Pancasila Pecas Ndahe

Juni 2, 2008 § 36 Komentar

Ahad pagi kemarin mestinya waktu yang menyenangkan buat saya. Burung-burung bernyanyi riang. Matahari hangat melenakan. Rumput hijau segar. Udara wangi daun-daun. Angin sepoi-sepoi.

Hati saya nyaman dan relaks, seperti lagu yang didendangkan Commodores itu, Easy Like Sunday Morning.

Sayang, kenikmatan itu cuma sebentar. Begitu melihat televisi, Ahad menjadi tak mudah lagi seperti senandung Lionel Richie itu.

S’why I’m easy ….. easy like Sunday mornin’,
It’s why I’m easy ….. easy like Sunday mornin’ …

Jalan protokol Thamrin-Sudirman menjadi lautan merah. Kawasan Monas berdarah-darah. Dan, warga Serang lintang pukang mengejar sebuah extravaganza.

Di sela hiruk-pikuk di hari libur itu, samar-samar saya teringat, kemarin kita merayakan Hari Lahir Pancasila. Aha, siapa yang masih ingat kelima sila yang luhur itu? « Read the rest of this entry »

Jalan Pecas Ndahe

Mei 22, 2008 § 28 Komentar

Kepada siapakah kita bertanya ketika jalan di depan tiba-tiba bercabang? Kepada siapakah kita bertanya saat jalan ke kiri dan ke kanan ternyata sama-sama tak kita tahu kebagusan atau keberengsekannya?

“Carilah jawabnya pada telaga yang teduh dalam diri sampean, Mas. Hati nurani. Sebab, manusia toh selalu dihadapkan pada dilema pilihan,” kata Paklik Isnogud dengan suaranya yang melodius itu. “Dan kita tak pernah tahu jalan pilihan yang paling cocok sebelum melewatinya.”

Saya terpana mendengar pitutur Paklik itu. Malam semakin tua. Di atas langit, awan mengiris sedikit wajah rembulan. Hening yang panjang mewarnai pertemuan kami malam itu.

Saya tahu, bahkan Paklik pun tak punya jawaban pasti ketika saya bertanya. Tapi, pernahkah dia punya kepastian, sesuatu yang selalu final?

Seperti biasa, setiap kali saya menghadapi dilema dan bertanya kepadanya, Paklik selalu meminta saya memikirkannya sendiri. Ia hanya menyodorkan perlambang-perlambang yang mesti ditafsir ulang. « Read the rest of this entry »

Al Amin Pecas Ndahe

April 9, 2008 § 41 Komentar

Siapakah sesungguhnya orang-orang yang duduk di Senayan itu? Wakil rakyat? Wakil partai politik? Pengontrol pemerintah atau gerombolan tikus lapar?

Saya ndak tahu. Yang jelas, penangkapan Al Amin, anggota DPR dan suami pedangdut Kristina, sekali lagi memperlihatkan kian buramnya wajah orang-orang pilihan rakyat itu.

Padahal “Al Amin” itu, kalau saya ndak salah, artinya “yang terpercaya”. Apakah dia juga bisa dipercaya?

Saya ndak tahu. Yang jelas, suap, sogok, semir, servis adalah praktek tercela yang celakanya menghinggapi beberapa wakil rakyat kita. Gosip dan rumor mengabarkan tindakan yang digolongkan sebagai korupsi itu bahkan mewarnai hari-hari mereka — dan membuat kita prihatin.

Saya ingat, Paklik Isnogud juga pernah dengan masygul bercerita bahwa daya rusak korupsi yang terbesar justru memang terjadi pada saat suram seperti sekarang: kita tak tahu lagi di mana yang salah dan bagaimana mengatasinya.

“Korupsi ialah kanker yang akhirnya mengeremus harapan dan kepercayaan kita, Mas,” kata Paklik. “Ia meludahi kemungkinan bahwa di sekitar masih ada orang yang bersih.

Pada tingkat yang paling destruktif itulah korupsi membawa semacam pemerataan: semua orang dianggap cuma cari untung sendiri-sendiri.”

Saya masih ingat, setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya itu, guntur menggelegar. Hujan turun deras. Langit menggelap. Dan malam semakin kelam …

Ekstrem Pecas Ndahe

April 2, 2008 § 24 Komentar

Selarik kalimat tiba-tiba nyelonong masuk ke kotak Yahoo! Messenger. Dari id-nya, saya tahu siapa pengirimnya: seorang kawan lama.

“Aha, finally, I know who you are. You guys never take side, yes?”

Saya tersenyum membaca teks itu dan kenapa dia mengirimkannya. Dia memang pembaca setia blog saya ini. Ia mengikuti dengan seksama setiap kata, kalimat, bahkan hingga titik koma dari setiap posting yang ada di blog ini, sejak awal saya mulai ngeblog hingga sekarang.

Tak heran bila dia mengenal saya, terutama sikap dan pandangan saya tentang banyak hal. Kalimat itu merupakan semacam kesimpulan dia tentang semua posting saya yang membahas pelbagai macam isu.

Dan di hari-hari ini, ketika ranah blog berderak-derak oleh pelbagai macam isu, dia merasa sikap dan pandangan saya makin menegaskan sosok saya. Sikap dan pandangan yang sama juga dia temukan pada sosok beberapa blogger lain, seperti Sir Mbilung dan Paman Tyo.

Saya cuma tersenyum dan tak segera bereaksi pada kalimat yang ditulisnya itu, sampai kemudian dia bertanya dari mana dan bagaimana kami bisa mempunyai semacam kesamaan sikap. « Read the rest of this entry »

Kemelaratan Pecas Ndahe

Maret 28, 2008 § 22 Komentar

Hidup rupanya kian bikin lisut pinggang — dan absurd. Bacalah berita-berita dalam satu bulan terakhir ini, ibu-ibu membunuh anak kandungnya sendiri di Bekasi, Jawa Barat, dan Pekalongan, Jawa Tengah. Kasus serupa terjadi di Malang, Jawa Timur.

Ekonomi yang sulit, kemelaratan, kabarnya telah menjadi momok yang paling mencekam hingga membuat ibu-ibu itu mata gelap. Harga beras, minyak tanah, sembako, meroket. Penghasilan merosot tajam. Pengangguran keleleran di mana-mana. Para suami meninggalkan istri. Anak-anak teraniaya dalam belitan kemiskinan.

Ibu-ibu hidup penuh tekanan. Ketika pintu penahan tekanan jebol, akibatnya tak tertanggungkan lagi.

Lalu di manakah negara? Pemerintah? Dan kita? Bagaimana sebetulnya kita harus memberantas kemiskinan dan tekanan hidup? Perlukah kaum paria dilindungi?

Paklik Isnogud cuma geleng-geleng kepala ketika saya mengajaknya memikirkan soal ini. Berkali-kali ia mendesahkan napas panjangnya. Wajahnya keruh. Matanya redup. « Read the rest of this entry »

Where Am I?

You are currently browsing the Paklik Isnogud category at Ndoro Kakung.