Ubud Pecas Ndahe

November 21, 2011 § 104 Komentar

“Kenyataan bahwa aku sudah pergi jangan sampai membuatmu terlempar dalam pusaran hidup yang paradoksal. Karena aku pernah benar-benar punya harapan bakal hidup selamanya di sampingmu. Harapan itu masih tersimpan sangat rapi di sudut hatiku. Sekian.”

Pesan itu tiba-tiba menyelinap ke dalam BlackBerryku. Dari siapa lagi kalau bukan dia. Perempuan yang pelukan hangatnya mampu melumerkan seluruh salju di kutub utara.

Aku kaget. Tak kusangka mendapat kiriman mendadak dan mengagetkan seperti ini.

Aku segera membalasnya. Tanpa pikir panjang.

“Pernah? Apakah sekarang sudah padam?” Send!

Incoming message: “Harapan itu masih tersimpan sangat rapi di sudut hatiku.”

“Aku khawatir baranya makin lama makin kecil, dan akhirnya padam.” Send!

Incoming messange: “Ingat rumah di Ubud yang pernah aku ceritakan kepadamu? Dengan ayunan di taman depan? Dan kamu bilang dengan entengnya, ‘Tanya saja harganya berapa, nanti buat rumah kita di masa tua?'”

“Iya aku ingat. Sudah kau beli?” Send!

Incoming message: “Belum dong, memangnya kita sudah tua?”

“Tapi aku makin menua.” Send!

Incoming message: “Sudah siap hidup bersamaku?”

“Sudah siap beli rumah itu?” Send!

Kamu tertawa. Aku ngakak. Kita terbahak-bahak. Berdua.

Sore ini langit di atas Jakarta kelabu. Mendung menggantung. Baku balas teks itu membuat aku seperti terlempar ke masa silam saat kita ada di mana-mana. Di Marce. Di Canteen. Di Epicentrum. Di Soto Gebrak Tebet. Di depan sepiring Oglio olio. Di dalam layar Instagram. Di setiap larik-larik pesan pendek yang selalu meluncur setiap malam. Dahulu, pada sebuah masa.

Kita mungkin tak akan mampu memutar ulang itu semua. Itu masa lalu. Sekarang bahkan “kita” sudah tak ada lagi.

“Apa yang terakhir kamu ingat tentang diriku, Mas?”

“Pelukanmu. Kamu?”

“Bibir aroma tembakaumu. Manis.”

“Ah, aku jadi menginginkan bibirmu.”

“Aku menginginkan kamu.”

“Ambillah.”

“Kamu sudah ada yang punya: dulu dan sekarang.”

“Kamu sekarang juga sudah ada yang punya.”

“Dulu dan sekarang aku berharap kamu yang memilikiku.”

“Baiklah. Aku akan ambil kamu sekarang.”

“Ambillah. Pesawatku take off setengah jam lagi. Pramugari-pramugari itu pasti tak mau menunggumu.”

“Hah! Kamu mau ke mana?”

Sampai lebih dari dua jam pesan itu tak terbalas. Aku menanti dengan cemas.

Sampai akhirnya kudengar suara adzan Maghrib berkumandang di kejauhan. Aku tahu ke mana aku harus mengambil jalanku sekarang. The road less traveled …

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Kapan sampean terakhir ke Ubud?

Tagged: , ,

§ 104 Responses to Ubud Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Ubud Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: