Naga Pecas Ndahe
Desember 11, 2008 § 56 Komentar
Pada sebuah siang yang meradang, lelaki naga berbulu merak berangkat ke timur. Ia hendak menantang matahari dengan segerobak pertanyaan. Tentang cinta, hidup, perempuan, dan hati yang remuk berjebai.
“Untuk apa kau datang kepadaku, lelaki?” matahari bertanya seraya meredupkan sinarnya.
“Aku ingin menjadi seperti dirimu. Memberi tak mengharap kembali. Engkau bersinar sepanjang hari, memberi napas dan kehidupan bagi penghuni bumi, tapi tak pernah berharap imbalan. Begitu ikhlas. Bagaimana kau bisa begitu?” tanya lelaki naga berbulu merak.
Matahari tersenyum, lalu bertanya, “Kenapa engkau hendak menjadi seperti diriku. Memberi tak meminta kembali?”
Lelaki naga berbulu merak terdiam. Ia tak segera menjawab. Ingatannya melayang pada perempuan bermafela kelabu yang menjerat kalbu. Lelaki dan perempuan itu berjumpa di awal musim semi. Pertemuan mereka laksana sebuah upacara — seperti ketika malam meminang rembulan. Udara wangi setanggi.
Lelaki naga terpana sejak pandangan pertama. Ia bagaikan Ken Arok yang tersihir oleh sinar terang dari pangkal paha Ken Dedes ketika hendak menaiki pelana kuda. Dalam sekejap, perempuan bermafela kelabu itu pun telah memanah hati lelaki naga berbulu merak.
Sejak itu, bulan bagaikan selalu purnama sepanjang malam. Bunga bermekaran sepanjang musim. Dan kabut lesap bersama siang. Segenap jiwa dan raga ia berikan pada perempuan bermafela kelabu.
Tapi, yang indah ternyata tak abadi bersama ruang dan waktu. Surga hanya mampir sebentar dalam hidup lelaki naga berbulu merak. Perempuan bermafela kelabu mendadak berlalu. Air pun membeku. Ia hanya sesekali kembali lagi dengan senyum yang sama sekali berbeda.
Dan kini semuanya serba tak sama lagi. Rasa itu telah terbang bersama aroma esok hari.
“Adakah yang salah? Apakah aku gagal menggenggam cinta? Apakah aku tak pernah berhasil membuatnya tidur seraya tersenyum?” lelaki naga berbulu merak bertanya-tanya.
Sejak itu, lelaki naga berbulu merak selalu mengutuk takdir. Ia merasa hidup tak pernah adil. Sampai kemudian lelaki itu memutuskan pergi bertanya kepada matahari dan bertanya tentang bagaimana menjadi ikhlas dan pasrah. Sumeleh.
Dalam balutan cahaya yang berpendar-pendar, matahari menenangkan kegundahan lelaki naga berbulu merak.
“Usahlah kau gusar dan semak hati. Setiap jalan punya tikungannya sendiri. Pada masanya nanti, kau akan sampai pada jalan kearifan itu.
Aku bisa begini karena aku lahir lebih dulu dari dirimu. Aku sudah melewati jalan yang kau sekarang lalui. Para sesepuh, mereka yang lebih dulu mengenal semesta, selalu luwih ing tumindak, luwih ing sasmita, sarwa luwih ing lir sembarang kalir.
Para pendahulu, mereka yang sudah dimakan usia, sudah pernah melewati segala kebajikan, juga kesalahan. Karena itu, mereka menggenggam kearifan, lebih sabar, lebih jembar. Waktulah yang membuat mereka begitu.
Para tetua adalah air yang tenang. Kau bisa becermin di permukaannya. Anak muda, mereka yang selalu bergegas, adalah air yang mengalir, arus deras. Kau hanya melihat gerak yang lekas. Bukan kedalaman.
Hanya yang pernah bercita-cita, tapi kemudian khilaf. Hanya yang pernah bergelora, tapi kemudian redup tahu betapa benarnya waktu. Dalam kesedihan dan kearifannya, waktu adalah teman yang baik. Ia membikin kita tua. Ia membikin sederet nama jadi sejarah. Ia membikin serangkai gelombang menjadi mandek. Ia membikin arus deras menjadi reda.
Orang tak dapat melihat bayangan dirinya di dalam air yang mengalir, tapi ia dapat melihatnya pada air yang diam. Orang tua memang punya kelebihan. Mereka adalah air yang diam.
Jika kau cermat memandang ke dalamnya, kau akan melihat dirimu lengkap. Kau akan melihat dirimu dalam perbandingan. Di air itu, pengalaman telah membuang sauh, dan jauh di dasar terkandung simpanan kenangan. Terutama kenangan tentang kesalahan.
Tapi jangan terlampau marah kepada kesalahan. Kesalahan mungkin hanya satu tahap dalam mencari kebenaran. Bukankah anak kecil pun baru bisa berjalan setelah ia pernah jatuh?
Janganlah kau juga tergesa menyelesaikan semua dalam semalam. Hidup toh bukanlah sebuah lakon wayang, bisa kita selesaikan sebelum siang.
Boleh saja kau mengutuk semua kenangan sebagai kesalahan. Tapi hendaknya kau jangan sampai lupa bahwa kita memang harus terus mencari bagaimana sebaiknya menjadi benar.”
Lelaki naga berbulu merak melelehkan air mata hatinya begitu matahari menyelesaikan ucapannya. Timur telah berubah barat. Terang menjadi temaram. Menjelang malam, lelaki naga berbulu merak pun rubuh ke bumi.
>> Selamat hari Kamis, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean sudah belajar ikhlas dan pasrah?
Beri peringkat:
Terkait
Tagged: cerpen, kelabu, lelaki, liris, mafela, merak, metafora, naga, perempuan, prosa, wangi
Belajar ikhlas dan pasrah? Ya…bagi kita, itu hal pertama yang harus dilakukan. Tapi ada hal lain yang harus dikerjakan sebelumnya: bekerja keras dan tidak cengeng.
terimakasih orang tuwa. aq yg muda mdengarkan nasihatmu.
Merenungi tulisanmu, Ndoro.. njuk dadi isin dhewe 🙂
Suwun!
merasa masih kosong…mencari isi demi menggapai ikhlas dan pasrah
asdad
kalau tidak ikhlas nanti bisa stress dan malamnya jadi lelaki merak berbau naga
wew…
saya tiap kali ‘mampir’ di blogs ndoro, berasa harus belajar lebih bijak lagi nih.. 😉
Billy K.
iamthebilly.wordpress.com
tiap hari adalah pelajaran…
tidak hanya kemarin, saat ini, namun esok hari pun masih harus belajar ikhlas..
sampai hari ini saia mencoba untuk belajar ikhlas ndoro, tapi belum pernah menemukan sejati dari keikhlasan duniawi tersebut
mafela ki opo tho ?
kitab cinta ndoro pecas ndahe jilid 2 sudah keluar 😀 hidup ini penuh kejutan. kejutan memang tidak selalu menyenangkan, tetapi tak apalah. jalani saja… walau bukan dengan senyum di bibir, mudah-mudahan pasrah itu bisa menjelma dengan senyum di hati. *peluk ndoro*
akhirnya saya sudah bisa iklas dan pasrah.
@restlessangel: mafela itu seperti scarf atau syal… *bener nggak, ndoro?*
kemaren kambing, sekarang naga, sesok opo yo..
apakah perempuan bermafela itu belum cukup usia untuk dijadikan cermin?
(ndak dipasangi disclaimer?)
@rama
bagi penggemar togel, bisa jadi wangsit nih… buat nomor jitu.
sedang belajar ndoro.. agak-agak susah rupanya, kadar kepekatannya suka naik turun…
semoga aku nggak sampe tua dulu baru bisa ikhlas dan pasrah
menjadi orang ihlas itu sulit, ndoro. tapi saya akan selalu belajar untuk itu…
agree…. karena kadang kita sudah ikhlas dan pasrah sebelum berbuat
ketika ketuaan sudah secara default diartikan kearifan, maka yang muda punya kewajiban untuk pemberontakan bahkan kewajiban untuk menggusur yang tua.
Ndor, makasih banyak pencerahannyaaa ….
pitik serius? bar bengong neng ndhi kowe mau, cuk?
anak muda adalah gelombang air bah yang tak bisa dihentukan lajunya. kecepatanya sebanding dengan berputarnya bumi, sehingga banyak orang bisa bercermin bahkan berdiam.
sering sekali saya menemui anak-anak muda yang cool, keren, funkeh dan bijak. 🙂
@pitik : jadi inget lagunya elpamas 😀
btw, batas tuwa dan muda itu berapa toh? hehehe
betul ndoro. 🙂
Faktor ‘U’ mempengaruhi kedewasaan berfikir, bertindak dan berasmara.
Mak-dar-it kalo perbedaan terlalu jomplang, walau indah… tapi kurang baik untuk kesehatan jantung n paru2 (lho koq, kayak rokok), coz udah beda generasi.
*Disclaimer: ini bukan untuk mafela kelabu, tapi… mafela zalianty*
jangan kriuk akh, crispy aja ndoro… lebih keren 😛
kadangkala suatu kesadaran timbul secara tidak sengaja, bahkan bisa jadi datang di pagi hari ketika prosesi buang hajat terjadi.
isi adalah kosong, kosong adalah isi.
semua itu tidaklah berarti pada akhirnya nanti. 😉
“setiap jalan punya tikungan nya sendiri”
ada rambu-rambu nya ga ndoro? 😀
Ah, yang ini benar-benar wajib kutip.
Tulisan Ndoro ini kalo dikompilasi bisa dijadikan Rawon Setan for the Soul
panjaaaaangggg…. *brarti belum ihlas* :p
saya ga ngerti postingan ndoro…terlalu berat buat RAM otak saia…hehehe..
saya sudah ikhlas dan sabar dalam menjalani hidup ini
yang kuharapkan hanya satu, Marchelia
sepakat sama mantan kyai
ikutan sepakat juga salam blogger
oh ya ndoro sekalian ngabarin asahannews rumah baru
Lelaki naga berbulu merak tidak tahu kalo matahari punya majikan, dan tidak tahu juga kalo keikhlasan ada bayarannya…meskipun pengorbanan pun ada bayarannya…bahwa semua yang dilakukan ada ganjarane
Memberi tak mengharap kembali….ungkapan yang bagus.
Bisakah kita seperti itu?
apakah lelaki naga itu metafor dari lelaki mabuk?..soalnya suka denger kalimat “mulutnya bau naga”
ya perempuan bermafela kadang membikin lupa.. namun naluri lelaki berkata lain … cinta memang hampa, hanya kekerdilan jiwa yang tiada sanggup menghadirkan cinta karena cinta dan kebahagiaan hadir dari sanubari yang pasrah.. selamat hari jumat ndoro…
d
a
L
a
m
Ini bacaan orang gede ya oom….
jadi ndoro juga termasuk cerminan bagi saya lengkap dengan segala nya
salam hormat
selamat hari jum’at Ndoro
Lelaki itu belum jadi pangeran, seandainya ia pangeran maka ia hanya akan bertanya: “mengapa…” (seribu satu tanya yang tak berjawab), dan seandainya dia menjadi raja…bisa jadi ia akan memerintahkan matahari untuk mengembalikan semua hari-harinya yang tercuri.
Ketika matahari tidak sanggup memenuhi titahnya, dikutuknya sang mentari agar menghilang dari hadapannya. Saat mentari undur diri untuk selamanya, baru tersadar sang raja betapa ia tidak mampu lagi memamerkan keindahan bulu meraknya.
suwun ndoro
Selamat malem ndoro Kakung salam kenal dari newbie betuk2 newbie… article yang pas buat newbie seperti saya… sekali lagi lam kenal njih pak dhe.. eh ndoro Kakung….
xixixiii.. sampe salah ketik ndoro.. muaaff.. maksudnya betul2 Newbiee…
Selamat hari Sabtu, ndoro, mau week end kemana nih…
Salam kenal ndoro..
Tulisan bagus..
kenapa pria2 middle age gemar dan pandai sekali membuat kata2 indah..
eh ndoro trmasuk middle age nda ya?
saya masih belajar ikhlas Ndoro,,dan nda gampang yah,,
saya tertarik pada bagian :
“Ia hendak menantang matahari dengan segerobak pertanyaan. ”
Kenapa mesti menggunakan kata segerobak ndoro?
nah, khan?
tentang saya…
*tertunduk, tersipu….. disepak ndoro kakung*
ah, indah dan bijak nian ndoro.. aku telah mengikuti jejakmu bersua matahari.. terima kasih..
Indah.
Semoga Ndoro punya waktu buat nulis panjang trus dibukukan sehingga hamba bisa menikmati keindahan ini lebih lama.
Btw aku inget ada cerita yg mirip2 punya Ndoro. Perempuan bermafela kelabu-nya minggat karna egois pol dan nggak sudi cuman jadi selir, heheheheh…
Apakah ada informasi mengenai hal ini dalam bahasa lain