Omelet Pecas Ndahe

November 11, 2009 § 38 Komentar

Revolusi mungkin seperti omelet. Terbuat dari beberapa butir telor yang utuh, dipecahkan, lalu diaduk tak beraturan. Tambahkan tomat dan sedikit irisan daging. Goreng lalu digulung rapi.

Orang suka memesannya sebagai menu sarapan pagi. Dimakan sambil baca koran. Kelezatannya barangkali hanya bisa ditandingi oleh setangkup roti apit isi daging asap yang disantap ketika gerimis jatuh selepas fajar merekah.

Lantas kenapa kenangan tentang revolusi tak pernah bisa jadi nasi basi?

Seorang cerdik nan pandai pernah menulis. ” Karena revolusi mengandung banyak hal. Ada kebuasan yang dahsyat atas nama keadilan. Pengkhianatan yang menyakitkan atas nama kearifan. Darah dan doa, api dan cita-cita, kecutnya keringat dan frustrasi, teriak dan juga harapan terakhir. Segalanya dihimpun dan dipertaruhkan, segalanya dicurahkan dan diikhlaskan. Mungkin sebab itu revolusi adalah sesuatu yang mengandung antitesisnya sendiri.

“Revolusi adalah sesuatu yang melelahkan,” kata Jacques Sole, mahaguru sejarah dari Grenoble.

Tentu saja revolusi bukan lahir semata-mata karena melelahkan. Revolusi selalu berangkat dari sikap bahwa “kita-yang-paling-benar”. Lalu ada memobilisasi jiwa, raga, impian, dan kemarahan.

Di Prancis, kemarahan jaraknya hanya sejengkal dari kematian. Pernah ada seorang perempuan revolusioner Prancis yang berteriak, “Perlu darah untuk menyemen revolusi.” Setelah itu kepalanya dipancung.

Di Rusia sama saja. Seorang tokoh revolusioner dengan sinis berujar, “Kalau mau membuat omelet, telur harus dipecah.” Kelak, kepalanya bagaikan telur yang pecah — dikapak seorang agen Stalin.

Maka, siapa yang masih bersemangat menegakkan bendera revolusi hari-hari ini?

Mungkin tak banyak. Dan yang sedikit itu mungkin perlu membaca lagi laporan Russel Miller, wartawan The Sunday Times Magazine, yang mewawancarai pengusaha Carlo De Benedetti, orang nomor satu di Olivetti, yang membuat pernyataan penting di depan Hakim Di Pietro. Waktu itu Italia tengah berperang melawan korupsi. Wawancara itu dilengkapi dengan reportase dan riset Peter Semler, yang membeberkan liku-liku korupsi di Italia, dan dimuat di The Sunday Times.

… De Benedetti diam sebentar. Ia menuang air kendi ke sebuah gelas berisi es batu dan menarik badannya ke sandaran kursi. “Apa yang membuat revolusi ini berbeda adalah bahwa sekarang ini, tidak ada kelompok politisi yang menunggu kesempatan untuk mengambil keuntungan dari apa yang terjadi. Apa yang sekarang harus kita bangun adalah kelas politisi pilihan untuk segera mengambil alih kekuasaan, dan kita harus melakukan itu secepatnya. Sangat penting untuk melaksanakan pemilihan umum secepatnya….”

“Apabila pemilihan ditunda, saya takut kalau situasi ekonomi dan sosial akan jadi lebih buruk dan kita bisa sampai pada titik di mana semua orang akan mengatakan kita tidak membutuhkan lagi perubahan politik. Situasi yang jauh lebih buruk dari apa yang terjadi di Rusia, di mana jumlah orang yang ingin kembali ke sistem komunis terus saja bertambah banyaknya….”

“Sampai saat ini revolusi adalah revolusi yang damai, tetapi persoalannya apakah revolusi akan terus berlangsung terus secara damai. Dahulu orang bicara tentang keajaiban ekonomi di Italia pada tahun 1950-an, tetapi keajaiban yang sebenarnya adalah jika kita bisa menyelesaikan revolusi sekarang ini tanpa kehancuran ekonomi. Itulah keajaiban politik pada 1990- an….”

Dalam pernyataan itu ia juga mengakui bahwa dari tahun 1988 sampai tahun 1991, Olivetti telah membayar uang pelicin sebesar 4,6 juta poundsterling atau sekitar Rp 18,4 triliun untuk mendapatkan kontrak dari pemerintah. De Benedetti menyatakan ia bertanggung jawab atas penyogokan itu walaupun secara pribadi ia tidak pernah menyuap siapa pun.

Usai membaca pernyataan itu, De Benedetti menyerahkannya pada hakim ketua, Antonio Di Pietro, yang sempat memesan kopi untuk menurunkan rasa tegang di dalam ruang sidang.

Kehadiran De Benedetti di Tribunale memang peristiwa penting dalam kasus korupsi terbesar di Eropa saat itu. De Benedetti adalah orang terakhir yang terlibat dalam skandal besar di Italia, yang mengguncangkan pemerintah Italia, yang merusakkan tatanan politik Italia, yang mengantarkan ribuan pengusaha dan politisi ke dalam penjara, dan juga yang menyebabkan terjadinya gelombang bunuh diri.

Ah, saya jadi teringat pada rekaman berdialek Suroboyoan itu …

>> Selamat hari Rabu, Ki Sanak. Apa menu sarapan sampean tadi pagi?

Tagged: , , , ,

§ 38 Responses to Omelet Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke kangzen Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Omelet Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta