Angels Pecas Ndahe
Oktober 11, 2008 § 37 Komentar
Baiklah kekasih, aku akan bercerita tentang seorang pengarung malam-malam yang sunyi di kota di mana para bidadari jatuh. Tapi ini bukan dongeng tentang Venesia yang ditulis John Berendt dalam City of Falling Angels. Ini kisah tentang lelaki yang digigit sepi setelah rembulan dipinang malam.
Orang-orang menuturkan dongeng tentang lelaki itu setiap kali musim panas yang lengas tiba. Mereka membicarakannya sambil menatap pucuk-pucuk cemara di lereng bukit gersang.
Seseorang mengisahkan, setelah sayap-sayap cinta dan kebahagiaannya yang terakhir lenyap dari laci hatinya, lelaki itu berkelana ke delapan penjuru angin. Ia menggelandang bersama bintang-bintang setelah matahari tergelincir di barat. Langkahnya berat — seperti senapati kalah perang. Parasnya lesi. Matanya udara kering musim gugur.
Seorang pengelana yang bertemu dengannya bertanya, “Mengapa kau menggelandang, Tuan? Apa yang kaucari?” « Read the rest of this entry »
Aesthetica Pecas Ndahe
Oktober 9, 2008 § 38 Komentar
Perempuan itu datang dari pinggir galaksi yang kelam pada awal musim gugur yang biru dan membeku. Dia melayang, menggelandang bersama bintang-bintang di ruang kekal tanpa sinar, tanpa jalur, dan bumi yang dingin, bergoyang: buta.
Sosoknya adalah bangunan yang sempurna, pahatan patung Yunani yang mulus tanpa cacat. Sepasang matanya perpaduan terang cahaya matahari dan keteduhan sanubari — membuat diriku tenggelam ke dasar palung yang membahayakan: antara cinta dan hasrat memiliki.
Ia datang pagi, dan pergi tanpa membawa siang. Aku terkesima melihat sayapnya yang lisut, geraknya yang gemulai, perlahan, menari di antara gelap debu-debu purba yang muntah dari kepundan Tambora.
Siapakah dia? Bidadari yang tak pernah menangis? Peri dari negeri kabut?
Entah. Tapi setiap kali terkenang padanya, ingatanku melayang pada bait-bait liris lagu Sinatra yang dilantunkan Sting lagi dengan suara serak … « Read the rest of this entry »
Kenangan Pecas Ndahe
September 24, 2008 § 45 Komentar
Bagaimana cara merawat selembar kenangan? Bisakah kita simpan dalam sebuah album?
Perempuan hutan cemara itu memilih cara lain. Ia menyobek secarik kertas, mengambil pena Boxy 0.5 mm warna hitam, lalu menulis, tentang sebuah kenangan.
Malam gelap panjang dikelimun lengas. Rembulan nyaris tergelincir ke ujung cakrawala. Perempuan hutan cemara itu menatap jendela sebelum mulai mencoretkan huruf pertama. Lalu ditatanya setiap kata, satu demi satu …
Where were u in 1992?
Aku temuin candle ini tadi malem. Aku beli di pasar seni itb 7 tahun y.l. gak terlalu keren sih — tapi aku suka sekali karena aku bayangin betapa sulitnya seekor kura-kura kalo udah telengkup kayak gitu — gak akan bisa ‘mbalik lagi. Aku juga demen ama ekspresinya (walopun gak terlalu keliatan sih) yang pasrah bener …
anyway, ini cuma candle yang gak kepake kalo gak mati lampu. But, aku sayang ama candle ini dan kebetulan cuma barang ini yg kubeli ketika pasar seni itu berlangsung — sedih!
Tapi kalo aku pikir-pikir, 7 tahun yang lalu itu I had met you, Mas — dan itu hanya krn simple reason kita gak sukses bertemu — yaitu gak jodoh aja …
Betapa malem ini pengen rasanya di rewind lagi kalo ini cuman sbh kaset peristiwa 7 thn yang dulu itu. heeiii … aku berlebihan ya? Sorry for that.
Tapi jangan dibuang ya. Karena biarpun jelek & kotor, candle ini adalah saksi bahwa aku gak ke mana-mana sebetulnya di 7 thn yang lalu …
Laila Pecas Ndahe
September 16, 2008 § 47 Komentar
Haruskah kujual kenangan hanya untuk melihatmu tersenyum, Laila?
***
Tadi malam aku melihat purnama di atas Jakarta. Di atas, di timur, di tepi langit yang bersih. Di sampingnya, aku seperti melihatmu tersenyum, menjabal pandangku.
Purnama semalam memang bukan yang sempurna. Tapi, apa bedanya selama ada kamu di sana. Ya kamu: perempuan malam seribu rembulan paras cahaya bintang bidadari seribu janji khayali.
Aku mengenalnya pada pertengahan musim panas, tujuh purnama yang lalu. Angin tengah mendaras harap dan air memanjat doa ketika kita berjumpa.
Kau ulurkan tangan, lalu menyebut nama pelan. “Laila,” begitu kau memperkenalkan diri. Singkat. Padat. Jelas.
Matamu tajam menatap seperti hendak bicara, “Di sini, detik ini, hanya ada kau dan aku.” Tapi, tetap terasa kordial.
Aku terhenyak dalam pukaumu. Sinar terang manik-manik matamu mengingatkanku pada bait-bait liris Qays ibn al-Mulawwah yang syahdu itu: « Read the rest of this entry »
Kemangi Pecas Ndahe
September 12, 2008 § 70 Komentar
Perempuan itu wangi daun-daun kemangi. Khas. Kuat, tapi lembut. Aku bertemu dengannya pada sebuah siang yang redup di tepi kebun tebu.
Langkahnya ringan, melayang, nyaris tanpa suara, seperti kijang di rimbun pepohonan hutan. Geraknya menawan, mirip penari-penari bedoyo kasultanan.
Matahari tunduk di bawah hitam rambutnya. Rembulan lesi disiram bening matanya. Perempuan itu wangi daun-daun kemangi.
Kami berserobok jalan di sela tebu-tebu yang tinggi menguning. Kupu-kupu berlarian, burung berkicauan, dan ranting-ranting bertautan ketika dia mendesah pelan, “Maaf, numpang lewat.”
“Silakan. Puan, hendak ke mana?” tanyaku sopan.
“Ke titik nol,” jawabnya singkat.
Aku terpana memandang parasnya yang putih dan sedingin puncak Himalaya. Apakah api itu sudah pergi? Ke manakah gerangan hasrat dan gelora?
Perempuan itu tak menoleh. Langkahnya lurus menuju belukar. Kian lama, kian samar. Hanya wangi daun-daun kemangi yang masih tertinggal di ujung hidung. Meremas angan, mengeremus kenangan. Kuat, tapi lembut, mesra.
>> Selamat hari Jumat, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean mau mengudap lalapan daun kemangi untuk buka puasa nanti?