Kehilangan Pecas Ndahe

Mei 20, 2008 § 26 Komentar

Tepat di Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei, kita kehilangan dua tokoh besar yang amat besar perannya dalam sejarah, Ali Sadikin dan SK Trimurti.

Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, atau biasa dipanggil Bang Ali, meninggal di Rumah Sakit Gleneagles, Singapura, pukul 17.30 waktu setempat, setelah dirawat selama sebulan. Bang Ali lahir di Kampung Cangkudu, Sumedang, Jawa Barat, 7 Juli 1926.

Soerastri Karma Trimurti, lahir 11 Mei 1912, atau lebih dikenal dengan SK Trimurti tutup usia di Rumah Sakit Gatot Subroto. Sebelumnya, ia sempat dirawat di Metropolitan Medical Center, Jakarta, karena menderita infeksi paru-paru.

Kita mengenal SK Trimurti sebagai wartawati, penulis, pengajar, dan istri dari Sayuti Melik. Hingga saat-saat terakhirnya, SK Trimurti tinggal di Taman Galaxy, Kalimalang, Bekasi. Di tempat ini ia melewatkan masa tuanya hanya ditemani pembantunya, Sainah, dan Echa, kucing kesayangannya.

Paklik Isnogud hanya bisa duduk termangu di depan televisi yang tengah menayangkan gemerlap perayaan Hari Kebangkitan Nasional ketika mendengar berita itu. Matanya menatap layar, tapi saya tahu pikiran dan hatinya tak sedetik pun menikmati pendar-pendar cahaya, lenggak-lenggok para penyanyi dan penari latar, gemuruh marching band yang beraksi di bawah siraman sinar bulan di tengah Istora Senayan, Jakarta.

“Hidup memang selalu menyimpan kejutannya sendiri, Mas,” Paklik bergumam. “Baru kemarin kita kehilangan Sophan Sophian, hari ini kita kembali menyaksikan orang besar berpulang … ”

Saya hanya bisa menunduk dan diam di sebelah Paklik.

“Saya ingat, bagaimana dulu Bung Karno begitu terkesan pada Bang Ali. ‘Ada, ada yang ditakuti dari Ali Sadikin itu. Apa? Ali Sadikin itu orang yang keras,’ begitu kata Bung Karno pada 28 April 1966

Sebelas tahun kemudian, orang yang disebut Bung Karno ‘keras’ itu masih tetap keras. Ia masih bisa berteriak ‘goblog’ kepada pembantunya yang berbuat salah — dengan kemarahan yang termasyhur itu. Dan ia masih seperti mendera dirinya sendiri dalan bekerja.

Saya ingat betul bagaimana Bang Ali mengisi hari-hari terakhir masa jabatannya (habis menjelang akhir Juni 1977 — lebih cepat dari dugaan semula). Ia melalui seolah-olah ia masih akan tetap ditugaskan di sana. Sampai di kantor jam 6.30 pagi. Kembali ke rumah jam 14.00 atau setengah tiga. Kemudian mulai jam 17.00 bekerja lagi di rumah termasuk menerima tamu — hingga jauh malam.

Ia juga masih memilih olahraga yang keras. Bukan sesuatu yang bisa dilakukan sambil jalan, melainkan latihan kesegaran jasmani di ruang khusus di Balai Kota tingkat 4. Latihan berlangsung sampai satu jam, antara lain dengan mengayuh ergo-cycle.

Hal ini dilakukannya dua kali seminggu, di samping berenang di kolam renang di rumahnya atau terkadang, di tempat lain. Sekali-sekali ia main sepakbola. Dua pekan yang lalu misalnya ia jadi kiper — posisi yang kurang cocok dengan semangatnya yang gelisah.

Orang yang gelisah itu tiada lagi, Mas. Sulit mencari gubernur yang setanding dengannya. Terus terang saya kehilangan sosoknya,” Paklik mendesah lirih.

Malam ini, langit Jakarta terang oleh cahaya rembulan yang nyaris purnama. Mungkin ini perlambang bahwa di tengah hidup yang semakin kelam, selalu ada sinar terang di kejauhan, meski dia toh tak abadi karena pasti akan digantikan oleh sinar matahari esok pagi.

Selamat jalan Bang Ali dan Ibu SK Trimurti …

§ 26 Responses to Kehilangan Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke dobelden Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kehilangan Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: