Aesthetica Pecas Ndahe

Oktober 9, 2008 § 38 Komentar

aestheticaPerempuan itu datang dari pinggir galaksi yang kelam pada awal musim gugur yang biru dan membeku. Dia melayang, menggelandang bersama bintang-bintang di ruang kekal tanpa sinar, tanpa jalur, dan bumi yang dingin, bergoyang: buta.

Sosoknya adalah bangunan yang sempurna, pahatan patung Yunani yang mulus tanpa cacat. Sepasang matanya perpaduan terang cahaya matahari dan keteduhan sanubari — membuat diriku tenggelam ke dasar palung yang membahayakan: antara cinta dan hasrat memiliki.

Ia datang pagi, dan pergi tanpa membawa siang. Aku terkesima melihat sayapnya yang lisut, geraknya yang gemulai, perlahan, menari di antara gelap debu-debu purba yang muntah dari kepundan Tambora.

Siapakah dia? Bidadari yang tak pernah menangis? Peri dari negeri kabut?

Entah. Tapi setiap kali terkenang padanya, ingatanku melayang pada bait-bait liris lagu Sinatra yang dilantunkan Sting lagi dengan suara serak …

In the wee small hours of the morning
While the whole wide world is fast asleep
You lie awake and think about the girl
And never ever think of counting sheep

When your lonely heart has learned its lesson
Youd be hers if only she would call
In the wee small hours of the morning
Thats the time you miss her most of all ….

Dia mungkin memang semacam dinihari, malam yang tak lagi bisa disebut malam, dan pagi yang belum kunjung datang. Ia bukan sesuatu yang kurang, melainkan segala tentang kelebihan. Bukankah gelap adalah sesuatu yang bersama kita sebelum dan sesudah cahaya?

Seseorang pernah bercerita. Perempuan itu lahir pada musim salju yang membekukan tulang di tengah tundra negeri maya. Senja memerah kesumba, awan musnah, ketika tangisnya yang pertama terdengar.

Kami hanya pernah bertemu satu kali — sejenak saja. Gerimis jatuh ketika tangan kami saling berjabatan. “Aesthetica,” katanya lirih menyebut nama yang elok.

Lalu dia terbang entah ke mana dengan sayapnya yang rapuh dan retak di sana-sini. Sejak itu, aku tak pernah berjumpa lagi dengannya. Bahkan dalam mimpi pun tidak.

Perempuan itu mungkin sebuah misteri. Barangkali pula semacam intermezzo di dunia yang terus bergegas. Ia berkelebat lekas seperti lintang kemukus di utara. Sporadis bagaikan kemilau cahaya bintang.

Dan, kami saling merindukan. Hanya tak terkatakan.

Sayang, seperti halnya lelaki pada usia matang lainnya, aku tak bisa bergerak lebih dari membangun dunia untuk berdua saja. Tak cukup siap melepas yang ada untuk menyambut ajakan fatamorgana. Tak sanggup memberikan diri sepenuhnya.

Kisah kami adalah tema kompleks yang usang dan klise. Tapi, tetap merobek hati siapa pun yang mendengarnya hingga berkeping-keping. Ini dongeng tentang seekor pungguk merindukan bulan yang telah dipinang malam.

Akhirnya, di tubir rindu yang tak terelakkan itu, aku terpaksa berhenti dan hanya bisa menanti dengan cemas hingga meranggas bersama tahun-tahun tanpa musim panas …

>> Selamat hari Kamis, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean sudah merasakan sengatan sinar matahari yang membuat pohon-pohon meranggas?

Tagged: , , , , , , ,

§ 38 Responses to Aesthetica Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Aesthetica Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: