Pejabat Pecas Ndahe

Mei 5, 2011 § 62 Komentar

Tiba-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bicara soal Facebook dan Twitter ketika berpidato di depan para pengusaha Amerika Serikat.

Ia juga bicara tentang anak-anak muda yang memadati ranah Internet dan tingginya popularitas media sosial di Indonesia. Adakah kebanggaan? Adakah kecemasan? Bagaimana reaksi para pejabat di bawahnya mendengar pidato itu?

Kita tahu bagaimana media sosial meroket di panggung dunia maya. Orang berduyun-duyun memakainya sebagai salah satu “obat ajaib” yang mampu merobohkan sekat-sekat informasi.

Tapi kita juga melihat kegamangan. Terutama di kalangan para pejabat publik, pelayan masyarakat, yang ngumpet di sudut-sudut birokrasi yang ruwet.

Saya jadi teringat kisah tentang seorang birokrat yang kikuk menghadapi perubahan zaman. Ia alergi pada popularitas. Sebab, bagi dia, kemasyhuran adalah jalan menuju kejatuhan. Menjadi terkenal itu bisa jadi sasaran tembak.

Repotnya, untuk populer itu sangat gampang. Dan cepat. Cukup lewat menit pun bisa. Ia bukan tumbuh lantaran berita di koran saja, tapi juga lewat pergaulan luas dengan masyarakat. Dan sekarang ia melalui media sosial.

Sang birokrat lalu membatasi diri. Ia berhati-hati bersikap dalam kesempatan bertemu dengan orang banyak. Ia tidak mau nampak terlalu hangat, teramat mendekat, bergurau, berbantah ataupun menunjukkan rasa intim yang lain. Ia bisa pura-pura tidak begitu kenal dengan orang yang sebenarnya sudah dikenalnya. Ia membangun sebuah citra diri yang anggun, seseorang yang penuh kebajikan.

Tapi pada suatu hari, tanda-tanda krisis mulai terasa di bawah kursinya. Urusan yang harus dilakukan demikian banyak, sementara sumber daya tak melimpah ruah. Ia tahu bahwa orang-orang yang menjadi anak-buahnya terbatas jumlah, gaji dan pengalamannya.

Ia membutuhkan elemen lain dalam melaksanakan tugas jabatannya: elemen dari luar birokrasinya. Ia membutuhkan “partisipasi masyarakat”. Ia tahu bahwa apa yang didengarnya dari Bapak Presiden benar: pentingnya masyarakat melu handarbeni, “ikut memiliki”. Tapi ia kini merasa seperti dalam langkah yang mati.

Ia menjadi susah tidur — terutama juga karena takut kalau dicopot. Proyek-proyek memang mulai berantakan. Ia berpikir bahwa ia bisa saja mengadakan mobilisasi penduduk, dengan sedikit paksaan di sana-sini, untuk mensukseskan program pembangunannya.

Tapi untuk itu pun ia tak begitu berani. Jangan-jangan ia bakal dituduh menjadi “oknum”. Ia tahu bahwa atasannya pasti tidak suka jika ada kerusuhan, protes atau malah korban di daerahnya. Atasannya tidak mau ada ribut-ribut

Dan ia jadi berkeringat, resah. Sebagai apa dia ini sekarang? Birokrat? Atau pemimpin? Kepada siapa ia harus menyandarkan dirinya? Kepada atasan?

Ah, atasan tidak selalu tahu keadaannya yang sebenarnya. Ia tak pernah berhubungan dalam garis “solidaritas” dengan dia. Ia takut.

Untuk bersandar kepada masyarakat pun dia khawatir. Jangan-jangan publik tak mengenalnya. Atau lebih tepat: dia cemas tidak akan dipercaya. Selama ini dia tidak pernah bersentuhan dengan mereka, lewat hati.

Dan sekarang ia mendengar tentang media sosial dan mantra ajaib yang dikandungnya. Aha! Inikah jawaban atas persoalannya?

Buru-buru ia pergi ke apotik dan memesan satu botol besar berisi obat mujarab itu. Dibacanya sekilas aturan pakai dalam label botol: “diminum tiap hari, sesering mungkin. Indikasi: Berbahaya bagi mereka yang mengidap sakit jantung dan tekanan darah tinggi.”

Dahinya berkerut. “Ah, repot amat ya?” ia membatin.

Ia pulang dan membuang obat itu di tong sampah.

>> Selamat hari Kamis, Ki Sanak. Apakah sampean sudah minum obat hari ini?

Tagged: , , , ,

§ 62 Responses to Pejabat Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Pejabat Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: