Oposisi Pecas Ndahe

Juli 16, 2008 § 45 Komentar

“Saya mau jadi oposisi. Saya ogah memimpin meski saya bisa memimpin jauh lebih baik,” begitu seseorang berkata kepada saya.

“Kenapa?” saya bertanya. “Cobalah sesekali menjadi pemimpin dan mengubah keadaan. Mungkin lebih baik. Daripada hanya jadi tukang teriak di luar garis, mending sekalian ikut main.”

“Nggak ah. Saya kan masih muda. Memimpin itu ntar kalau dah tuwir nanti, dan bisa bilang, ‘been there, done that’.”

Oh, ok. Tapi, apakah anak muda harus selalu berbeda? Harus mengambil tempat di seberang?

Mungkin benar kata orang bahwa selalu bersama-sama itu tak selamanya berarti baik. Kadang ketidakkompakan justru diperlukan. Kenapa?

“Di Jepang orang pun berbicara tentang harmoni dalam sebuah ide, atau ‘rumah’ kita. Tapi partai-partai politik seringkali terdengar sebagai sebuah rumah gila. Masing-masing gaduh oleh pertikaian antara habatsu,” kata Paklik Isnogud.

Paklik menjelaskan tentang perlunya berbeda pada saya, pada suatu malam yang lengas di rumahnya. Suara burung hantu sesekali terdengar di atas pohon.

Habatsu? Apa itu, Paklik?”

Habatsu itu kelompok-kelompok dalam partai, Mas. Di Jepang, ada sebuah masa ketika Partai Liberal-Demokrat berkuasa. Ia bukan saja terbentuk oleh dua partai. Masing-masing partai yang tergabung juga membawa kelompok yang bertentangan dalam dirinya.

Ada persaingan sengit antara orang-orang yang memasuki kehidupan politik dengan latarbelakang sebagai birokrat. Mereka menghadapi tojin, yang karir politiknya berasal dari lembaga perwakilan tingkat bawah sampai atas.

Ada pula orang-orang yang berkelompok di bawah satu bos karena sang oyabun mampu mengumpulkan dana politik. Uang ini penting, tentu saja. Dua puluh lima tahun lalu, diperkirakan 100 juta yen diperlukan untuk kampanye agar seorang calon anggota partai menang. Sekarang mungkin lebih.

Seorang calon yang menerima bantuan dari seorang oyabun dengan demikian masuk, dan setia, kepada sang bos sebagai pemimpin kelompok.”

“Jika demikian halnya, apakah sebenarnya yang menyebabkan sejumlah habatsu timbul? Perbedaan ideologiskah, Paklik?”

“Agaknya bukan, Mas.”

“Prinsip?”

“Juga hampir tak pernah. Partai Liberal-Demokrat menamakan diri pragmatis. Dan itu artinya ia tak terlalu repot dengan ideologi ataupun prinsip.

Barangkali kata yang paling dekat untuk menjelaskan fenomena khas Jepang ini ialah ‘kesetiaan’. Kesetiaan itu terjalin dalam hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Dengan kata lain, ikatan pribadi begitu penting.

Ada yang mengecam kehidupan politik macam itu sebagai satu penerusan dari masa feodal lampau. Di masa yang telah lewat itu, para hamba sahaya bergabung di bawah seorang tuan: para samurai mengabdi kepada seorang shogun, pribadi.

Ada pula yang menganggapnya sebagai semacam kemacetan sistem demokrasi yang sebenarnya: partai pada akhirnya selalu dikuasai orang konservatif, dan kehidupan politik pada akhirnya berkisar pada kehidupan tokoh-tokoh.

Lagi pula, bukankah ketidakkompakan yang terjadi karena itu bisa merusak? Tidakkah partai lebih sering digiring oleh oportunisme, dan tak ada perekat ideologis yang mempertautkan faksi yang berpecah-pecah?

Pada akhirnya, kita tahu, ada hal-hal yang berguna dalam ketidakkompakan Partai Liberal-Demokrat. Yang pertama ialah guna kehidupan demokrasi itu sendiri. Partai itu untuk masa yang akan datang nampaknya tetap akan jadi partai yang memerintah. Seandainya ia utuh bersatu, ia mungkin sekali jadi otoriter.

Pemimpinnya, sebagai Perdana Menteri Jepang, bisa bersifat diktatorial. Ketidakkompakan atau fasionalisme dengan demikian jadi semacam penangkal sikap otoriter oligarkis yang bisa terjadi.

Kedua, betapapun juga habatsu itu merupakan peluang untuk khalayak ramai yang ingin mengemukakan ide mereka, usul mereka dan rencana mereka. Dengan demikian cukup tersedia alternatif lain dalam tubuh partai yang memerintah. Sebab ketika partai-partai oposisi begitu lemah, saluran yang paling efektif hanya lewat unsur-unsur dalam partai yang berkuasa yang tidak satu warna.

Memang, dapat dibayangkan bahwa ide atau usul dari pelbagai suara di bawah itu pada akhirnya akan disaring, dan mungkin ketajamannya hilang.

Tapi demokrasi agaknya harus menghargai keniscayaan kompromi. Demokrasi juga — dengan demikian — harus menerima perbedaan.”

“Salahkah ketidakkompakan, Paklik?”

“Di Partai Liberal-Demokrat di Jepang jawabnya ialah tidak selalu. Kita mungkin perlu tahu bagaimana jawabnya di di tempat lain: di Indonesia, di ranah blog …”

Malam semakin larut di rumah Paklik Isnogud. Saya pun mohon diri dengan segudang pertanyaan yang terus berkecamuk di kepala.

>> Selamat hari Rabu, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean sudah merasa kompak dengan siapa pun?

Tagged: , , , ,

§ 45 Responses to Oposisi Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke creativesimo Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Oposisi Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta