Konspirasi Pecas Ndahe

Mei 5, 2009 § 79 Komentar

Benarkah Antasari Azhar dijebak? Benarkah dia korban dari para koruptor yang membalas dendam? Benarkah musuh-musuh politik Antasari dan KPK strike back?

Begitulah beberapa pertanyaan yang kerap saya dengar di gardu ronda, di kafe, warung Indomie, di bus Transjakarta, di mana-mana. Orang menduga-duga bahwa kasus yang menimpa Antasari tak seperti yang kita lihat. Khalayak menganalisis ada komplotan tersembunyi dengan tangan-tangan gelap yang mengatur semua ini.

Beberapa orang menduga bahwa kasus ini merupakan hasil pelampiasan dendam para koruptor yang dulu dijebloskan ke penjara oleh Antasari. Ada juga yang menganggap kasus ini untuk mencegah Antasari menjaring korban baru. Sebagian lagi berteori ada skenario besar untuk mengganyang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebuah teori konspirasi.

Benarkah semua teori itu? Jangan-jangan kita hanya malas berpikir saja lalu dengan gampang menduga ada sebuah komplotan di balik kasus Antasari? Padahal bisa jadi motifnya sangat sederhana. Dan tak ada konspirasi apa pun.

Apa itu teori konspirasi? Di Wikipedia tertulis begini … Teori persekongkolan atau teori konspirasi (dalam bahasa Inggris, conspiracy theory) adalah teori-teori yang berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh.

Banyak teori konspirasi yang mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah telah didominasi oleh para konspirator belakang layar yang memanipulasi kejadian-kejadian politik.

Penganut teori komplotan terbelah dalam dua kubu. Kelompok pertama adalah mereka yang hanya percaya bahwa segala hal mungkin terjadi apabila ada dukungan argumentasi yang kuat, fakta akurat, data ilmiah, pendapat yang bisa diverifikasi kebenarannya, tokoh-tokoh yang nyata, sejarah yang memang ada dan bukan mitos, dan sebagainya. Kelompok ini percaya JFK sebenarnya tidak tertembak, tetapi diselamatkan oleh mahluk UFO, misalnya.

Kelompok kedua adalah mereka yang percaya tanpa syarat alias mereka yang menganggap apapun yang terjadi sudah dirancang sedemikian rupa, yang acapkali menghubungkan dengan mitos, legenda, supranatural, dan sebagainya. Misalnya, mereka percaya bahwa peristiwa 11 September sudah dirancang sebagaimana yang terlihat pada lipatan uang kertas 20 dolar AS; di mana apabila kita melipat uang itu sedemikian rupa akan tercipta gambar menara kembar yang terbakar.

“Memang agak aneh, Mas,” Paklik Isnogud tiba-tiba berkomentar dengan suaranya yang melodius. “Kita selalu punya teori konspirasi atau gampang menelan suatu teori yang menjelaskan adanya komplotan. Padahal yang namanya komplotan itu jangan-jangan hanya ada di benak kita.”

Saya tertegun dan meletakkan koran yang tengah saya baca. Lalu menatap wajah Paklik Isnogud yang teduh. “Bagaimana Paklik bisa menyimpulkan begitu?” saya bertanya.

“Sejarah. Sejarahlah yang mengabarkan. Dulu saat oknum-oknum pemerintahan Tsar Rusia ingin mencekik orang Yahudi, polisi rahasia pun menyebarkan Protokol Zion: dokumen palsu tentang rencana rahasia bangsa Yahudi untuk menguasai dunia.

Pada gilirannya, kini, ketika di Amerika Serikat kian banyak orang bersuara kritis kepada Pemerintah Israel dan bersimpati kepada orang Palestina, sejumlah propagandis Israel pun menulis bahwa ada strategi dan taktik baru kaum rasialis anti-Semit.

Dulu, menjelang geger G30S pada 1965, ada isu tentang Dewan Jenderal, komplotan perwira tinggi yang hendak mendongkel Bung Karno. Tapi siapa sajakah para jenderal yang hendak memberontak itu? Nasution? Yani? Kita tak pernah tahu?

Singkatnya, kita gemar berbisik, “Itu dia, itu dia musuh kita”, setiap kali kita melihat bukti.

Apakah bukti itu? Pelbagai kejadian yang kebetulan berdekatan disusun jadi suatu teori. Pelbagai indikasi dirangkai untuk mengukuhkan sebuah skenario yang sudah dibikin sebelumnya.

Dengan kata lain, terjadi suatu proses berpikir yang jungkir balik. Bukan skenario itu yang harus dibuktikan, melainkan skenario (yang belum tentu sahih) itulah yang justru membuktikan.”

“Kenapa jungkir balik itu bisa terjadi?” saya bertanya, agak penasaran.

“Para ahli psikologi rasanya belum pernah menelaahnya, Mas. Tapi saya punya satu hipotesa: mungkin karena orang belum terbiasa membaca cerita detektif.

Dalam sebuah cerita detektif yang klasik, misalnya yang ditulis Agatha Christie, skenario yang paling meyakinkan sekalipun ternyata akhirnya bisa dibantah. Gugur. Dan ending-nya di luar dugaan pembaca.

Di sini proses penalaran yang ulet memang diperlukan: setapak demi setapak, bukan saja tiap bukti diuji, tapi juga hubungan antara insiden yang satu dan yang lain ditelusuri secara rinci dan tekun.”

“Tapi siapa yang sanggup bersikap seperti, err … kecuali Hercule Poirot dan Sherlock Holmes?”

“Kita umumnya memang tak sabar. Kita umumnya bernafsu menunjuk hidung — dan kemudian memotong hidung itu dengan golok. Kita umumnya ketakutan bahwa kita tak akan dapat memperoleh satu gambaran, satu cerita yang bisa dengan enak kita telan, atau satu sosok yang bisa dengan gemas kita jadikan biang keladi.

Orde Baru mengajarkan kita perlu cerita setan dan hantu: hantu ‘Kristen’, hantu ‘Islam’, hantu ‘Zionis’, hantu ‘PSI’, hantu ‘Masyumi’, hantu ‘PKI’, hantu ‘CIA’, hantu ‘Cina’, hantu ‘rasialis’, dan hantu KONSPIRASI. Dan akhirnya hidup kita pun jungkir balik.”

>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Apakah hidup sampean sudah jungkir balik hari ini?

Tagged: , , ,

§ 79 Responses to Konspirasi Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Konspirasi Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: