Artalyta Pecas Ndahe

Januari 11, 2010 § 93 Komentar

Sang ratu lobi, Artalyta ‘Ayin’ Suryani, hidup mewah di Rumah Tahanan Pondok Bambu. Benarkah dia hanyalah sekeping potongan puzzle dari gambar besar tentang lemahnya sistem peradilan kita?

Malam itu, ketika sedang kongko di warung angkringan Wetiga, Jalan Langsat, Jakarta, saya dengar lagu-lagu melankolik mengalun dari dua tempat yang menyediakan layanan karaoke di kafe sebelah. Di antara lagu-lagu jadul itu, saya yang tengah menikmati hangatnya teh jahe tiba-tiba teringat sebuah lagu lawas D’Lloyd, Hidup di Bui.

Hidup di bumi bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Tidur di ubin fikiran bingung
Apa daya badan ku terkurung

Terompet pagi kita harus bangun
Makan di antai nasinya jagung
Tidur di ubin fikiran bingung
Apa daya badan ku terkurung

( korus )
Oh kawan, dengar lagu ini
Hidup di bumi menyiksa diri
Jangan sampai kau mengalami
Badan hidup terasa mati

Apalagi penjara jaman perang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Kerana kerja secara paksa
Tua muda turun ke sawah

Penjara, sebagian memang cerita yang seram. Dalam novel, cerita pendek, juga lagu, penjara adalah “rumah” yang harus dihindari. Vokalis Band D’Lloyd, Sjamsudin, di tahun 1970-an merekam lagu Hidup di Bui itu, dan meledak di pasaran sebelum lagu itu dilarang oleh pemerintah Orde Baru.

Orde ini merusak segalanya. Pada masa itu, kalau pencuri kambing yang dihukum setahun, mungkin benar tidurnya di ubin. Tetapi kalau konglomerat, katakanlah misalnya Bob Hasan, tentu saja tidak tidur di ubin. Ada tempat tidur, ada kasur, ada meja, ada kamar mandi, ada ruangan bercat baru, ada makanan cemilan, ada ini dan ada itu.

Lalu, bagaimana kalau yang dihukum itu Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto? Majalah Tempo edisi Mei 2002, menulis laporan lengkap seperti ini …

Nasi jagung barangkali menu yang sudah tak ada dalam catatan petugas blok untuk jatah makan Tommy — sang Pangeran Cendana putra Soeharto. Bahkan petugas sipir penjara tak perlu menjatahkan apa-apa untuk seorang Tommy. Tommy sudah ada yang mengurus, yang membuat ia menikmati penjara seperti halnya ia menikmati dunianya di luar penjara.

Begitu Tommy masuk di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, segera Dewi Keadilan menitikkan air matanya. Tak ada keadilan yang berpihak pada napi di luar Tommy, sebutlah itu mantan menteri seperti Rahardi Ramelan yang dititipkan di sana sebagai tahanan dan bukan (atau belum) napi.

Rahardi masih suka bercelana pendek dan berkaus oblong tipis, saking panasnya udara Jakarta ini, apalagi di dalam penjara yang tertutup rapat. Rahardi pun masih terlihat pasrah mengecat dinding-dinding penjara, entah untuk mencari kesibukan atau agar “rumah sementaranya” lebih layak untuk dihuni.

Tetapi Tommy? Bak seorang pangeran, kehidupannya sehari-hari di luar penjara tak bisa ia ganti begitu saja. Penjaralah yang ia ganti.

Ia mendapat blok khusus, yang cuma berisi tiga ruangan. Itu pun kini kosong, karena atas nama ketakutan akan cerita seram penjara, ruang yang tidak ditempati Tommy itu tidak boleh diisi tahanan yang lain. Sungguh ironis di tengah-tengah kapasitas penjara yang sudah melebihi daya tampung. Ada manusia yang hidup berdesak-desakan didera panasnya udara, ada manusia yang hidup sendirian dalam udara yang segar menyejukkan, plus serangkaian bunga tulip. Padahal status manusia itu sama saja: terdakwa.

Kenikmatan seperti itu juga belum cukup buat seorang Tommy. Fungsi penjara atau nama yang kini dipermanis menjadi lembaga pemasyarakatan sebagai tempat orang dihukum, tempat orang harus merenungi kesalahannya agar tidak diulangi di kemudian hari, dan juga tempat orang untuk bertobat — kalau mau — juga sudah terjungkir balik.

Tommy tak melakukan hal-hal yang diniatkan sebagaimana fungsi penjara yang sebenarnya. Karena ia masih bebas menjalankan aktivitas rutinnya sebagaimana ia ketika berada di luar penjara. Misalnya, menjalankan bisnis perusahaannya yang begitu banyak.

Sekretarisnya setiap hari datang. Selain membawa makanan, kembang, pakaian, sang sekretaris membawa laporan perkembangan usahanya. Tommy masih menentukan ke mana arah perusahaan dari balik jeruji penjara.

Lalu, apa artinya sederet peraturan yang dikeluarkan oleh pengelola penjara? Apa artinya jam besuk, ruang besuk, pembatasan besuk? Bahkan bagi Tommy dan orang-orangnya, dengan sikap yang sangat enteng barangkali akan bertanya, apa sih artinya penjara ini?

Kerajaan Tommy di Cipinang sebenarnya sebuah cerita yang sudah merebak tujuh tahun lalun lalu. Kisah-kisah seperti ini, meskipun dicoba ditutup-tutupi, dengan mudah menyebar ke mana-mana, karena di penjara tidak ada yang rahasia.

Henri Charriere dalam novel Papillon memberi renungan lewat tokoh Papillon, sang napi itu, “Di penjara, bahkan dinding-dinding pun bermata dan bertelinga.”

Dari dinding penjara yang bermata dan bertelinga itu pulalah hari ini kita mendengar cerita yang sama. Kisah tentang si ratu lobi Artalyta Suryani yang bisa hidup seperti ketika masih di luar penjara walaupun tengah menjalani hukuman 5 tahun penjara setelah terbukti menyuap jaksa Uri Tri Gunawan.

Ada kantor pribadi, tempat dia memimpin rapat perusahaan dan menerima tamu sampai tengah malam. Ia mempunyai kamar sendiri lengkap dengan penyejuk udara. Ia memelihara pembantu di sana. Bahkan, mungkin agar tetap sehat, Ayin mandi dengan air minum dalam galon.

Dan Ayin bukan satu-satunya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tahanan kasus korupsi memperoleh layanan khusus. Bila ingin mandi, mereka tinggal memutar shower. Mau nonton sinetron atau berita pagi, mereka dipersilakan menyalakan televisi di kamar masing-masing.

Jika para pesakitan itu mau meneruskan kuliah di perguruan tinggi, ini bisa diatur. Bahkan jika kebelet mengubah status di Facebook atau Twitter pun mereka boleh membuka laptop dan nyalakan koneksi Internet. Ada inspeksi mendadak? Jangan takut, ada sipir–tentu sudah diberi uang semir–yang akan memberikan aba-aba lewat handie talkie.

Koruptor dan makelar kasus tentu tak disatukan dengan penjahat lain. Ketika rumah tahanan di Indonesia yang berkapasitas 90 ribu dijejali 132 ribu orang, koruptor dan makelar kasus diperlakukan istimewa.

Pencuri, perampok, penipu, pembunuh, pemerkosa, pemakai narkoba, kurir, pengedar, dan bandar narkoba, serta penjudi dan bandar judi dipersilakan berdesak-desakan. Para koruptor dan makelar kasus mendapat penjara yang bukan “neraka” sesak yang apak.

Rumah tahanan bagi mereka bukan lagi tempat yang makanan dan minumannya terbatas, atau yang tempat mandi dan buang airnya kotor. Yang seseram itu sudah tak berlaku bagi terhukum yang, seperti Ayin, tetap meneruskan pekerjaannya mengatur kasus ini dan itu dengan telepon seluler di tangan.

Saya jadi cemas, bila kuasa uang milik koruptor, makelar kasus, dan terpidana berduit bisa membeli kebebasan di balik jeruji besi, mungkin rasa keadilan sudah mati sampai di sini.

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Apakah sampean pernah melihat kehidupan di dalam penjara?

Tagged: , , , , ,

§ 93 Responses to Artalyta Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Artalyta Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: