Kambing Pecas Ndahe

Desember 10, 2008 § 58 Komentar

Ini berita lucu sekali. Pilot helikopter tempur Apache Angkatan Udara Amerika Serikat dikabarkan salah menembak sasaran. Bukannya gerombolan musuh yang dihajar, tapi malah sekelompok kambing yang dijadikan sasaran peluru.

Apakah mentang-mentang Senin lalu bertepatan dengan peringatan Hari Raya Idul Adha yang identik dengan mengorbankan kambing?

heli tembak kambing

Berita di Koran Tempo edisi Selasa, 9 Desember 2008

Entah. Yang jelas para pemilik kambing itu lantas berang bukan kepalang. Mereka menggugat Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Rp 177 juta.

Paklik Isnogud tertawa ngakak ketika saya kasih tahu mengenai kabar itu. “Lelucon dan tragedi memang sangat tipis batasnya, Mas,” kata Paklik.

“Untuk kita yang hanya membaca dari tempat yang jauh, yang lebih nyaman, insiden di sebuah desa kecil di Afganistan Timur ini barangkali membuat kita tertawa geli. Tapi, bagi para petani, yang kambing piaraannya dibantai helikopter Apache Amerika, kasus ini pasti sangat yang konyol, Mas.”

Saya jadi ingat tragedi serupa ketika Ronald Reagan masih menjadi Presiden Amerika. Syahdan, pada sebuah malam di bulan April 1986, ketika puluhan pesawat F-111 Amerika Serikat menyerbu Libya untuk membreidel apa yang mereka sebut terorisme, salah satu bomnya jatuh ke peternakan Milud Mohammad Hassan.

Ayam-ayam sedang tidur, seperti juga Muammar Qadhafi, dan ledakan di kandang itu berhasil menewaskan 300 ekor sekaligus. Yang empunya sangat marah. Reagan adalah seorang pembunuh ayam! begitu kesimpulan Hassan tentang presiden Amerika yang mengirim F-111. Hancurlah Amerika!

Ketika insiden itu terjadi, sesuatu tengah berubah di Timur Tengah. Orang-orang Arab tak lagi menutup wajah mereka dengan kain kefayyeh dan mengangkat senjata otomatis Rusia serta berseru, Thawra (revolusi).

Perubahan terjadi seperti yang digambarkan oleh penulis Mesir Hassanin Heikal, ladang-ladang minyak mulai membayang lebih besar dalam pikiran orang banyak dibandingkan dengan padang pertempuran.

Sejak itu orang Arab pun berpindah dari thawra ke tharwa, dari revolusi ke kekayaan. Peternak Milud Mohammad Hassan di luar kota Tripoli itu, dengan sekian ratus ayamnya, beberapa tahun yang silam agaknya jenis orang Arab yang lebih baik bicara tentang telur dan pemasaran. Ia memang sudah tua, 60 tahun. Tapi ia juga mewakili sejumlah besar orang Arab, yang sejak 1970-an menikmati berkilaunya hidup dengan uang minyak.

Petrodolar menawarkan jalan yang sebelumnya tak kasat mata — jalan yang lebih nikmat dan lebih menang. Dengan kekayaan yang berlipat-lipat gemuknya itu, banyak hal bisa dibeli: rumah meriah di Beverly Hills di Hollywood, atau teknologi yang paling canggih di dalam pesawat AWACS.

Dan dengan turis-turis kaya dari Negeri Teluk, pelancong pemurah dari Ryadh, apa yang bisa dilakukan oleh orang Eropa selain melayani mereka? Di dalam kancah semacam itu, Eropa tentu bukan musuh yang harus dijauhi.

“Barat” memang tetap saja dikata-katai, tapi “Barat” juga terus dirindukan. Amerika Serikat memang masih tetap dianggap pro-Israel, tapi kebanyakan rakyat barangkali tak membenci negeri itu.

Pada 1974, Richard Nixon pernah mengunjungi Timur Tengah. Ia bertamu ke Syria. Di Damaskus ia melihat bendera Amerika dikibarkan buat pertama kalinya selama tujuh tahun. Di sana presiden AS itu juga melihat begitu banyak rakyat menyambutnya, penuh sikap bersahabat, meskipun acara kunjungan itu sebenarnya tak diumumkan luas.

Nixon mungkin tersentuh oleh sambutan itu. Ia lalu menuliskan sejumput kesan dalam catatan hariannya, sebagaimana tercantum dalam jilid kedua memoarnya yang tebal: Orang-orang ini ingin bersahabat dengan Amerika Serikat.

Tapi, sekarang semuanya telah berbalik kembali. Kini yang jadi pertanyaan besar adalah, bisakah sikap seperti itu dipertahankan? Apalagi krisis kredit perumahan di Amerika telah menyapu hampir semua negara di dunia, dan rudal yang muntah dari Apache menghajar kambing-kambing di Afganistan.

Yang perlu dicatat bukan saja karena matinya kambing-kambing itu. Yang agaknya juga perlu diingat ialah bahwa kematian kambing itu bersamaan waktu dengan jatuhnya harga minyak dan hasil bumi di pasaran internasional dan longsornya harga saham di seluruh lantai bursa dunia. Ribuan bankir kehilangan pekerjaan, dan lembaga-lembaga keuangan raksasa tinggal sejarah. Perdagangan mati.

“Sekarang you bisa membeli apartemen di Dubai yang dulu harganya US$ 18 juta hanya dengan US$ 6 juta,” kata seorang investor yang baru saja membeli saham Bumi Resource sambil mengelap mulutnya yang basah oleh saus steik lembu muda di sebuah fine dining restaurant di dalam gedung pencakar langit di jantung Jakarta.

Saya membatin, mulai hari ini, seruan tharwa barangkali akan kembali ke thawra.

“Kemakmuran dan kemewahan, karena itu, akan bergeser ke rasa kekurangan dan kemarahan seperti yang pekan lalu kita saksikan di Mubai, India,” kata investor berusia 42 tahun itu lagi.

Ia lalu menyebut, tak tertutup kemungkinan api kemarahan akan merembet di perbatasan Cina-Taiwan atau Korea Selatan-Korea Utara — negara-negara pemegang kunci rudal nuklir. Dan, empat sampai enam bulan ke depan, social unrest kemungkinan akan terjadi di Cina.

You tahu apa sebabnya?” dia bertanya.

Saya menggeleng.

“Di Shanghai atau Beijing, seorang ekspatriat bisa memiliki tiga sampai lima apartemen karena pelbagai fasilitas dan kemudahan kredit. Sekarang, para ekspatriat itu kehilangan pekerjaan. Tak mampu bayar kredit. You bisa membayangkan apa yang akan terjadi kan?”

Saya kembali menggeleng. Dalam hati saya membatin, dunia memang berubah cepat. Hanya saja, kita tak tahu ke mana arahnya ….

Tagged: , , , , , , , ,

§ 58 Responses to Kambing Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kambing Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: