sebuah malam yang jenaka, Pak Tua Demokrasi mengayuh sepeda — pelan saja. Badannya basah keringat, nafasnya yang tinggal satu dua seolah melantunkan irama yang sama, ji … sam … soe.

Di depan gedung parlemen, ia menghentikan kayuhannya. Dipandanginya papan nama rumah wakil rakyat yang remang-remang. Listrik rupanya padam, mungkin kena giliran.

Pak Tua Demokrasi ingat, ia dulu pernah berkantor di situ. Tentu saja waktu itu dia masih muda belia. Pakaiannya necis. Rambutnya disisir rapi, dioles secuil pomade wangi, setiap hari.

Sebagai anggota parlemen, ia disegani lawan maupun kawan. Lidahnya tajam, ludahnya pantang dijilat kembali. Apa yang dia ucapkan, dia laksanakan.

Koleganya menjulukinya “singa parlemen” lantaran suaranya yang mengaum galak. Pidatonya berapi-api, dengan tangan terkepal meninju langit.

Tentu saja ia harus berteriak nyaring karena waktu itu belum ada handphone untuk mengirim SMS berisi nomor-nomor rekening. Waktu itu juga belum ada PDA yang bisa merekam aksi koleganya yang tengah ngos-ngosan memompa syahwat di kamar hotel sebelah.

Hmmm … karena itukah julukan singa parlemen sekarang sudah tiada lagi dan diganti menjadi kucing hotel?

Pak Tua Demokrasi menatap suwung pintu gerbang di depannya. Panji-panji itu sudah berganti. Tak cuma tiga, melainkan belasan. Ia sudah tak mengenalinya lagi. Terlalu banyak panji, terlalu banyak kepentingan. Oh ya, semakin banyak pula pesanan.

Adakah Pak Tua Demokrasi bersih dari semua sengkarut itu, dulu?

Pada sebuah malam yang jenaka, Pak Tua Demokrasi termenung sendiri. Teman-temannya silih berganti, satu per satu pergi. Kini, ia tak kenal siapa-siapa lagi di gedung itu. Para penghuninya baru semua. Begitu pula kendaraannya. Sedan hitam mengkilap dengan mesin-mesin bertenaga raksasa.

Pak Tua Demokrasi cuma punya kereta angin roda dua. Ia mungkin seperti Bapak Guru Umar Bakri dalam lagu Iwan Fals — pegawai negeri jujur yang sepedanya bisa standing dan terbang itu.

Tentu saja bukan salah siapa-siapa. Toh hidup sekadar pilihan. Begitu pula perihal sebuah negeri. Dia ingat betul, koleganya di gedung itu pernah menasihatinya begini:

“Siapa pun setuju bahwa sebuah negeri harus diperintah oleh sejumlah orang yang terlatih dan bijaksana. Saya juga setuju bahwa berbicara atas nama suara rakyat terkadang melahirkan bentuk-bentuk ‘populisme’ yang mengerikan, misalnya terbitnya semangat mengganyang minoritas Yahudi di Jerman Nazi, mengganyang orang hitam di AS bagian selatan, dan menggusur keturunan Turki di Bulgaria.

Tetapi, bagaimanapun, orang pada akhirnya butuh suatu sistem di mana tak ada orang yang dijatuhi hukuman hanya karena berbeda pendapat, di mana tak ada orang yang kehilangan tanah dan rumah hanya karena yang kuat dan kuasa menghendakinya, di mana, seperti kata pepatah Melayu, ‘raja adil raja (dapat) disembah, raja lalim raja (dapat) disanggah’.”

Pak Tua Demokrasi tersenyum sendiri saat mengenang kata-kata koleganya itu. Pelan-pelan dikayuhnya kembali sepedanya. Lurus, menembus malam.

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Kapan sampean terakhir naik sepeda malam-malam?

§ 31 Responses to Sepeda Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Sepeda Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: