Meme Pecas Ndahe
November 14, 2014 § 26 Komentar
Ahok adalah sinar terang di ujung lorong. Ia harapan warga Jakarta yang kian suram dan ruwet.
Harapan itu membesar setelah DPRD DKI Jakarta hari ini secara resmi menetapkan Basuki T. Purnama alias Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta. Ahok adalah wakil gubernur yang naik karena gubernur sebelumnya, Joko Widodo, menjadi presiden.
Kita tahu Ahok melewati jalan yang terjal sebelum mencapai kursi DKI 1. Berasal dari kaum minoritas, kemunculannya membuat kelompok radikal seperti FPI bagaikan disengat lebah.
FPI menganggap Ahok sebagai batu di tengah jalan yang harus disingkirkan. Maka kelompok minoritas ini pun gencar menolak Ahok.
Tapi sebagian besar warga Jakarta lainnya, the silent majority, ada di belakang Ahok. Dukungan mereka setidaknya muncul di media sosial. Seperti apa bentuk dukungan itu? « Read the rest of this entry »
Vicky Pecas Ndahe
September 9, 2013 § 69 Komentar
Sebuah video mendadak populer di media sosial hari-hari ini. Beredar secara viral melalui Facebook dan Twitter, video itu menampilkan cuplikan penjelasan pasangan selebritas yang membuat saya harus buru-buru minum obat sakit kepala.
Bagaimana tidak? Salah seorang dalam video itu mengatakan, misalnya, “Walaupun kontroversi hati aku lebih membutuhkan kepada konspirasi kemakmuran ya… kita pilih ya … ”
Pada kesempatan berikutnya, dia bilang, “Kupikir kita nggak boleh ego terhadap satu kepentingan dan mengkudeta apa yang sudah menjadi keinginan… ”
Apa nggak bikin mumet tuh? « Read the rest of this entry »
Pejabat Pecas Ndahe
Mei 5, 2011 § 62 Komentar
Tiba-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bicara soal Facebook dan Twitter ketika berpidato di depan para pengusaha Amerika Serikat.
Ia juga bicara tentang anak-anak muda yang memadati ranah Internet dan tingginya popularitas media sosial di Indonesia. Adakah kebanggaan? Adakah kecemasan? Bagaimana reaksi para pejabat di bawahnya mendengar pidato itu?
Kita tahu bagaimana media sosial meroket di panggung dunia maya. Orang berduyun-duyun memakainya sebagai salah satu “obat ajaib” yang mampu merobohkan sekat-sekat informasi.
Tapi kita juga melihat kegamangan. Terutama di kalangan para pejabat publik, pelayan masyarakat, yang ngumpet di sudut-sudut birokrasi yang ruwet. « Read the rest of this entry »
Artalyta Pecas Ndahe
Januari 11, 2010 § 93 Komentar
Sang ratu lobi, Artalyta ‘Ayin’ Suryani, hidup mewah di Rumah Tahanan Pondok Bambu. Benarkah dia hanyalah sekeping potongan puzzle dari gambar besar tentang lemahnya sistem peradilan kita?
Malam itu, ketika sedang kongko di warung angkringan Wetiga, Jalan Langsat, Jakarta, saya dengar lagu-lagu melankolik mengalun dari dua tempat yang menyediakan layanan karaoke di kafe sebelah. Di antara lagu-lagu jadul itu, saya yang tengah menikmati hangatnya teh jahe tiba-tiba teringat sebuah lagu lawas D’Lloyd, Hidup di Bui.
Hidup di bumi bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Tidur di ubin fikiran bingung
Apa daya badan ku terkurungTerompet pagi kita harus bangun
Makan di antai nasinya jagung
Tidur di ubin fikiran bingung
Apa daya badan ku terkurung( korus )
Oh kawan, dengar lagu ini
Hidup di bumi menyiksa diri
Jangan sampai kau mengalami
Badan hidup terasa matiApalagi penjara jaman perang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Kerana kerja secara paksa
Tua muda turun ke sawah
Penjara, sebagian memang cerita yang seram. Dalam novel, cerita pendek, juga lagu, penjara adalah “rumah” yang harus dihindari. Vokalis Band D’Lloyd, Sjamsudin, di tahun 1970-an merekam lagu Hidup di Bui itu, dan meledak di pasaran sebelum lagu itu dilarang oleh pemerintah Orde Baru. « Read the rest of this entry »
Lanjutkan Pecas Ndahe
Juni 18, 2009 § 71 Komentar
Demam kampanye calon presiden telah merangsek ke Lembah Silikon. Bahkan Google Chrome ikut-ikutan mendukung salah satu pasangan.
>> Selamat hari Kamis, Ki Sanak. Apakah sampean sudah memakai peramban Google Chrome?