Dewi Lestari Pecas Ndahe

Mei 26, 2009 § 106 Komentar

deeSiapa tak kenal Dewi Lestari alias Dee? Mungkin hanya mereka yang sudah sepuluh tahun lebih meninggalkan Indonesia atau selama ini ngumpet di dalam kamar dan tak mendengarkan radio, baca koran, nonton TV, atau mengakses Internet yang tak tahu siapa Dee.

Kita mengenal Dee sebagai blogger, penulis, penyanyi, dan seorang ibu. Saya pertama kali mengenal namanya saat dia masih di kelompok trio RSD (Rida, Sita, Dewi). Saya bahkan menyukai salah satu lagu mereka, Satu Bintang di Langit Kelam.

Saya tahu Dee, tapi belum mengenalnya secara personal. Kami bahkan belum pernah bercakap-cakap secara tatap muka. Pengenalan saya kepada Dee hanya sebatas teks. Saya menulis buku, dan dia memberikan endorsement. Lebih dari itu tidak.

Karena itu, terus terang saya terkejut bukan main ketika diberi tahu bahwa Dee bahkan mengulas buku saya di blognya.

Apa? Dee? Menulis tentang buku saya? Nggak salah? Hoax?

Saya ndak ngibul, Ki Sanak. Sampean bahkan bisa membaca langsung ulasan itu di blog Dee. Ia menulis antara lain …

Buku yang ringan (dalam arti sebenarnya—141 halaman dan ukurannya agak kecil). Namun isinya tidaklah sembarangan. Khususnya bagi para blogger atau minimal yang pernah merasakan nge-blog, banyak ketukan ‘aha!’ yang muncul dari kalimat-kalimat Ndoro Kakung yang lugas, humoris, sekaligus informatif tersebut, yang juga mengundang saya untuk kilas balik sejarah ‘karier’ nge-blog saya sendiri.

Gubrak! Saya langsung terbang menembus langit-langit bambu rumah saya setelah membaca kalimat itu. Tak pernah saya membayangkan disanjung begitu rupa oleh seseorang yang saya tulisannya kagumi diam-diam — sejak dulu. Saya bahkan pernah menulis tentang blognya di posting ini.

Saya kian mabuk kepayang setelah Dee menutup tulisannya dengan kalimat seperti ini …

Tidak semua dari kita senekat Dika, atau sepiawai Ndoro Kakung. Tapi satu benang merah yang bisa kita lihat dengan jelas dari profil para blogger kawakan tersebut adalah: they write with passion. They write for a long run. Yang artinya, mereka menulis dengan semangat hati. Dan mereka tak berhenti. Formula sederhana itu dapat diaplikasikan pada kita semua. Tidak harus sering, tidak harus jadi posting yang populer, tidak harus bagus, tapi menulislah dari hati. Dan menulislah terus.

Sampai di situ, saya cuma bisa terharu. Saya merasa Dee terlalu berlebihan mengenai saya. Ia mungkin belum siapa saya sesungguhnya — blogger kampung yang kemlinthi, sok tahu bin semprul sontoloyo. Tapi saya sepakat dengan pendapat Dee: “Walau dulunya sempat meremehkan, tak terkatakan jasa nge-blog bagi pengasahan skill saya menulis. Dalam berbagai forum saya selalu berkata bahwa menulis bagaikan otot yang perlu dilatih sedikit-sedikit tapi konstan. Bagi yang ingin badannya sebesar Ade Rai, jangan mimpi bisa minum ramuan ajaib dan ototnya membuncah dalam semalam. Dia harus sering-sering ke gym dan berlatih dengan tekun. Bagi saya, ibarat langganan nge-gym, blog adalah sasana berlatih menulis yang nyaman dan ideal.”

Blog memang bisa dibuat dalam lima menit. Tapi reputasi, citra, dan ketekunan membutuhkan napas panjang. Selalu ada proses untuk merawat blog. Jangan takut untuk melakoni semuanya dari awal. Jangan takut salah. Dan beranilah untuk selalu dan terus mencoba. Berusaha.

Apa pun, melalui posting ini saya hendak menjura dalam-dalam dan sekali lagi mengucapkan terima kasih untuk Dee atas ulasan buku pertama saya. Ini jelas suatu kehormatan buat saya. Kali lain saya berharap mampu membalas mengulas karya-karya Dee, baik berupa lagu maupun buku. Salam dari jauh, Dee. You rock!

>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Apakah sampean juga menyukai karya-karya Dee?

Tagged: , , ,

§ 106 Responses to Dewi Lestari Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Dewi Lestari Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: