Ranum Pecas Ndahe

Oktober 8, 2009 § 84 Komentar

:: untuk para alay di wetiga

hatiDi ujung malam yang basah, perempuan ranum memasuki kedai yang berlimpah asap rokok. Suasana sedang riuh-riuhnya. Pengunjung tenggelam dalam gelak dan tawa. Makanan dan minuman mengalir sederas sungai-sungai di musim hujan.

Perempuan ranum menebar senyum ke tengah pengunjung yang langsung menenggelamkan dirinya dalam obrolan hangat.

Kehadirannya bagaikan satu bintang di langit kelam. Menyedot perhatian para tamu. Perempuan ranum terlihat begitu menikmati setiap sapa. Parasnya berpendar-pendar terang bak kunang-kunang. Matanya menyala-nyala. Menari mengikuti gendang.

Tapi hanya sekejap. Perempuan ranum langsung berubah bagaikan burung onta dikejar musuh di tengah padang pasir begitu telepon genggamnya menyalak kencang. Mulutnya ditutupi tangan kirinya saat menjawab panggilan. Dia berbisik, seolah tak ingin orang lain mendengar perkataannya.

Pengunjung makin menderaskan tawa. Gelas-gelas berdenting nyaring. Asap rokok menyembur kian kencang dari mulut-mulut pengisapnya. Perempuan ranum makin surut dari sekelilingnya. Kepalanya kian lama kian tertunduk. Matanya mengerjap resah. Berkali-kali ia menutup dan mengangkat telepon.

“Maaf ya, lelakiku menelepon. Dia panik setengah mati mencariku,” kata perempuan ranum seraya meminta maaf.

“It’s ok, dear. Sebaiknya kamu memang segera kembali kepadanya,” seseorang berkomentar.

Telepon kembali berdering.Perempuan ranum kembali sibuk menutup mulutnya dengan tangan kiri. Begitu berkali-kali.

Bulan semakin tinggi. Malam kian resah menuju dinihari.

Tiba-tiba sesosok lelaki tinggi memasuki kedai. Perempuan ranum terperanjat. “Eh, sini-sini. Masuklah, kukenalkan kau pada teman-temanku,” teriak perempuan ranum.

Tetamu bungkam. Ruangan hening. Wajah lelaki tinggi membeku. Parasnya terluka. Begitu juga hatinya.

Sesaat kemudian, tangannya melambai, mengajak perempuan ranum pergi. Perempuan ranum bergeming. Tegang. Paras lelaki tinggi semakin mengeras. Lantas membalikkan badan menuju taksi yang sudah menunggu dengan mesin menyala.

Perempuan ranum seperti tersengat lebah. Terlonjak. Lalu menyusul dengan langkah tergopoh. Setengah berlari, dia berteriak, “Pulang dulu ya semuanya …. “

Malam itu, ketika bulan rebah ke barat, sepotong hati yang terluka berteriak nyaring. Selapis relasi yang tipis pun remuk berantakan gara-gara sebuah janji yang tak ditunaikan.

Tiba-tiba seseorang teringat sebuah kutipan yang masyhur itu. “Lelaki tak pernah menangis, tapi hatinya berdarah ….”

Tagged: , , , ,

§ 84 Responses to Ranum Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke ruanghatiberbagi Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Ranum Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta