Pewarta Pecas Ndahe

Februari 9, 2009 § 35 Komentar

Perlukah pewarta warga memiliki semacam kartu pers? Kalau iya, untuk apa? Siapa yang akan menertibkan seandainya terjadi penyalahgunaan?

Pertanyaan itu mengaduk-aduk perut saya seperti kupu-kupu yang hendak terbang setelah membaca posting Unspun.

Dalam posting itu, Unspun menyatakan kerisauan hatinya setelah para pewarta warga memiliki kartu anggota (ID card), seperti yang baru saja dibagi-bagikan oleh Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Kartu ini, katanya, berfungsi seperti halnya kartu pers bagi jurnalis profesional.

Mengapa Unspun risau?

“It’s a scary thought that there might be several dozens of self-proclaimed journos running around brandishing Press Cards and demanding access to all sorts of functions and events” — Unspun.

Mungkin kekhawatirannya berlebihan, barangkali saja tidak. Kalau saya sih, sangat memahami kerisauan hatinya. Sebab, Unspun sudah lebih dari satu dasawarsa menekuni dunia kehumasan. Dan dia mantan jurnalis profesional. Dia sudah sering menyaksikan bagaimana para jurnalis — dan mereka yang mengklaim sebagai wartawan — bekerja dan menghadiri acara yang diselenggarakannya untuk kepentingan kliennya. Pasti dia punya alasan tersendiri untuk cemas.

Buat saya, bagus-bagus saja kalau ada warga yang bekerja menjadi pewarta. Mereka bisa berjalan bersisian — tanpa saling merepotkan — dengan para jurnalis profesional membuat laporan jurnalistik. Sepanjang laku mereka berdasarkan aturan, prosedur kerja standar, dan etika, tentu tak ada yang salah. Toh pewarta warga adalah bagian dari sistem demokrasi.

Pada dasarnya yang disebut pewarta warga adalah khalayak yang aktif memproduksi berita. Para blogger seperti sampean pun sebenarnya tergolong sebagai pewarta warga. Bukankan sampean juga melaporkan apa yang sampean dengar, lihat, dan alami sendiri?

Kehadiran para pewarta warga tentu sangat membantu kerja para jurnalis profesional. Sampean mungkin juga sudah sering melihat laporan para pewarta warga yang lebih cepat dan dramatik ketimbang para jurnalis profesional. Masih ingat video tsunami Aceh karya warga yang mengalami musibah itu?

Oke. Lalu di mana masalahnya?

In the old days you could tell the difference between legitimate journalists and Bodrex (sham journos who’s only purpose is to demand, extort or ask for money from companies at public events) because the latter do not have accredited Press Cards but the line gets pretty thin if we have all those Citizen Journalists running around.

Gotcha! Kata kuncinya adalah “wartawan Bodrex” atawa WTS (wartawan tanpa suratkabar). Rupanya inilah makhluk yang mencemaskan Unspun.

Saya tahu Unspun tak mengada-ada. Sepanjang pengalamannya sehari-hari, ia sepertinya kerap direpotkan oleh ulah dan praktek-praktek gerombolan WTS yang membuatnya tak nyaman, misalnya memeras dan minta uang. Ia jadi khawatir para pewarta warga yang berbekal kartu anggota akan menyuburkan praktek-praktek jurnalistik yang menyimpang itu.

Bagaimana sebaiknya mengatasi masalah ini?

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Apakah sampean juga tertarik memiliki kartu anggota pewarta warga?

Tagged: , , , , ,

§ 35 Responses to Pewarta Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Pewarta Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: