Pengusaha Pecas Ndahe

Januari 10, 2011 § 31 Komentar

Kelabu mewarnai Sabtu pekan lalu. Tiga tokoh meninggal pada hari itu: Maemunah Thamrin, istri sastrawan Pramoedya Ananta Toer, musikus Elfa Secioria, dan pengusaha Sudwikatmono.

Maemunah meninggal di usia 82 tahun karena penyakit stroke yang telah lama dideritanya. Elfa, 51 tahun, tutup usia di Rumah Sakit Pertamina, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Sudwikatmono wafat pada pukul 06.30 waktu Singapura, saat masih dirawat secara intensif di Rumah Sakit Mount Elizabeth.

Di antara ketiga tokoh itu, saya tertarik pada sosok Sudwikatmono. Meski berjaya di masa Orde Baru, dia niscaya kurang dikenal anak-anak yang lahir setelah 1980.

Lahir di Wonogiri pada 28 Desember 1934, Sudwikatmono adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara dari pasangan M. Ng. Rawi Prawirowihardjo dan Sanikem.

Sudwikatmono adalah adalah saudara sepupu Presiden (almarhum) Soeharto. Dwi, demikian panggilan akrabnya, ditunjuk Soeharto dalam jajaran konglomerat untuk membantu mengentaskan kemiskinan melalui satu wadah bernama Yayasan Damandiri (Dana Sejahtera Mandiri).

Lebih dari 20 tahun silam, Majalah TEMPO, pernah menulis sepak terjang pengusaha tepung terigu itu di ranah bisnis. Berikut ini cuplikannya …

Kalau ada pengusaha yang paling aktif di awal 1989, orang itu adalah Sudwikatmono. Dalam satu bulan terakhir, Dwi — panggilan akrabnya — tampak sangat sibuk meresmikan berbagai perusahaannya, baik yang baru maupun yang sekadar melebarkan sayap.

Belum lama berselang, lelaki yang berkantor di Wisma Indocement — kadang kala juga di Wisma Metropolitan — muncul di layar TV, ketika meresmikan kompleks bioskopnya yang baru di Pamulang. Lantas, dua pekan silam, dia pulalah yang meringankan langkah lima menteri untuk meresmikan Bumi Serpong Damai, kota yang kabarnya akan sama besar dengan Bandung.

Lima menit setelah peresmian itu, Dwi terbang mengejar Wapres Sudharmono ke Bengkulu. Kali ini untuk meresmikan Perusahaan Tambang Batubara milik PT Bukit Sunur. Tiga hari sepulang dari Bengkulu, di Kuningan Jakarta Selatan, Kantor cabang Bank Surya Indonesia yang baru — dengan simbol huruf D bersayap — telah menanti juga untuk diresmikan.

Bank Surya memang belum populer di kalangan pengusaha Jakarta. Tapi di pusatnya, Surabaya, telah tersiar kabar, bank inilah yang akan menangani pengelolaan Bursa Efek Surabaya, yang akan dibuka April depan.

Tapi sederetan kegiatan di atas baru sebagian saja dari semua aktivitas bisnis Dwi. Hanya dengan mengukur kegiatan itu saja. tampaknya sangat pantas jika Sudwikatmono dicatat sebagai satu dari 10 pengusaha terkemuka di Indonesia. Selain yang diuraikan di atas, ia juga dikenal sebagai direktur merangkap pemegang saham di pabrik tepung terigu PT Bogasari Flour Mills.

Posisi yang menentukan juga dijabat Dwi di Indocement, PT Metropolitan Kencana (bisnis perumahan dan perkantoran), Supermarket Golden Truly, Importir film-film Mandarin, plus mengelola jaringan bioskop Cineplex 21 di berbagai kota. Agaknya, satu momen penting dalam karier bisnis Dwi ialah ketika ia mendapatkan relasi yang juga berinsting bisnis, yakni Liem Sioe Liong.

Perusahaan pertama yang didirikannya bersama Om Liem adalah PT Hanurata — bergerak dalam perdagangan kopi, lada, karet, tengkawang, kopra, gula, dan beras. Entah kenapa, Dwi maupun Liem meninggalkan perusahaan yang baru dibentuknya itu. Dan mereka berempat — bersama Djohar Sutanto dan Ibrahim Risyad menggarap usaha sejenis yang lebih besar, dengan nama PT Waringin Kencana.

Kebetulan, Waringin ditantang oleh banyak pesaing. Dalam bisnis kopra, muncul PT Sinar Mas. Di sektor karet dan kopi, muncul pengusaha kuat dari Lampung, Ahmad Bakrie, yang mendirikan Bakrie and Brothers. Akhirnya, terpaksa Waringin dilego pada PT Gajah Tunggal.

Tapi Dwi tetap pasang mata jeli. Melihat kebutuhan terigu dalam negeri masih dipenuhi oleh hasil impor, tahun 1969 ia mengajukan permohonan untuk mendirikan pabrik sendiri. “Karena berbagai pertimbangan strategis, permohonan kami langsung direstui oleh Presiden,” ujar Dwi. Bogasarilah yang akhirnya menjadi tulang punggung Dwi, hingga bisa melesat sejauh sekarang.

Dengan produksi total yang hampir mencapai 2 juta ton. Bogasari mengucurkan banyak laba. Kuncinya, “Setiap keuntungan yang diperoleh selalu kami reinvestasi yang dinikmati hanya bonusnya,” ujarnya.

Tapi bagaimana seorang Dwi bisa melihat prospek berbagai peluang bisnis? “Bukan saya, tapi istri saya yang lebih pintar dalam bisnis,” katanya merendah.

Apakah suksesnya tak ada sangkut paut dengan sang kakak, yang Presiden RI? Dengan sigap ia membantah, “Saya tidak mendapat fasilitas khusus apa pun. Semua pengusaha punya kesempatan yang sama.”

Dwi melepas seluruh saham miliknya dalam kelompok usaha Cineplex 21 pada 24 November 1998, beberapa bulan setelah Soeharto lengser. Sejak itu, dia hilang dari pantauan radar berita media.

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Apakah sampean merasa kita selalu memiliki kesempatan yang sama dalam hidup ini?

Tagged: , , , ,

§ 31 Responses to Pengusaha Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Pengusaha Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: