Ajisaka Pecas Ndahe
November 16, 2009 § 70 Komentar
Syahdan di Pulau Majethi hidup seorang satria tampan bernama Ajisaka. Ajisaka berilmu tinggi dan sakti mandraguna. Dia mempunyai dua orang pengikut: Dora dan Sembada. Kedua punggawa itu sangat setia kepada Ajisaka dan sama sekali tidak pernah mengabaikan perintahnya.
Pada suatu pagi yang basah, Ajisaka meninggalkan Pulau Majethi. Ia hendak berkelana melanglang buana. Ia ditemani Dora. Sedangkan Sembada tetap tinggal di Pulau Pulo Majethi karena menjaga pusaka milik Ajisaka. Sebelum berangkat, Ajisaka berpesan kepada Sembada agar tak menyerahkan pusaka tersebut kepada siapa pun kecuali kepada Ajisaka sendiri — apa pun taruhannya. Sembada menyanggupi akan melaksanakan perintahnya.
Ketika Ajisaka berkelana itulah, di tanah Jawa waktu itu ada kerajaan yang terkenal makmur, tertib, aman, dan damai. Kerajaan itu namanya Medhangkamulan dan dipimpin oleh Prabu Dewata Cengkar, seorang raja yang luhur budinya serta bijaksana.
Pada sebuah siang yang lengas, Sang Prabu menanti santapannya. Tapi yang ditunggu tak datang-datang. Rupanya ada kecelakaan. Jari juru masak kerajaanterbabat pisau hingga terlepas. Juru masak tidak menyadari bahwa potongan jarinya tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Prabu.
Ketika tanpa sengaja memakan potongan jari tersebut, Sang Prabu serasa menyantap daging yang sangat enak, sehingga ia mengutus Sang Patih untuk menanyai juru masak. Setelah mengetahui bahwa yang disantap tadi adalah daging manusia, sang Prabu lalu memerintahkan agar setiap hari dipersembahkan kepadanya salah satu rakyatnya sebagai santapan.
Sejak saat itu Prabu Dewatacengkar mempunyai kegemaran yang menyeramkan: menyantap daging manusia. Wataknya berbalik seratus delapan puluh derajat, berubah menjadi bengis dan senang menganiaya. Negara Medhangkamulan berubah menjadi wilayah yang angker dan sepi karena rakyatnya satu per satu dimangsa rajanya. Sisanya kabur menyelamatkan diri. Sang Patih pusing memikirkan keadaan, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa dihaturkan kepada rajanya.
Pada saat itulah Ajisaka bersama punggawanya, Dora, tiba di Medhangkamulan. Keduanya heran dan bertanya-tanya. Mengapa kerajaan itu begitu sepi dan menyeramkan itu. Mereka lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah mendapat keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Ajisaka lalu menghadap Rekyana Patih dan menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan Prabu Dewatacengkar.
Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa sayang bila Ajisaka yang tampan dan masih muda harus disantap Sang Prabu. Namun Ajisaka sudah bulat tekadnya, sehingga akhirnya iapun dibawa menghadap Sang Prabu. Sang Prabu tak habis pikir, mengapa orang yang sedemikian tampan dan masih muda mau menyerahkan jiwa raganya untuk menjadi santapannya.
Ajisaka mengatakan bahwa ia rela dijadikan santapan sang Prabu asalakan ia dihadiahi tanah seluas ikat kepala yang dikenakannya. Selain itu, harus Sang rabu sendiri yang mengukur wilayah yang akan dihadiahkan tersebut. Sang Prabu menyanggupi permintaannya.
Ajisaka kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib, ikat kepala itu seakan tak ada habisnya. Sang Prabu Dewata Cengkar terpaksa semakin mundur dan semakin mundur, sehingga akhirnya tiba di tepi laut selatan. Ikat kepala tersebut kemudian dikibaskan oleh Ajisaka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika wujudnya berubah menjadi buaya putih.
Berkat keberhasilannya menyingkirkan Dewat Cengkar, Ajisaka diangkat sebagai Raja Medhangkamulan. Rakyat Medhangkamulan bersuka cita. Tapi Ajisaka merasa ada yang kurang. Ia memerintah kerajaan tanpa pusaka andalannya. Maka, diperintahkannyalahDora pergi kembali ke Pulo Majethi menggambil pusaka yang dijaga oleh Sembada.
Setibanya di Pulo Majethi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka ketika meninggalkan Majethi. Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa meminta agar pusaka tersebut diberikan kepadanya.
Akhirnya kedua punggawa itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.
Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Sang Prabu Ajisaka. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua pengikut setia dan kesayangannya itu. Tapi Ajisaka tak larut dalam kesedihan. Untuk menghormati pengabdian dan pengorbanan Dora dan Sembada, Ajisaka menciptakan sebuah risalah dalam huruf Jawa.
Ha Na Ca Ra Ka Ana utusan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La saling berselisih pendapat)
Pa Dha Dha Ja Ya Nya (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga (sama-sama mejadi mayat)
Kelak, risalahnya itu menjadi cikal bakal aksara Jawa.
Dongeng Ajisaka dan dua pengikutnya, Dora dan Sembada, yang masyhur itu mengingatkan saya pada tragedi yang tengah menimpa dua institusi penegak hukum kita. Mereka saling bertikai, sama-sama kuat, dan ada kemungkinan sama-sama kalah. Siapakah yang menang? Tiada lain, tiada bukan para tikus-tikus serakah itu ….
:: Cerita tentang Ajisaka di atas diadaptasi dari situs ini.
>> Selama hari Senin, Ki Sanak. Apakah sampean rela kehilangan kedua lembaga yang mestinya kita hormati itu?
woah.. ajisaka ya, ada juga di babad prambanan, keren… sama² kuat tapi kok KPK nya dianalogikan pake cicak, harusnya kalo POLRI nya GODZILA… um.. KPK nya ULTRAMEN donk.. hahahaha….
Eerrr.. jadi yang salah, yang memerintahkan?
kirain yang dikaitkan ke institusi kita si cengkar yg jadi buaya putih,ternyata dora dan sembada…kecele… 😀
Yang diperlukan adalah seorang pemimpin yang bijaksana seperti Semar …
apa diberi nama supersemar?
yang harusnya menengahi pertarungan dora dan sembada itu malah diem aja, menyerahkan semua urusan pada hukum dengan alasan bahwa ini negara hukum. seperti tak tahu, bahwa ini negara dagang. apapun bisa diperdagangkan, termasuk juga hukum..
tapi aparat yang bertika tidak membela amanah, sebagaimana dora dan sembada ndoro…
masih berpikir maksud tersembunyi dari cerita ini…
hmmm…
Kalau Dora the Explorer dan Sembada sama-sama aparat hukum, lha itu si Dewata Cengkar siapa dong Ndoro ? 😛
ndor, bilang saja terus terang..penegak hukum di endonesia bedebah2…titik
waah..keren keren ndor 😆
tangkap anggoro-anggodo! usut century!
ini yang bener mestinya ya ndor?
sepotong analog yang menarik…:)
Tapi “Sang Prabu Ajisaka” sampai hari ini ngga terdengar komennya Ndoro… Apa harus nunggu tewas dulu ya baru komentar?
ngakak..hahahahahhahahahahhahahahhahaahah
Anak2 muda sekarang apa masih belajar huruf Jawa ya mas.
kalau nggak dipelajari entar musnah tuh.
Salam hangat dari Surabaya
Bukannya tiga, Ndor.. lha Kejaksaan?
Kalo dua lembaga itu Dora Sembada, Ajisakanipun sinten Ndoro ? Seorang yang berani merelakan diri dimakan, tapi akhirnya malah berhasil mengalahkan yang mau makan.
kata Dora: berhasil! berhasil!
orang Jawa ternyata pinter ya, bisa menebak apa yang akan terjadi di masa depan
Maunya kedua institusi sama-sama dihormati, tapi kok susah banget ya mempercayai si buaya soalnya selama ini yang aku lihat banyak main ga benernya. Uh sama uang tuh isab banget. Tapi kalau nurut cerita Ajisaka yang buaya itu pantesnya si Dewata Cengkar itu yang kecebur ke laut.
Hi.hi.hi, dora-weruh, dora-reti….
saya tidak rela ndoro…
Jangan sampai kita kehilangan institusi-institusi yang seharusnya menjadi pembela rakyat,Ndor. Paling-paling kita reformasi saja orang-orangnya,udah bagus diberi kewenangan dan tanggung jawab, digaji lagi..eh malah seenaknya ngatain cicak…hehe.
yeah..bw ajah
saya siap jadi ajisaka ndor !!!
Ini dongeng buat Bunga dan Jendra po? Sadis ada makan2 orang segala +_+
kereeeeeeeeeen ndorooooo! hehehehe
jawa jawa…
jadi begitu ndoro…saya baru tau
Dulu, waktu SD, saya bisa menulis kalimat dengan huruf Jawa itu. Kalau diperhatikan unik dan artistik.
Sepertinya Ma Ga Ba Tha Nga (sama-sama mejadi mayat) Ndoro, Abot sanggane podho sumpah serapah atas nama Tuhan …………….
menarik Ndoro… saya pernah baca kisah ajisaka yang menyangkut hasrat seksualnya pertama kali…
Kok tahu harinya basah, ndoro? LOL
Saya setuju dng wisdom dari nenek moyang kita Ndoro. Sama-sama kuat siapa yang mati? Ya, pastinya rakyat.
Ceritanya menarik, malah kayanya baru baca…
kanibal ihh…
Ceritanya menarik banget . . .
saya baru tau ada cerita itu . . .
makasih informasinya mas . .
tetep saja di pinggir-pinggir jalan yang sering kumuh, hal ini bisa jadi lahan judi yang sangat menarik.
hayo, siapa nanti yang bakal menang? pasang taruhannya disini 😀
baru tahu neh cerita ajisaka 😀
Tapi sekarang yg kondang versi gaul ala dagadu jogja to,dab..
Masih nyari yg namanya ajisaka ituh…
😀 😀 😀
mungkin…ajisaka yang sekarang, justru senang “dora” dan “sembada” tewas…agar tidak mengalahkan sinar sang prabu…
duh sedihnya
kok ya ndoro bisa mencari adaptasi cerita yang relevan ya? lalu Prabu Dewawatcengkar menganalogikan siapa?
kalo peribahasanya “Gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.”
Para KORUPTOR berpesta….. turut brduka cita T.T
Hmmm… Di kisah itu Sembada dan Dora melaksanakan perintah Ajisaka, kalau lembaga diIndonesia? Apa iya benar2 berpegang pada aturan yang berlaku?
Tumben ndoro dongeng…saya sampe ngantuk bacanya hik…hik…hik…
Semua tergantung PEMIMPINNYA ndoro…Dengan SABDA dan KEKUASAANNYA dia bisa menghentikan debat dan pertikaian yang tidak semestinya ada..
Mboten to, hanya perlu pembersihan dan pemgawasan masyarakat dan pemerintah.
seperti kata manusia super, yang salah yang memimpin…. sampek kedowo-dowo…
Menurut gua, Ajisaka yang paling geblek di sini. Masakan dia nggak memperhitungkan loyalitas dan harga diri Sembada sebagai seorang ksatria yang dimandatkan. Pemimpin yang nggak bijak gini mah pemimpin kelas teri yang pake helm, biar keliatan gede. Sang “Ajisaka” kita juga geblek, nggak bikin garis wewenang antara “Dora” dan “Sembada”. Kalo dulu mah maklum, Ajisaka bukan kandidat nobel perdamaian dan nggak punya gelar honoris clausa. Tapi “Ajisaka” yang sekarang? Saya jadi mempertanyakan pencalonan “Ajisaka” kita sebagai penerima nobel perdamaian… Masakan konflik antara “Sembada” dan “Dora” aja nggak bisa didamaikan?
Menurut gua, Ajisaka yang paling geblek di sini. Masakan dia nggak memperhitungkan loyalitas dan harga diri Sembada sebagai seorang ksatria yang dimandatkan. Pemimpin yang nggak bijak gini mah pemimpin kelas teri yang pake helm, biar keliatan gede. Sang “Ajisaka” kita juga geblek, nggak bikin garis wewenang antara “Dora” dan “Sembada”. Kalo dulu mah maklum, Ajisaka bukan kandidat nobel perdamaian dan nggak punya gelar honoris clausa. Tapi “Ajisaka” yang sekarang? Saya jadi mempertanyakan pencalonan “Ajisaka” kita sebagai penerima nobel perdamaian… Masakan konflik antara “Sembada” dan “Dora” aja nggak bisa didamaikan?
Oia, Sekedar info nih. Tanggal 26 November 2009 Brad Sugars, pengusaha internasional dan business coach ternama dari Australia akan datang ke Indonesia, tepatnya di Jakarta International Expo, Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran. Dia akan berbagi pengalaman dan teknik-tekniknya membesarkan bisnis. Info tentang Brad Sugars bisa di lihat di alamat ini.
Untuk reservasi hubungi:
Studio Samuan
Rukan Permata Senayan Blok D-33
Telp : 021 3713 6165
0857 153 20001 (Ning Mahayu)
Fax : 021 5794 1173
dapat pelajaran sejarah nie
=====================================
musim hujan telah tiba saatnya kita jaga kesehatan…
nie ada tips2-nya untuk mempertahankan daya tahan tubuh klik disini ya
http://www.yamaha-friends.com/?act=articles&aid=176
Yang harus bertanggung jawab adalah sang Raja yang tampan (dan bijaksana?), Ajisaka. Kalo hidup di jaman sekarang, mungkin Ajisaka akan menciptakan syair lagu untuk mengenang dua pengikut setianya tersebut.
ajisaka harus segera bertindak neh.
bukan zamannya adu kesaktian n kekuasaan tapi adu kebenaran.
Namun sayangnya SBY bukan Ajisaka…
kalo seandainya jaman itu udah ada HP… pasti hal ini gak terjadi… wkwkwkwkw…..
cerita rakyat mana ne?
ora mudeng ndoro
Belajar dari legenda, perlukah ?
kenapa enggak? apa iya masih mau membatasi kepekaan diri sendiri? setiap hal – seburuk apapun – selalu ada pelajaran yang bisa dipetik dari dalamnya kan? tinggal pekanya kita atau nggak aja, kan?
Tau gak Ndoro?
Pulau Majeti itu dmn?
itu Pulau Bawean loh Ndoro…..
ndoro makasih 🙂
ketemu juga akhirnya..heuheu
Salut dan matur nuwun suguhan critanya, tapi kalo’ di identikkan dengan kahanan negara saat ini………… Yo Mbuh aku ra melu – melu, Lha wong pusakanya Ajisaka aja ndak jelas kok.
Kalau aksara Jawa diubah urutannya oleh Suprapto Suryodarmo hasilnya begini
Ba Tha Ra Sa Da Pa Dha Ja Ya
Nga Ca
Wa Ha Na Ma Ga Ka La Nya Ta
Manusia akan sama-sama jaya…
Jika mengarahkan diri pada Tuhan…
sambil bercermin
pada kenyataan dalam ruang, jalan (hidup), dan waktu.
kulo setuju pak…
jangan gunakan kekuatan ajisaka untuk hal2 yang buruk.. karena sangat tidak baik?!!!! gunakan ilmu ini untuk kebaikan 7untuk membantu sesama yang kesulitan dalam hal2 pengobatan… supranatural agar kita lbih bs mndekatkan diri pada’y.. amin. sekian dari saya andi f
siph..
Ndoro, nama abdinya Aji Saka itu yang betul Dora dan Sembada atau Seco dan Setuhu? Yang jelas bukan Dewata Cengkar, ya… kan dia udah tenggelam di laut selatan dan menjelma jadi buaya putih…. (bukan buaya yang biasa kita lihat di sini di waktu ini….)
mantap ndoro. kereeeen 😀