Jomblo Pecas Ndahe

Juni 5, 2014 § 72 Komentar

Apa enaknya hidup melajang? Apa pula susahnya?

Dua pertanyaan itu menari-nari di kepala setelah tadi malam saya bertemu dua sahabat baik, Ainun dan Motulz di sebuah kedai jus buah di Jakarta Selatan. Pertemuan itu sangat kasual. Maksudnya tanpa direncanakan sebelumnya dan tak punya agenda serius tertentu.

Kami hanya ingin bertemu dan ngobrol. Itu saja. Bukankah kadang kita memang hanya perlu bertemu, berhadap-hadapan, dan saling menatap mata untuk meneguhkan tali silaturahmi?

Maka obrolan pun bisa ke mana-mana. Kami memulai dengan bertanya kabar masing-masing. Sesekali kami bertukar gosip. Kali lain kami pun membahas situasi kekinian, termasuk tentu saja ihwal politik.

Politik?

Tunggu dulu. Bukan obrolan itu yang membuat saya lalu ingin menulis. Malam itu, Motulz merasa kurang enak badan. Wajahnya kusut. Matanya sayu. Ringkasnya, ia bagaikan kompor kurang bahan bakar.

Ia bahkan hanya memesan sepiring potongan buah segar dan minum jus. Mungkin biar tubuhnya tetap bugar. Stamina tetap terjaga. Maklum, teman saya yang satu ini hendak jalan-jalan ke beberapa kota untuk sebuah proyek.

Melihat kondisi Motulz, saya dan Ainun berkomentar pendek, “Makanya cari jodoh, Tulz!”

Dia ngakak.

Jodoh? Pasangan? Apa pentingnya bagi seorang lelaki?

Saya mengira pada saat-saat tertentu setiap orang membutuhkan orang lain. Ketika sakit, misalnya, seseorang biasanya dalam kondisi butuh orang lain. Kehadiran teman atau pasangan tentu akan sangat membantu.

Saya ingat dulu ketika masih lajang, hidup tampaknya sengsara betul, terutama saat kondisi badan sedang drop. Kerja tak bisa, makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.

Teman-teman kerja saya waktu itu terlihat prihatin melihat saya kalau sedang sakit. Mengenaskan, komentar mereka. Iya, teman-teman saya dulu memang punya selera humor yang aneh.

Tentu saja, orang lain sebagai pendamping saat kita sakit itu tak selalu berarti pasangan atau kekasih. Bisa saja ia seorang sahabat. Jenis kelaminnya sik, bisa apa saja.

Kehadiran seseorang di saat kita down itu bagaikan obat yang nilainya tak terperi. Ia menguatkan. Membuat kita punya semacam energi tambahan. Penderitaan jadi tak terasa sedemikian parah jika ada orang lain di sebelah kita.

Malam itu, dalam perjalanan pulang, saya memikirkan sahabat saya Motulz. Dia sedang sakit. Dan sendirian. Itu kombinasi yang menyesakkan dada buat saya.

Saya tak tahu bagaimana orang lain melihat situasi seperti itu. Rambut kita boleh sama hitam, tapi isi kepala kan bisa beda-beda.

Saya hanya tahu, pada dasarnya tiap orang tak bisa hidup sendiri. Ia selalu membutuhkan orang lain di sisinya. Bukankah takdir manusia begitu katanya?

Tentu saja para lajang, baik karena pilihan maupun keadaan, memiliki argumen masing-masing yang berbeda. Bisa saja mereka justru nyaman dengan kondisi sendirian. Jadi tak ada yang benar dan salah untuk urusan ini.

Bagi saya, tetap saja kadang-kadang para lajang itu suatu saat pernah merasa “sakitnya tuh, di sini” seraya menunjuk dada. Begitukah?

>> Selamat hari Kamis, Ki Sanak. Menurut sampean, apa enak dan tak enaknya jadi jomblo?

Tagged: , , , , ,

§ 72 Responses to Jomblo Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Jomblo Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: