Ramalan Pecas Ndahe

Januari 2, 2010 § 44 Komentar

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta

Chairil Anwar menuliskan baris-baris itu untuk seorang nenek tua yang meninggal. Kita kini mungkin akan mengingatnya untuk Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Presiden Indonesia keempat ini wafat Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB, di RSCM Jakarta. Dan kita pun merundukkan kepala untuk menghormatinya.

Lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940, Gus Dur adalah cucu K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Di pentas nasional, Gus Dur Gus Dur dikenal sebagai tokoh nasional, pembela kelompok minoritas, pelopor kemajemukan, dan guru bangsa. Ketika menjadi presiden, Gus Dur mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa. Dia juga menjadikan Konghucu sebagai agama yang diakui, serta Imlek sebagai hari libur nasional.

Di luar NU, ia dikenal sebagai kolumnis, budayawan, seniman, dan mempunyai pola pemikiran yang orisinil di bidang keagamaan. Selesai pendidikan sekolah dasar di Jakarta, 1953, ia meneruskan ke SMEP di Yogyakarta, 1956. Seterusnya ia masuk Tebuireng, Jombang, sampai 1963.

Pendidikan lain yang sempat diikuti ialah Department of Higher Islamic and Arabic Studies, Universitas Al-Azhar, Kairo. dan lakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak.

Sebenarnya, sekembalinya dari Irak, ibunya ingin agar Gus Dur memimpin Pesantren Tebuireng, peninggalan ayahnya dan pesantren milik ibunya di Denanyar. Ia sempat menjadi sekretaris Tebuireng 1974-1979. Setelah itu ia ke Jakarta dan membuka pesantren di Ciganjur, di selatan Jakarta. Kelak ia menjadi Ketua Tanfiziah Pengurus Besar NU.

Sebagai manusia biasa, Gus Dur itu gila bola. Ketika putaran final Piala Dunia Italia berlangsung pada 1990, dia mengaku hafal nama puluhan pemain dan pelatih tim sepak bola yang ikut babak final. “Sampai ejaan namanya pun saya hafal,” katanya waktu itu kepada wartawan Tempo.

Siapa yang dijagokan Gus Dur sebagai juara waktu itu? “Rasanya Belanda yang akan menang,” katanya. Tebakannya meleset. Juara Dunia 1990 adalah Jerman.

Toh ia tak kecewa. Maklum, Gus Dur tak mau disebut sebagai pengamat, apalagi komentator olahraga. “Sebut saja saya ini pemerhati bola amartir, hehehe…,” ujarnya.

Di meja kantornya, kliping berita perebutan piala dunia bergeletakan. “Lihat, nih, saya kliping tiap hari. Komplet, lo,” kata Gus Dur sembari asyik menggunting koran.

Ia mengaku sudah menjadi “aktivis” bola sejak muda. “Waktu itu saya mainnya di Taman Matraman,” katanya. Begitu pindah ke Yogyakarta, sekolah di SMEP Yogya, Gus Dur masuk tim sepak bola sekolahnya. Posisinya pemain belakang kiri. Tapi itu tak lama. “Karena harus pakai kaca mata,” katanya. Gus Dur memakai kaca mata minus 15.

Beda sepak bola dan politik, kata Gus Dur lagi, “Lihat orang-orang gede berebut satu barang bundar, kan sehat. Kalau politik, yang direbut nggak jelas, tapi orang getol berebut. ” Lha, dengan ormas? “Bola itu kan gabungan antara seni, stamina, dan strategi. Sama dengan teknik mengurusi ormas,” ujar Gus Dur sambil tertawa.

Sayang, NU belum berubah menjadi PSSI. Dan memang mustahil. Selamanya.

>> Selamat hari Sabtu, Ki Sanak. Bagaimana kenangan sampean tentang Gus Dur?

Tagged: , , ,

§ 44 Responses to Ramalan Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Ramalan Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: