Salemba Pecas Ndahe
April 21, 2008 § 35 Komentar
Pada suatu hari di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat. Suasana hening menyelimuti sebuah ruangan. Aktivis pers kampus berkumpul memandangi sepucuk surat dari Departemen Penerangan.
Salemba, koran mahasiswa tengah bulanan itu tampaknya sudah lama membuat risi Departemen Penerangan. Berita dan karikaturnya sering dianggap kelewat pedas.
Sudah dua kali pula Deppen memberi peringatan resmi kepada Surat Kabar Kampus (SKK) Salemba, Universitas Indonesia. Peringatan lisan pun sudah pernah disampaikan lewat Prof. Mahar Mardjono, Rektor UI waktu itu.
Akhirnya vonis jatuh juga. Sejak 6 Mei 1980, Salemba dilarang terbit — Surat Tanda Terdaftarnya dicabut.
Pengasuhnya maupun Prof. Mahar kaget. Sebab menurut Prof. Mahar, ia sudah meminta kepada Sukarno SH, Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan G!afika, agar jangan dulu menindak Salemba.
“Saya sedang melakukan penataan ke dalam, dan ini butuh waktu,” kata Prof. Mahar mengulang ucapannya pada Sukarno.
Tapi Deppen rupanya sudah tak sabar. Menurut S.K. Menteri Penerangan ditandatangani Sukarno. Salemba dinilai telah melampaui beberapa ketentuan perundang-undangan bagi penerbitan khusus. Ia dianggap cenderung menjadi koran umum, karena ternyata dijual di pasaran bebas.
Isinya pun dinilai menyerupai koran umum — sifatnya cenderung ke arah kegiatan politik praktis Kendati sudah diperingatkan, sebut keputusan tersebut. Salemba tetap belum mengubah kebijaksanaan pemberitaannya.
Pendeknya pembahasan dan pemberitaan Salemba dianggap sudah tidak ilmiah lagi. “Sudah mengarah kepada pembahasan politis,” kata Sunarto Sindupranoto, Direktur Bina Pers, Deppen. “Padahal forum kemahasiswaan itu kan maksudnya forum ilmiah. ”
Bahkan Sunarto menuduh SKK itu telah melakukan pembahasan yang menjurus kepada permainan kekuasaan. Mengkritik dan mencela pemerintah, dengan menyudutkan pejabat tertentu. Hal demikian, menurut Sunarto, tidak patut dilakukan. “Bukan di Salemba tempatnya, tapi di pers umumlah tempatnya, ” katanya.
Benarkah Salemba berpolitik praktis? “Apanya sih yang politik Fraktis, saya kok tidak melihat ada politik praktisnya,” kata Prof. Mahar. “Tidak jelas bagi saya tulisan manakah yang bersifat politik praktis,” tambah Wikrama I. Abidin, Pemimpin Redaksinya.
Kenapa dijual di pasaran bebas? “Untuk mengongkosi biaya produksi,” jawab Prof. Mahar yang juga jadi pelindung koran itu. “Bisa saja tidak dijual kalau pemerintah mau mensubsidi seluruh biaya produksi.”
Salemba, menurut Antony Zeidra Abidin, Pemimpin Umumnya, memperoleh subsidi (dari anggaran UI) hanya untuk penerbitan 5.000 lembar. Setelah Knop (Kebijakan Nopember), besarnya sekitar Rp 300 ribu, sebelumnya hanya Rp 265 ribu. Padahal SKK tengah bulanan tersebut setiap terbit dicetak 18 ribu. Yang terjual di kampus UI diperkirakan sekitar 7.000 lembar. Biaya produksinya sekitar Rp 800 ribu.
Untuk menutupi kekurangan subsidi itulah koran tadi dijual dengan harga eceran Rp 125/eks. Pun iklan yang masuk dengan tarif rendah (Rp 300/mm kolom) dan komisi tinggi (sampai 30 persen), semata-mata dilakukan untuk menutup ongkos produksi. “Jadi tidak benar kami komersial. Karena sesungguhnya kanli tidak cari untung,” lanjut Antony.
Tapi bagi Sunarto, penjualan untuk umum tadi kurang logis. Karena diangapnya bisa mengganggu kepentingan bisnis koran umum. “Lha kalau disubsidinya dalam jumlah tertentu, sebaiknya juga dicetak dalam jumlah tertentu pula. Jangan berlebihan,” ujar Sunarto.
Dengan alasan dianggap komersial juga, Laksusda Kodam V Jaya 3 tahun lalu pernah menindaknya. Sekitar 700 edisi Salemba yang beredar di Lapangan Banteng Jakarta, disita petugas Laksusda Jaya.
Akan semakin sehatkah kampus tanpa koran? Antony Zeidra Abidin dan Prof. Mahar mengkhawatirkan kemungkinan makin gampang tersebarnya kabar tidak benar di dalam kampus. “Saya takut anak-anak (mahasiswa) membuat koran gelap. Saya tidak akan bisa mengontrol dan mempertanggungjawabkannya,” ungkap Prof. Mahar.
Hampir 28 tahun kemudian, Antony Zeidra Abidin — mantan pemimpin umum koran Salemba itu — menjadi anggota DPR, lalu menjadi Wakil Gubernur Jambi.
Pekan lalu, Antony ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, karena diduga menerima uang suap dari Bank Indonesia.
Ahad kemarin, ada berita Antony dirawat di Rumah Sakit Harapan Kita karena menderita sakit jantung.
Sejarah ternyata menyimpan kejutannya sendiri. Siapa yang pernah menyangka, seorang mahasiswa idealis dari sebuah universitas ternama, aktivis pers yang kondang, di kemudian hari ternyata menjadi tahanan dengan tuduhan menerima sogokan. Ah, Antony …
[Cerita di atas saya peroleh dari lembaran arsip lama pabrik saya]
Paling penting toh DepPen bubar.
Idealisme melawan kebutuhan (gaya) hidup memang jarang menang.
Kejadian seperti ini tampaknya akan selalu terulang, ingat saja cerita aktivis angkatan 66 yg masuk parlemen seperti yang dicatat Soe Hoek Gie dalam catatan hariannya. teman saya bilang, aktivis juga manusia … aah
Ah, idealisme itu mengenal harta, jabatan dan pangkat pula ya ndoro …
Kayaknya korupsi cuma masalah kesempatan Ndoro.
Pas kuliah/sekolah baru bisa nyontek pas ujian.
Pas di jalan baru bisa nyerobot lampu lintas.
Pas ada adzan baru bisa menunda2 sholat.
Pas ada proyek baru bisa korupsi.
Emang ujian berupa pangkat & jabatan itu lebih berat dari pada ujian berupa musibah.
Jadi ingat kata teman saya dulu, “Masanya kuliah itu masanya idealis. Keluar dari kampus ya realistis.”
Semoga ndoro dan kita semua tetep bisa istiqomah.meskipun nanti, ndoro mungkin jadi pemimpin umum koran. 😆
Idealisme muncul saat melihat dunia, namun akan tenggelam saat merasakan dunia, Ndoro.
lha ya prof. wignyowiyoto (mudah2an ga salah tulisannya) pernah bilang: “mahasiswa itu idealis, begitu lulus/kerja realistis, begitu punya duit banyak jadi kapitalis.” Tergantung habitatnya 😀
Lha Ndoro kapan ada kesempatan?
ndoro aja jadi presiden…
dan penggal semua koruptor dan kroninya….
gimana? 🙂
ooooooowwwwww….mengejutkan sekali!!!
maka saya tetap bangga dengan koran saya yang dianaktirikan kampus. taruhannya memang panggilan polisi dan bakortanasda, tapi puas [mencaci maki] hahaha
lagi dong, Ndoro…kisah2 ginian. :p
Lah hai gini kok masih ada bredel-bredelan ya ?
Idealisme tampaknya ada umurnya Ndoro!
Dan yang pasti, dalam diri si Anthony ini, umurnya sedikit lebih pendek ketimbang umurnya dia sendiri.
Hmmm.. barangkali
Kalau kata orang kulon kali sana itu, “Power tends to corrupt,” Ndoro…
Ya…memang nasib gak bisa ditebak, kursi kekuasaan emang menggiurkan, ndoro..
ini ga politis lho . . . . 😛
Selamat hari Kartini cak . . . .
majulah wanita Indonesia, yang sampeyan kagumi ituhhh!
@ebeSS: lah kartini yo politis juga, bes.
kok saya udah ndak heran lagi ya ndoro… 😐
salah satu contoh dari sekian kejadian ya ndoro …
surat dari seorang teman GIE “Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”
btw, syukurlah saya dan temen2 hidup di masa sekarang. Bisa nerbitin majalah, titip jual ke toko2 buku, lumayan buat ngongkosi terbit 3-6 bulan sekali…,
walo isinya sering ngritik Pendidikan Indonesia.. 😀
Soe Hok Gie pernah menulis, bahwa para mahasiswa idealis tak pernah bertahan begitu masuk ke dalam kekuasaan.Mereka akan tergilas dan terbawa arus. Hal mana ia dijauhkan dari teman temannya sendiri karena ia mengirim bedak kepada teman temannya yang duduk di kursi DPR..agar terlihat cantik didepan penguasa.
Apa sih yang membuat mahasiswa mahasiswa macam dia gemar ber-politik praktis dan jadi aktivis?
Kalo saya boleh menjawab, keliatannya cuma nama besar yang pengen diperoleh.
Mungkin pikirannya, “Catet nama besarku di kampus ini.”
Hmm, mahasiswa..selalu saja kata maha yang di damba-damba.
lho….jalur karir memang bukan begitu to?
Ada juga loh, penulis buku antikorupsi yang sempat disebut-sebut berkaitan dengan kasus korupsi juga walaupun kasusnya hilang ditelan bumi. Ybs pernah maju dalam bursa ketum KNPI 2006 lalu.
Ndoro dengar nggak?
Seperti jargon ndoro “hidup yang semakin tua dan penuh kejutan”, Antony tua mungkin sudah lupa dimana menaruh idealisme semasa kuliah dulu.
Kejutannya, selembar uang lebih berharga ketimbang idealisme.
antony tua saat ini sedang menjalani hukuman 5 tahun di Lapas Cipinang. Sobatnya Hamka Yandhu hanya dihukum 3 tahun. Di persidangan Hamka mengaku menerima Rpm 24 m, yang dibagi-bagikannya ke seluruh anggota Komisi IX DPR-RI (1999-2004). Berdasarkan fakta persidangan, Antony memiliki alibi dan fakta otentik – antara lain sedang di luar negeri pada saat Rusli Simandjuntak menyerahkan uang kepada Hamka Yandhu di Hotel Hilton 23 Juli 2003 – yang diketahuinya aliran dana BI yang diserahkan ke DPR oleh Hamka Yandhu hanyalah Rp 15,5 M. Akan tetapi fakta-fakta persidangan itu seakan diabaikan, karena Hamka dijadikan “saksi mahkota” untuk kasus aliran dana BI, diantaranya menurut Rusli Simandjuntak – pejabat BI – mengalir ke DPR Rp 31,5 (ada selisih yang besar dibanding pengakuan Hamka dan Antony). Ironisnya, total aliran dana BI itu Rp 100 M, sebesar Rp 68,5 M untuk para pejabat BI yang terjerat kasus hukum; a.l. Sudradjat Djiwandono menerima Rp 25 M. Anehnya para pejebat BI dihukum jauh lebih rendah dibanding Antony tua (Burhanudin 3 tahun, Rusli 3,5 tahun). Bahkan Anwar Nasution yang saat itu menjabat Deputi Senior Gubernur BI tidak diadili sama sekali, pada hal berdasarkan fakta persidangan dia juga terlibat. Nah, sudah nasibmu Antony tua, yang dijadikan kambing hitam oleh para “penyamun” itu.
hehehe,…
menjaga memang jauh lebih sulit 🙂
padahal hampir semua penghuni cipinang untuk kasus suap dan korupsi adalah mantan mahasiswa….
ah, abang ijo ituh… saya paling muak melihatnya…
–korban abang ijonya kampus–
Sepertinya kisah lunturnya idealisme dari mahasiswa ke dunia nyata tidak hanya terjadi pada mereka. Anggota dewan bukankah kebanyakan dari aktifis mahasiswa juga ?
untunge aku termasuk pasifis (eks) mahasiswa
huehehehe… tercekat saya membacanya. bukan hal baru, tapi tetap terasa menampar, ndoro. soalnya, saya juga pernah bergumul di dunia persma juga.. 🙂
begitulah ndoro… orang yang dulunya ‘bersih’ jika masuk ke senayan biasanya akan menjadi ‘kotor’
Kalo menurut saya, si Antony kan belum tentu bersalah, kok sudah divonis bersalah oleh publik ya?
Mana asas presumption of innocent, yang notabene mengatakan seseorang dianggap bersalah apabila telah ada putusan (hakim) berkekuatan hukum tetap.
KPK merupakan alat politik yang ampuh ya..
Bangun karir dari nol, balik lagi ke nol..
Adi
(mencoba untuk objektif)
[…] KPK baru menetapkan tiga tersangka dari kalangan Bank Sentral dan dua dari DPR, yakni Antony Zeidra Abidin dan Hamka […]
Kalo bukan dan AZA dan HY, jadi siapa? saya yakin mereka cuma korban dari petinggi BI dan elit politik yang lebih berkuasa.
Selasa, 23/09/2008 16:58 WIB
Kesaksian Aulia Pohan Meringankan Terdakwa AZA dan HY
Rachmadin Ismail – detikNews
Jakarta – Mantan deputi gubernur senior Bank Indonesia, Aulia Pohan dihadirkan sebagai saksi dalam kasus aliran dana BI ke DPR dengan terdakwa Antony Zeidra Abidin (AZA) dan Hamka Yandhu (HY). Penasehat hukum Antony menilai, kesaksian besan SBY tersebut cukup meringankan kliennya.
“Saksi (Aulia Pohan) yang dihadirkan cukup meringankan, tidak dijelaskan peran langsung kedua terdakwa dalam amandemen UU BI tersebut,” ujar pengacara Antony Zeidra, Maqdir Ismail usai persidangan di pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (23/9/2008).
Maqdir juga mengatakan, Aulia tidak mengemukakan adanya permintaan uang dari kliennya untuk diseminasi BLBI dan percepatan amandemen UU BI.”Itu tidak dijelaskan di persidangan,” kata Maqdir.
Selain itu, lanjut Maqdir, saksi mengaku tidak ada keuntungan yang diperoleh Bank Indonesia dari amandemen UU BI tersebut. Artinya, meskipun ada pemberian uang ke DPR,
tetap tidak mempengaruhi keputusan anggota Komisi IX DPR RI tentang isi keputusan amandemen UU BI.
“Begitu banyak BI minta, tapi tidak ada satu pun yang diberikan sebagai kompensasi dari teman-teman DPR, terutama terdakwa I dan II,” tambahnya.
Dalam persidangan tersebut, Maqdir menunjukkan bukti adanya permintaan mantan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution kepada Antony Zeidra untuk menghapus dua pasal dalam amandemen UU BI tersebut. Namun, DPR tidak menggubrisnya dan tetap mempertahankan pasal tentang pengawasan BPK terhadap keuangan Bank Indonesia itu.
“Ada permintaan dari pak Anwar untuk menghapus pasal 34 dan 35 tapi toh tidak dilakukan,” tandasnya.(mad/anw)