Mafia Pecas Ndahe

November 23, 2009 § 44 Komentar

Dalam pidatonya di Istana Senin malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tekadnya untuk memberantas mafia hukum. Pemerintah, katanya, juga akan membentuk Satgas Antimafia Hukum.

Saya ndak tahu bagaimana cara Presiden memberantas mafia dan berapa lama perang melawan mafia itu akan berlangsung. Tapi saya jadi teringat tentang upaya pemerintah Amerika Serikat memerangi gerombolan mafia di era 1980-an. Waktu itu, pemerintah federal sampai mengeluarkan orang-orang terbaiknya untuk menumpas serikat-serikat darah asal Sisilia itu.

Sejumlah benggolan mafia berhasil diseret ke balik terali besi. Sebagian lagi terpaksa didor. Salah satu kisah yang menarik dibaca di era perang melawan mafia itu adalah ketika pemerintah federal mulai menjangkau wilayah mafia yang paling basah: bisnis.

Saya mendapatkan kisah itu dari sebuah kliping lawas di tempat saya bekerja. Dan inilah, ceritanya …

Anthony Salerno, 75 tahun, adalah salah satu gembong yang pernah nangkring di peringkat paling atas dari 50 bos mafia di Amerika Serikat. Ia mengepalai sebuah konglomerat bawah tanah, dengan batas yang tak jelas antara bisnis sah dan terlarang.

Dia tinggal di Metropolitan Correctional Center di Manhattan. Rumah itu bersebelahan dengan Mahkamah Distrik Selatan Amerika Serikat, tempat dia dan beberapa anggota Komisi yang lain sekarang menjalani proses peradilan.

Kekuatan Salerno tidak semata-mata berasal dari posisinya sebagai kepala keluarga Genovese yang kuat, yang beranggotakan 300 bandit. Bahkan, sebelum terpilih menjadi bos pada 1980, ia sudah mengumpulkan uang lebih banyak ketimbang para pemimpin mafia lainnya, terutama dari kasino-kasino di Nevada dan Karibia.

Caranya ialah dengan menyisihkan pendapatan rumah-rumah judi itu, sebelum menentukan jumlah yang perlu dilaporkan ke jawatan pajak. Dari pendapatan seperti itu, dia kemudian menggalakkan bisnis membungakan uang.

Kelak, di pengadilan, ia didakwa “menggunakan ancaman dan pukulan untuk memaksa korban-korbannya membayar pinjaman dan bunga utang yang tidak mempunyai dasar hukum.”

“Tony Gendut” ini juga menunjukkan minat bisnisnya pada industri konstruksi New York City. Menurut Departemen Kehakiman, antara 1981 dan 1985, Salerno dan para kerabat kerjanya menarik pajak mafia, 2 persen, dari para kontraktor New York yang mendapat borongan mengaduk beton untuk semua superstruktur, di atas US$ 2 juta.

Mereka menguasai sebuah kartel yang melayani tawaran-tawaran memasok beton. Kartel inilah yang menentukan perusahaan mana yang harus memenangkan tender. Perusahaan lain dipaksa memasukkan tawaran-tawaran tinggi yang tidak masuk akal, sehingga perusahaan yang sudah ditentukan tadi pasti keluar sebagai pemenang.

Pajak 2 persen itu saja memasukkan pendapatan US$ 3,5 juta ke kas mafia dari 72 borongan konstruksi yang dapat diusut pemerintah AS. Seorang saksi ahli melaporkan kepada Komite Kepresidenan bahwa perbuatan mafia ini membuat ongkos konstruksi di Manhattan naik sampai dengan 20 persen.

Dalam tuduhan yang diajukan jaksa penuntut umum, Salerno dinyatakan sebagai “sekutu tersembunyi” sejumlah perusahaan yang memenangkan tender konstruksi beton. Perusahaan-perusahaan ini menangani kontrak yang nilainya melebihi US$ 71 juta, dari sepuluh proyek konstruksi besar, termasuk Trump Plaza, bangunan apartemen mewah di East Side, Manhattan.

Pemerintah AS mendakwa, penawaran borongan untuk proyek-proyek tersebut merupakan langkah lebih jauh perusahaan-perusahaan Salerno yang berkongkalikong dengan dua firma yang bergerak di bidang ready-mix: Certified Concrete Co. dan Transit-Mix Concrete Corp. Kedua perusahaan itu milik Edward J. “Biff” Halloran, yang lebih dikenal karena Hotel Halloran House, yang dulu memang miliknya. Halloran menolak semua tuduhan.

Lalu, bagaimana mafia bekerja? Ini dia. Setiap kontraktor yang berani mencoba mengajukan tawaran bersaing dengan kartel para bajingan tadi akan berhadapan dengan risiko kesulitan mendapatkan bahan ready-mix. Paling tidak, distribusi bahan tersebut akan mereka hambat.

Para penuntut federal juga menuduh Salerno menguasai Teamster Local 282, yang anggota-anggotanya menjadi sopir konvoi truk yang mengangkut distribusi beton. Melalui mata rantai yang ampuh ini, bos mafia itu dapat menentukan semaunya perusahaan mana yang tidak perlu dilayani pengiriman barangnya.

Tangan-tangan Salerno di dunia tenaga kerja dan serikat buruh menjangkau langsung ke puncak. Menurut Departemen Kehakiman, Salernolah yang memilih Roy Williams untuk memimpin International Brotherhood of Teamster pada 1981, dengan cara memerintahkan pemimpin-pemimpin serikat buruh memberikan suaranya kepada orang tersebut.

Williams kemudian dipenjarakan karena terlibat dalam usaha penyogokan Howard Cannon, senator AS dari Nevada, yang kemudian dipecat. Meski begitu, para jaksa federal percaya bahwa Salerno tetap saja berpengaruh atas mantan ketua serikat buruh, Jackie Presser.

Tony dan istrinya, Margaret, kadang-kadang beristirahat di tanah pertanian mereka di Rhinebeck, New York. Untuk selama lima tahun, sampai dengan akhir tahun kemarin, dua sejoli ini aktif mencari duit. Pemerintah AS menuduh Marathon Enterprises, sebuah perusahaan pemrosesan makanan di New Jersey, membayar semacam upeti kepada Margaret, dalam bentuk “uang jasa perantara” untuk pemasaran hot dog dan beberapa jenis bahan makanan lainnya ke pasar swalayan, arena olah raga, dan penjaja kaki lima.

Margaret yang lincah itu, bahkan menerima “uang jasa” ini untuk penjualan ke beberapa perusahaan yang memiliki reputasi tinggi, misalnya Chock Full O’ Nuts (rantai restoran), Pathmark (rantai supermarket), dan Canteen Corp. (rantai makanan otomat kaki lima).

Departemen Kehakiman menuduh, serdadu-serdadu Genovese siap mengatur pukulan telak dengan mengancam Marathon dengan “kekerasan, kekuatan, dan kemungkinan kerugian ekonomis”.

Dengan segala kekayaan dan kekuasaannya itu, Salerno beroperasi secara tidak mencolok, sampai dia kemudian ditahan. Kantornya tidak berada di kawasan pusat Manhattan — dengan pencakar-pencakar langit yang ongkos pembangunannya menjadi mahal oleh sepak terjangnya itu. Melainkan di Palma Boy Social Club, di daerah pertokoan East Harlem.

Untuk masa yang panjang, Salerno melancarkan roda bisnisnya dari Palma, atau dari sekitar tanah pertaniannya di Rhinebeck, tanpa mengalami hambatan yang berarti dari para penegak hukum. Kekhawatirannya yang paling besar, selama masa itu, ialah kondisi tubuhnya yang makin gendut. Berpekan-pekan ia, kadang-kadang, memusatkan kegiatannya pada usaha melangsingkan tubuh.

Zaman keemasan itu berakhir setelah agen-agen FBI memasang alat penyadap di Palma Boy Club. Dari perangkat pengintai itulah ketahuan betapa Salerno menyusun dan melancarkan serangkaian usaha pemerasan. Kendati ia dijatuhi hukuman, dan dijebloskan ke dalam penjara, menurut dugaan umum, Salerno masih memiliki peluang besar untuk tetap mengendalikan keluarga Genovese.

Aha. Rasanya kita juga sering mendengar kisah tentang para mafia, dan Salerno-Salerno lain, di Indonesia. Mereka seolah-olah menjalankan bisnis yang sah dan nyaris tak tersentuh hukum. Kita bahkan memiliki institusi hukum dengan kekuasaan dan wewenang seperti FBI yang memiliki perangkat menyadap. Tapi lihat, bagaimana jalannya perang melawan mafia itu? Cuih!

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Bagaimana komentar sampean setelah mendengarkan pidato Presiden?

Tagged: , , , , ,

§ 44 Responses to Mafia Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Mafia Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: